Jumat, Maret 29, 2024

Ira Koesno, Pilkada Jakarta, dan Pemberontakan Para Jomblo

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
Ira Koesno [Sumber: wowkeren.com]

Ira Koesno tampil mengesankan di putaran akhir debat Pilkada Jakarta, Rabu (12/4). Ia tidak hanya tegas, namun juga tampak anggun dan modis dengan paduan busana serta make up-nya. Rubrik walipop detik.com menyebut penampilannya flawless–tanpa cacat.

Ira Koesno adalah presenter paling ditunggu publik untuk menjadi wasit debat pilkada. Hal ini tak lepas dari penampilan impresifnya pada debat putaran pertama pada 14 Januari lalu. Ia kala itu begitu memukau. Kepiawaiannya mengendalikan forum menyita perhatian jutaan pasang mata.

Namun, di luar kekaguman itu, tidak sedikit orang menggunjing status presenter perempuan paling fenomenal awal tahun 2000 ini. Ya, Ira Koesno memang masih setia melajang hingga kini. “Ira Koesno single” bahkan sempat menjadi trending topic di Twitter saat debat putaran I Januari lalu.

Di Facebook, tidak sedikit pengguna mencibir Ira. Rata-rata menyayangkan kenapa ia tidak move on hingga usia 47 tahun. Predikat “perawan tua”, ” Nggak laku kawin” hingga “kompetitor para istri” muncul berseliweran.

“Mabuk” Agama
Memang, tidak mudah bagi perempuan memilih laku single di Republik ini. Kesulitannya barangkali terletak pada kuatnya stereotip berbasis agama di  benak banyak orang.

Kita tentu mafhum hampir seluruh penduduk Indonesia mempersepsi agama sebagai sesuatu yang mahapenting. Survei WIN/Gallup 2009 mengkonfirmasi setidaknya 99% warga Indonesia menganggap demikian.

Apa pun akan disangkutpautkan dengan agama, terutama Islam. Urusan narkoba, pelacuran, perilaku seks bebas, hingga antikorupsi, resepnya agama. Bahkan, keputusan untuk menikah atau tidak, ujungnya selalu dilarikan ke agama.

Dalam konteks kejombloan, saya mencurigai, agama memberikan kontribusi besar terhadap cara pandang laki-laki membentuk dunia perempuan. Hukum besi patriarki berbunyi: sehebat-hebatnya perempuan tidak boleh melampaui kuasa laki-laki.

Tidak boleh ada perempuan yang menonjol di sirkuit di mana pemenangnya telah ditentukan sebelumnya: laki-laki. Salah satu cara penundukan atas perempuan adalah mendorong kuat mereka agar menyegerakan pernikahan–untuk selanjutnya dapat dikendalikan laki-laki dalam wilayah domestik.

Perkawinan telah dikemas sedemikian menggiurkan oleh nalar laki-laki sebagai zona yang harus didamba semua perempuan. Barangkali itu sebabnya tidak sedikit mahasiswi semester akhir lebih resah belum punya pacar serius ketimbang menyelesaikan skripsinya.

Jutaan perempuan sangat mungkin ketakutan mendapat label “perawan tua” atau “nggak laku kawin”. Jikapun ada yang tegar, mereka belum tentu kuat menghadapi intimidasi orang tua, keluarga besar ataupun kawan perempuan sebaya yang sudah beranak-pinak.

“Mana calonnya?”, “Aku doakan segera dapat jodoh ya”, “Kamu kapan nikah?”, atau “Kamu bukan lesbian, kan?” adalah pertanyaan-pertanyaan intimidatif yang kerap meresahkan perempuan jomblo.  Pendek kata, perkawinan dalam peradaban komunitas religius telah diimani sebagai mengutip Katherine Wilson dalam Mona Lisa Smile, “the role you (women) are born to fill.”

Dua Jomblo
Namun demikian, sungguhpun nalar patriarki religius seringkali menggunakan agama sebagai piranti pemaksaan kehendak terhadap perempuan jomblo, Islam sendiri bersikap tenang dalam merespons perempuan tipe yang memilih hidup dalam kesendirian. Oleh QS. 24:33, mereka boleh hidup sendiri dan diminta tetap menjaga kesuciannya (chastity).

Menariknya, dalam ayat lain, yakni QS. 24:60, Allah menyebut sosok perempuan unik; “wa al-qawaaidu min al-nisai la yarjuuna al-nikaha”. Al-Qur’an versi Kementerian Agama memberi arti (dan menafsirkan) sebagai “perempuan tua menopause yang tidak berkehendak kawin lagi”.

Bagi saya, pengartian ini terlalu artifisial dan mengada-ngada. Diksi “al-qawaidu” bisa juga dimaknai “prinsip”, sehingga saya lebih memilih mengartikannya dengan “para perempuan yang punya prinsip dan tidak berkehendak untuk menikah”.

Ada banyak sebab seorang perempuan memilih hidup selibat, misalnya karena faktor usia (menopause), traumatik, aseksual atau bahkan lesbian. Hanya ia dan Tuhan yang tahu. Dalam tradisi Katolik, hidup selibat  merupakan kaul para imam dan suster. Seorang romo muda di Kota Jombang pernah berseloroh saat saya berkunjung pada Natal lalu, “Kata siapa kami tidak menikah? Kami menikah, kok, menikah dengan gereja.”

Mungkin ia benar, menikah adalah mendedikasikan komitmen terhadap apa yang dicintainya. Dalam dunia intelektual Islam awal, setidaknya ada dua perempuan yang memilih hidup selibat dari awal hingga akhir hayat. Mereka adalah Karimah bint Ahmad bin Muhammad al-Marwaziyyah (975-1070 M) dan Zaynab bint Kamal al-Maqdisiyyah (1248–1339 M).

Profesor Asma Sayyed dalam bukunya, Women and the Transmission of Religious Knowledge in Islam, menjelaskan, Karimah dan Zaynab adalah intelektual perempuan dalam dunia perhaditsan (al-muhadditsath). Pada masanya, Karima yang mememiliki reputasi tinggi di bidang ini menjadi jujugan siapa pun yang hendak mengkonfirmasi keberadaan sebuah hadits.

Kemana pun ia mengajar, forumnya selalu dikerumuni banyak orang. Pernah suatu ketika koleganya meminjam koleksi hadits Karima sebagai bahan komparasi. Karima tegas menolak dan mengajukan syarat, “Komparasi harus di hadapanku. Kamu membaca koleksimu dengan keras dan aku menyimaknya sembari mengecek.”

Setelah Karima tiada, datanglah Zaynab. Perempuan berdarah Palestina ini dikenal mempunyai segudang ijazah (sertifikat) dari orang-orang yang pernah mendidiknya. Sebagai narator hadits, Zaynab sangat menguasai kumpulan hadits kanonik seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud dan Muwatta’ Ibn Malik. Zaynab meninggal dalam usia hampir seratus tahun, dalam status jomblo.

Agaknya, kedua intelektual perempuan ini terlalu serius bercumbu dengan dunia akademik sehingga “selamat” dari jerat perkawinan patriarkis. Namun belakangan, duo jomblo ini harus membayar mahal atas pemberontakan ini; sejarah dan legasi mereka dikubur–bersama ratusan intelektual perempuan di bidang hadits lainnya–oleh para intelektual cum patriakh (Akram, 2007).

Akankah Ira Koesno bernasib sama?

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.