Banyak anak banyak rezeki mungkin bukan idiom yang dipercaya Kasda, 32 tahun. Warga Katibung, Kabupaten Lampung Selatan, itu dua hari lalu menghabisi dua anaknya, Alka dan Yuda, dengan golok. Kasda yang buruh bangunan merasa depresi akibat cekcok dengan istrinya yang juga sudah dia tebas kepalanya.
Kejadiannya baru 21 Juli lalu, dua hari sebelum Hari Anak Nasional. Ah, apalah arti hari itu bagi Kasda dan para orangtua lain yang merasakan anak hanya sebagai beban ekonomi?
Sebanyak 70% kasus kekerasan pada anak di Indonesia dilakukan oleh orang-orang terdekat. Semua didominasi faktor ekonomi. Demikian menurut Staf Ahli Menteri Sosial Harry Hikmat. Mirisnya, orangtualah yang jadi pelaku terbanyak kekerasan pada anak. Mulai dari menyiksa secara fisik, verbal, siksaan seksual, hingga pembunuhan.
Emosi akibat masalah ekonomi membuat para orangtua gelap mata, lupa bahwa anak adalah anugerah. Indonesia Indicator menyebut, sepanjang 2015, pemberitaan kekerasan anak yang dilakukan orangtua mencapai 3.235. Itu hanya yang diberitakan saja, yang tidak diberitakan pasti jauh lebih banyak.
Selain kekerasan fisik biasa, kekerasan seksual juga dialami anak-anak. Pun oleh orang-orang terdekat mereka, bisa orangtua, saudara, bahkan guru. Apakah laju populasi penduduk ikut berkontribusi pada meningkatnya kekerasan pada anak?
Dengan populasi lebih dari 255 juta jiwa, Indonesia menduduki urutan ke-4 negara berpenduduk tertinggi di dunia. Laju pertumbuhannya pun dinilai memprihatinkan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Tahun 2015 lalu, laju pertumbuhan penduduk kita mencapai 1,49% atau 4,5 juta per tahun. Program Keluarga Berencana (KB) bisa dikatakan gagal, tapi di sisi lain angka kematian ibu melahirkan dan bayi meningkat.
Untuk setiap kelahiran bayi, tak ada tunjangan dari pemerintah, kecuali pegawai negeri sipil (PNS). Ini pun besarannya tak seberapa. Indonesia bukan negara maju seperti Swiss atau Jerman, yang memberi tunjangan bagi anak tanpa pengecualian.
Setiap anak di sini dapat dikatakan 100% ditanggung orangtua. Keluarga dari kalangan ekonomi lemah, dengan pendidikan minim, melahirkan anak-anak bergizi buruk. Orangtua yang didera tekanan ekonomi pun tergoda untuk memanfaatkan anak-anaknya. Mulai dari pekerja informal, pengamen, pengemis, sampai pekerja seks komersial (PSK) di bawah umur. Apa pun dilakukan demi bisa bertahan dari deraan ekonomi.
Anak-anak Indonesia kalangan bawah bukan saja terancam oleh kekerasan, tapi juga oleh “kerja paksa” yang dilakukan keluarganya sendiri. Miris, sungguh miris. Ini mengingatkan kita pada India dan China, negara berpopulasi membludak lain. Di dua negara itu, anak-anak di bawah umur juga dipekerjakan sebagai buruh murah akibat tekanan ekonomi.
India juga disebut sebagai salah satu negara dengan tingkat kekerasan seksual anak tertinggi. Ada lebih dari 48 ribu kasus perkosaan anak sejak 2001 hingga 2011. Terjadi peningkatan 336 persen dari 2001 (2.113 kasus) sampai 2011 (7.112 kasus).
Berkaca dari India, terlihat korelasi antara jumlah populasi dengan angka kekerasan terhadap anak. Masyarakat di negara-negara dengan populasi tinggi cenderung mengabaikan nasib anak-anak. Para orangtua sibuk mencari nafkah, hingga tak ada waktu lagi bagi anak.
Baik di kota besar maupun pedesaan. Ingat kasus Yuyun, gadis belia yang diperkosa massal oleh sesama remaja? Antara lain terjadi akibat warga sekitar abai atas pendidikan moral anak-anaknya. Semua mengaku sibuk mencari nafkah.
Di negara dengan populasi rendah seperti Swiss, kelahiran anak disambut sukacita. Sebab, anak bukan beban ekonomi. Mereka mendapatkan tunjangan sedikitnya 250 Franc Swiss atau Rp 3,5 juta per bulan hingga usia 16 atau usia 20 jika si anak belum bekerja. Ini memungkinkan para ibu untuk fokus mengurus anak tanpa perlu memikirkan menambah income keluarga. Bukankah memang begitu idealnya?
Ah, terlalu muluk membayangkan Indonesia seperti itu. Yang dapat dilakukan kini adalah membuat kita semua menyadari bahwa anak bukanlah benda yang bisa diperjualbelikan. Anak juga tak boleh dijadikan samsak tinju saat orangtua sedang stres.
Lalu, apa makna Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tahun, apabila faktanya nasib anak-anak kita belum jua membaik? Apakah mereka dilahirkan karena keterpaksaan? Dihadirkan ke dunia karena anggapan akan membawa rezeki ke orangtuanya, tapi kurang diperhatikan secara fisik dan psikis?
Anak-anak tak pernah minta untuk dilahirkan. Orangtua-lah yang mendatangkan mereka, dengan berbagai motif, modus, harapan, obsesi, impian, dan entah apa lagi. Betul, banyak anak banyak rezeki, namun hanya berlaku bagi mereka yang mengasuh anak secara sungguh-sungguh. Jika asal dan abai, maka banyak anak adalah banyak bencana.