Manusia Indonesia harus hijrah dari sejarah yang gelap, dari memori yang pengap. Kegelapan memahami sekaligus memaknai sejarah bangsa ini menimbulkan siklus kebencian dan energi sengketa yang seolah tidak pernah reda. Siklus kebencian ini terus berputar, dengan pelbagai tema dan perulangan pada tiap tahunnya. Seolah bisa ditebak, ada waktu-waktu khusus yang menjadi panggung sengketa kebencian.
Begitu terus tiap tahunnya, narasi yang dibangun senada, dan energi untuk meredakan konfliknya pun semakin besar.
Siklus kebencian ini bisa kita teropong dari bagaimana media sosial membangun kecemasan-kecemasan. Isu-isu yang sengaja digoreng, dimanipulasi, dan dikabarkan dengan kebohongan-kebohongan, menjadikan manusia negeri ini tertipu dengan kebencian yang dimanipulasi. Hasil manipulasi atas fakta-fakta menimbulkan kebencian yang amat mengkhawatirkan.
Kebencian ini tidak sekadar menjadi perbincangan dalam interaksi komunikasi media sosial, namun telah melebar menjadi perbincangan di ruang publik. Gelombang kebencian ini terus-menerus digulirkan dengan kepentingan sekelompok politisi busuk, atau mereka yang menginginkan negeri ini terus kisruh.
Sengketa dan luapan kebencian ini akhirnya menenggelamkan prestasi-prestasi besar warga negeri ini, para pendekar dan begawan dari pelbagai profesi, dari sains hingga olahraga. Dari kuliner hingga situs kebudayaan.
Sebuah isu yang terus menerus dicuatkan sebagai teror publik adalah tragedi 1965. Dari narasi yang muncul selama beberapa tahun, khususnya pasca reformasi, ada ritme yang dimainkan untuk mencipta ketakutan publik. Isu 1965, yang sampai sekarang masih belum jelas fakta sejarahnya, menjadi “jebakan sejarah”, dengan hantu komunisme, PKI, Gerwani dan sederet tema-tema di seputar panggung berdarah pada 30 September 1965.
Dari kegelapan sejarah ini, saya merasa perlu ada gerakan bersama untuk mencari solusi yang dapat menginspirasi generasi milenial, generasi muda negeri ini. Isu-isu yang berhembus tentang 1965 merupakan isu gelap yang dibentengi dengan tafsir kekuasaan, atau lebih jauhnya, tafsir militer. Usaha publik untuk memaknai kegelapan sejarah, dengan versi masing-masing, selama ini selalu berbenturan dengan tembok tebal.
Bagi saya, yang termasuk barisan generasi milenial, isu 1965 sebenarnya isu yang membosankan, jika hanya membahas tentang siapa yang salah, siapa yang benar. Mencari kambing hitam kesalahan sudah tidak relevan lagi pada masa ini. Namun, mencari fakta sejarah yang disaring dari pelbagai perspektif tetap penting dilakukan. Riset komprehensif, pelibatan tim pencari fakta, dan koleksi data dari pelbagai pihak, sangat penting. Meski hal ini terasa berat, usaha untuk melangkah setapak demi setapak harus dilakukan. Tentu saja sebagai keinsafan memahami sekaligus memaknai masa lalu.
Selain itu, yang menjadi penting pada masa ini adalah membangun jembatan untuk rekonsiliasi publik. Kita perlu hijrah dari kegelapan sejarah menuju pencerahan sejarah yang merangkul semua kelompok sebagai saudara sebangsa, setanah air. Kecuali, mereka yang dari watak aslinya, sebagai pemecah belah kesatuan warga negeri ini, mereka yang mengimpor ideologi dengan tujuan merusak kedamaian negeri ini.
Membangun narasi sejarah yang komprehensif dan bervisi kebangsaan sangat penting disegerakan. Mewariskan ingatan-ingatan gelap tidak akan memberi kontribusi bagi masa depan negeri ini. Justru yang ada hanyalah kebencian yang tersimpan dalam benak, dan sesekali muncul dalam ungkapan-ungkapan di perdebatan.
Untuk itu, penting dilakukan—meminjam istilah Budiawan—mematahkan pewarisan ingatan. Bagi Dr. Budiawan, dosen saya yang baik hati dan konsisten pada riset seputar isu 1965, usaha-usaha untuk menutup akses bagi pewarisan ingatan-ingatan kebencian sangat penting untuk bangsa ini (Mematahkan Pewarisan Ingatan, 2004).
Hijrah Kreatif, Hijrah Inspiratif
Bagi generasi milenial, terjebak pada pusaran isu 1965 terasa membosankan. Perbincangan media sosial dikepung oleh perbincangan tentang sejarah gelap, yang seolah tidak ada upaya untuk menjernihkan. Tafsir represif atas isu 1965 masih terasa pada tahun ini. Bahkan di beberapa media, penulisan 1965 yang disambung langsung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) masih berlaku. Padahal, tidak ada tafsir tunggal atas peristiwa mengerikan itu.
Dalam risetnya, Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (2011) Hermawan Sulistyo mengungkapkan ada bermacam versi mengenai pelaku dalam peristiwa 1965. Dari hipotesisnya, muncul berbagai pandangan alternatif tentang sejarah gelap bangsa ini, baik dari sudut pandang Indonesia maupun dari perspektif bagaimana peneliti-peneliti internasional memandangnya. Ada banyak kemungkinan, ada pelbagai perspektif yang dinarasikan. Bahkan, ada juga campur tangan pihak asing, atau intelijen internasional, dalam peristiwa 1965.
Generasi milenial lebih suka memaknai sejarah sebagai inspirasi untuk memandang masa depan. Saat ini, kita telah hidup di era saiber, di era big data, ketika inovasi-inovasi teknologi lebih menggairahkan untuk dibahas dengan pelbagai koneksi-sudut pandangnya, dari aspek politik, hukum, ekonomi, kebudayaan hingga pendidikan.
Saya mengapresiasi pihak-pihak yang mendorong terciptanya narasi baru untuk memaknai isu 1965. Presiden Joko Widodo mendorong pembuatan film tentang 1965/1966 dengan wajah yang lebih segar, lebih kekinian dengan latar belakang dan konteks peristiwa yang dapat dinikmati anak muda. Riset-riset tentang isu ini, dengan pelbagai perspektifnya, teruslah dipublikasikan. Biarkan warga ini memaknainya, dengan konteks peristiwa dan upaya meneroka masa depan, secara merdeka.
Biarkan pemutaran film-film lawas diselenggarakan, di pelbagai komunitas, dengan pelbagai perangkat media. Namun, tidak perlu ada larangan untuk memutar film-film seputar tragedi 1965 dengan perspektif yang berbeda. Biarkan generasi milenial memaknai masa lalu, sebagai titian menjemput masa depan.
Hari ini kita perlu memaknai hijrah bangsa Indonesia, bukan sekadar hijrah. Namun, yang lebih mendasar, hijrah dari kegelapan sejarah menuju cahaya (min adz-dzulumati at-tarikh, ila annur). Generasi milenial, mari menjemput cahaya sebagai inspirasi masa depan, bukan kegelapan, bukan kebencian.
Kolom terkait:
Perlukah Meluruskan Sejarah Tragedi 1965?
Darurat Demokrasi, Anti-Intelektualisme, dan Moralitas Budak