Belum lama ini di tengah-tengah kita beredar spanduk yang menyatakan bahwa pemuataran wayang kulit bukan syari’at Islam. Sebelumnya, kita juga berduka atas peristiwa bom molotov di gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur, yang menewaskan seorang anak perempuan, Intan Olivia (13/11/16). Kemudian disusul keterlibatan Dian Yulia Novi ke dalam gelanggang terorisme (17/12/16). Rentetan pristiwa tersebut menunjukkan bahwa masih banyak orang Islam di Indonesia yang memiliki sikap paradoks dalam beragama dan berbangsa.
Harlah Nahdlatul Ulama (NU) yang mengangkat tema “Budaya sebagai Infrastruktur penguatan Paham Keagamaan” (31/1) merupakan momentum untuk menegaskan kembali bahwa Islam dan ide keindonesiaan tidak bisa dipisahkan. Kata “infrastruktur” memperkuat bahwa budaya sebagai asas yang memiliki peran besar dalam penyebaran Islam di Indonesia. Sebagaimana kita tahu, Raden Said (kelahiran tahun 1450) yang dikenal dengan nama Sunan Kalijogo, melakukan akulturasi dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa dengan menggunakan wayang sebagi mediumnya.
Setelah kemerdekaan, hubungan agama dan negara kian mesra. Bung Karno, proklamator kita, menginjeksikan nilai keagamaan dengan menegaskan bahwa bertuhan secara kebudayaan dengan tiada egoisme agama, berkeadaban, saling menghormati, dan berbudi pekerti (Herbert Feith, 1988).
NU dan Islam Indonesia
Penting diingat, Islam terlibat dalam pergumulan sejarah politik bangsa. Nasionalisme tidak serta merta lahir tanpa campur tangan agama. Laffan (2003), sejarawan Islam terkemuka, menemukan bahwa Islam memiliki kontribusi besar dalam sejarah panjang nasionalisme di Indonesia.
Muslim Indonesia menjadi aktor penting yang mendorong terbentuknya Indonesia menjadi negara-bangsa (nation-state) atas jasa para kaum reformis Muslim yang berani mengubah wawasan kebangsaan dari wacana “ummah” menjadi “bangsa” dan menggeser diskursus Al-Jawi menjadi tanah air dan bangsa dalam arti modern dewasa ini. Konsekuensinya, membela bangsa adalah bagian dari panggilan epifani ilahi yang harus dijunjung tinggi.
Peran kaum Muslim tidak berhenti, Nahdlatul Ulama (1926) menjadi soko guru bangsa. NU pada muktamar di Banjarmasin (1935) bersikap tegas bahwa negara tidak perlu menjalankan syari’at Islam. Syari’at Islam hanya wajib dijalankan oleh masyarakat. Artinya, agama tidak mesti diformalkan di ruang publik karena Indonesia secara kodrati majemuk dalam suku, tradisi, entis, bahkan agama.
Relasi agama dan budaya kerap dibahasakan oleh Gus Dur dengan “pribumisasi Islam”. Amal jariah NU untuk bangsa tidak pernah surut, dan hal tersebut dibuktikan pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, praktis NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal (kembali ke khittah 1926).
Dua Tantangan Besar
Kini, wajah agama ditampilkan oleh sebagian kelompok dengan rupa beringas dan penuh arogansi di ruang publik yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Ruang publik pengap dengan perdebatan lawas yang menyangkut hubungan agama dan negara. Ironisnya, Pancasila dan Islam diperhadapkan kembali.
Dalam konteks demokrasi, ruang publik—seperti yang dibayangkan filsuf terkemuka Jerman, Jurgen Habermas—bukan hanya mencari yang baik untuk kelompok tertentu, melainkan konsensus etis (adil) yang mengakomodir semua pihak dengan cara mempercakapkan kebutuhan bersama dengan terbuka dan dewasa.
Umat beragama diuji dengan dengan dua tantangan besar. Pertama, faktor internal dari sikap intoleran sebagian kelompok yang acapkali saling mengkafirkan (takfiriyah) dan berujung pada kekerasan. Sikap intoleran telah merobek tenun kebangsaan yang diperjuangkan sejak dahulu. Nasionalisme yang dalam khittahnya dibangun untuk perekat sosial, kini terkoyak kembali oleh kesadaran yang didasarkan pada primordialisme. Nilai-nilai primordialisme yang dijangkarkan pada agama, suku, ras, dan etnis menjadi benalu bagi demokratisasi yang tengah melaju pada tahap konsolidasi.
Pada titik ini, intoleransi telah masuk dalam sendi-sendi pendidikan. Studi teranyar yang dilakukan Pusat Pengkaijian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang “Guru Agama, Toleransi, dan Isu-isu Kehidupan Keagamaan Kontemporer di Indonesia” yang dirilis pada Desember 2016 lalu, menemukan bahwa aspirasi guru agama terhadap penerapan syari’at Islam cukup tinggi.
Guru agama yang setuju terhadap pemerintah berdasarkan syari’at Islam mencapai 78%, dukungan terhadap organisasi yang memperjuangkan syari’at Islam mencapai 77%, sedangkan guru agama yang tidak setuju dengan Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan syari’at Islam mencapai 18%. Masalah kepemimpinan, sekitar 89% guru agama tidak setuju kepala daerah yang non-Muslim.
Ketika guru agama ditanya apakah mereka bersedia menampung warga Syi’ah dan Ahmadiyah, sekitar 80% tidak setuju. Guru agama yang tidak setuju pendirian rumah ibadah agama lain di wilayah mereka mencapai 81% dan sekitar 78% mereka tidak setuju non-Muslim mengajar di sekolah Islam.
Tampak bahwa terdapat urgensi untuk mendorong reformasi Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah agar tidak hanya memiliki misi keagamaan (religious mission) yang diharapkan mampu membentuk Muslim yang taat, melainkan juga harus turut serta menginjeksikan nilai-nilai kebangsaan agar terwujudnya warga negara yang baik dan menghormati nilai-nilai keindonesiaan, termasuk pluralitas (keberagaman).
Kedua, ideologi trans-nasional dengan dalih kembali pada kemurnian Islam: al-Qur’an dan Hadis, namun justru menjadikan tindakan teror yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan sebagai nafas pergerakannya. Kita bisa bercermin pada Nigeria dengan kasus Boko Haram, Somalia, dengan kelompok islamis al-Shabab sebagai dalangnya, dan ISIS di Timur Tengah.
Oleh karenanya, jika negara lemah dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, tidak tertutup kemungkinan Indonesia akan menjadi “negara gagal” (failed states) akibat kehancuran persatuan bangsa. Dalam hal ini, amal usaha NU dan organisasi lainnya seperti Muhammadiyah dalam merawat nilai-nilai keindonesiaan sangatlah dibutuhkan.