Jumat, Maret 29, 2024

Jirhas Ranie, Buya Syafii, dan Provokasi Perdamaian

Husein Ja'far Al Hadar
Husein Ja'far Al Hadar
Vlogger Islam Cinta yang tak lagi jomblo. Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta. Mahasiswa Tafsir Qur’an Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Suatu kali, saya mencuit kira-kira begini: “Kau bakar rumah ibadah umat lain, imanmu yang hangus.” Itulah yang sejati.

Pembatasan hingga pelarangan ibadah, dan apalagi perusakan rumah ibadahnya, adalah kekejian dalam perspektif semua agama. Bahkan mungkin tak perlu sampai merujuk pada agama untuk itu. Dalam arti begini: ibadah itu aktivitas khusyuk, dan membakar rumah ibadah itu seperti mengagetkan orang yang sedang bengong. Tak sampai perlu dalil agama untuk tak melakukan aksi itu.

Adapun jika masih minta dalil, firman-Nya menegaskan dalam QS. Al-Hajj: 40 dan sabda Nabi Muhammad yang diriwayatkan Imam Ahmad dan At-Thabrani, bahwa bahkan dalam suasana perang sekalipun, dilarang menggaggu orang beribadah dan apalagi merusak rumah ibadahnya. Menurut Prof. Nadirsyah Hosen, andaikata memerangi orang kafir itu disebabkan kekufurannya, maka seyogianyalah bahwa yang pertama-tama dibunuh adalah pendeta. Ternyata konsensus (ijma’) ulama malah melarangnya.

Muslim sama sekali tak diajarkan untuk memerangi orang lain karena memilih iman atau agama yang berbeda dengan kita. Dalam tiga ayat berbeda ditegaskan untuk silakan yang mau menjadi Muslim atau kafir (QS. Al-Kahfi: 29), karena memang tak ada paksaan dalam agama (QS. Al-Baqarah: 256), serta akhirnya bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS. Al-Kafirun: 6). Adapun yang diperangi bukan karena kekafirannya, melainkan karena mereka memerangi umat Islam (QS. Al-Anfal: 15). Itu pun dengan sederet etika perang yang sangat ketat dan larangan melampaui batas serta menutup pintu maaf.

Maka, yang dibutuhkan dalam merespons setiap aksi teror adalah keluasan hati dan pikiran. Pertama-tama untuk tak terjebak dalam logika sentimen antar-iman atau agama. Lalu selanjutnya, mengaktualisasikan itu pada aksi nyata. Karena toleransi atau perdamaian butuh aksi, bukan hanya dalil.

Aksi itu aksi bersama. Kita sama dalam perkara ini, semua iman maupun agama. Menurut Norman Daniel dalam Islam and the West dan Robert W. Southern dalam Western View of Islam in the Middle Ages, stigma negatif, ketegangan, hingga konflik SARA sering muncul lantaran ketidaktahuan dan keberjarakan antarumat beragama.

“Manusia takut pada apa yang tak diketahuinya,” kata pepatah Arab. Tiadanya kontak dan aksi bersama membuat kita bodoh akan yang lain dan karenanya begitu mudah diprovokasi, bahkan oleh sekadar hoaks.

Maka, toleransi butuh aksi. April 2014, Manuel Musallam, salah seorang pastor di Palestina, ketika mendengar Israel kembali membombardir Palestina, ia mengirim pesan: “Jika masjidmu terkena bom Israel, silakan adzan dari gereja kami!”

Lalu awal Februari tahun lalu, Shahid Hashmi, pendiri masjid di Texas, Amerika Serikat (AS) yang masjidnya mengalami insiden kebakaran, di hari itu juga pada dini hari didatangi warga Yahudi ke rumahnya, menyerahkan kunci sinagoganya untuk ditempati umat Islam agar tetap bisa beribadah. Kata Robert Loeb, pimpinan Sinagoga Bani Israel mengatakan, “Ketika semacam itu terjadi, kita harus berdiri bersama.”

Begitu juga ketika Gereja Oikumene diserang teror, Relawan Pembersih Masjid (RPM) bergotong royong merapikan kembali gereja itu. Dan kini, saat Suliyono menyerang jemaat yang tengah melakukan misa di Gereja Santa Lidwina Stasi Bedog, ada Jirhas Ranie, dengan jilbab, bersama suaminya, datang pagi-pagi, ikut membersihkan gereja yang berantakan setelah aksi penyerangan tersebut. “Itu reflek, banyak tetangga saya ibadah di sana. Kita ini sesama manusia dan anak Indonesia, sudah selayaknya untuk saling membantu,” katanya.

Dan memang, begitulah Islam mengajarkan, tentang kemanusiaan sebagai alasan terakhir jika tak ada alasan lain untuk bersaudara dengan yang lain, serta keyakinan bahwa di mana tanah air kita maka di situlah “rumah” kita dengan sederet keragaman di dalamnya.

Namun, aksi itu tak bisa berhenti sampai di korban. Begitu juga pelaku. Ia perlu dirangkul. Dalam beberapa aspek, ia bisa jadi juga “korban”. Korban pengajaran atau pemahaman Islam yang salah kaprah. Atau bahkan mungkin korban dari pragmatisme politik busuk yang menjadikan agama sebagai komoditas politik. Entahlah, saya tak mau berspekulasi atas itu. Kita fokus pada agama sebagai objek provokasi dan legitimasinya.

Suliyono perlu direhabilitasi secara keislaman atau istilah persisnya adalah “deradikalisasi”. Peran itulah yang tampaknya coba dimulai oleh Prof. Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) yang menjenguk pelaku di rumah sakit.

Pendeta Jacky Manuputty punya gagasan menarik tentang aksi bagi toleransi itu, yakni mengajak umat antar-agama di Maluku sejak 2007 untuk menjadi “Provokator Perdamaian” melalui art for peace (seni untuk perdamaian). Provokasi selama ini terjadi pada konflik. Di sanalah kekalahan perdamaian: perdamaian tak pernah diprovokasikan untuk mengundang aksi. Jangan biarkan intoleransi yang heboh dan menyuntikkan ketakutan. Jadikanlah toleransi viral dan menjadi kabar gembira, sebagaimana dilakukan Jirhas Ranie dan Buya Syafii.

Pendeta Jacky memprovokasi umat lintas agama untuk saling mengisi dalam harmoni bermusik, saling berkomunikasi, bertukar cerita, dan seterusnya. Agar kita tahu, berinteraksi, dan tak “alergi” pada yang lain. Sehingga akhirnya kita percaya bahwa mereka orang baik seperti kita yang hanya saja kebetulan berbeda iman atau agama. Itu saja! Sehingga, jika ada ketidakbaikan mengatasnamakan iman atau agama mereka, kita tak percaya dan justru akan bersama melawan itu bersama mereka.

Pertengahan November 2014, Prof. Din Syamsuddin (saat itu sebagai Ketua MUI yang juga Ketua Umum PP Muhammadiyah, dan kini menjadi Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog Antar Agama dan Peradaban di mana ia akan lebih leluasa untuk aksi ini) berkhutbah di mimbar Gereja Vatikan di depan para petinggi Katolik (dan juga Islam) dunia dalam The Third Catholic-Muslim Forum bertajuk Working Together to Serve Other, di mana mereka berkomitmen untuk mengajak umatnya bekerja sama untuk kemanusiaan, perdamaian, dan misi luhur universal lainnya. Itulah blue print toleransi saat ini. Banyak yang telah memulai dan menjadi energi bagi toleransi.

Kemarin Jirhas Ranie dan Buya Syafii yang membuat kita merasa damai dan baik-baik saja dengan aksinya. Hari ini dan besok harus kita juga. Tentu tak perlu menunggu ada kasus, sebagaimana juga tak perlu berpikir aksi besar dan heboh. Yang kecil dan sederhana saja.

Kolom terkait:

Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama

Ketika Agama Bawa Damai, bukan Perang: Belajar dari Imam dan Pastor

Pelajaran Deradikalisasi dari Poso

Tak Ada Paksaan dalam Agama. Titik!

Menjaga Kewarasan di Era Pasca Kebenaran

Husein Ja'far Al Hadar
Husein Ja'far Al Hadar
Vlogger Islam Cinta yang tak lagi jomblo. Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta. Mahasiswa Tafsir Qur’an Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.