Selasa, Oktober 8, 2024

Gubernur Anies dan Becak Jakarta

Darmaningtyas
Darmaningtyas
Analis pendidikan/Pengurus PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa) di Yogyakarta; aktif di MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) dan Ketua INSTRAN (LSM Transportasi) di Jakarta.

Izinkanlah saya menuliskan masalah becak dari perspektif transportasi, bukan dari dimensi politis, terkait pernyataan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang ingin mengizinkan becak beroperasi kembali di Jakarta. Pernyataan ini penting agar bahasan mengenai gagasan mengembalikan becak di Jakarta betul-betul dari perspektif transportasi, tidak politis.

Bagi saya, persoalan politiknya selesai ketika Pilkada DKI Jakarta usai dan gubernur baru terpilih, meski itu mungkin bukan pilihan kita. Itulah makna demokrasi. Sama halnya Pilpres 2014, penyokong calon presiden yang kalah sebaiknya legowo dan mendukung presiden terpilih. Jika ada program-program yang tidak sejalan, itu yang perlu dikritisi, namun penghormatan terhadap presiden terpilih mutlak perlu dilakukan.

Ibarat halilintar di siang bolong ketika Gubernur Anies Baswedan menyatakan akan mengizinkan becak beroperasi kembali di Jakarta secara resmi, terutama di kampung-kampung. Artinya, becak itu tidak akan beroperasi di jalan-jalan protokol, tapi sebagai angkutan lingkungan di perkampungan.

Masalah becak di Jakarta sejak dulu timbul-tenggelam. Konon, becak hadir di Jakarta pada dekade 1930-an. Meski ada yang berteori ia ada sejak zaman Jepang, kenyataannya sebelum Jepang datang ke Indonesia becak telah ada di Jakarta. Populasi becak di Jakarta mengalami puncaknya mencapai 400.000 pada 1964, tapi kemudian merosot menjadi 150.000 pada 1970.

Antara 1970 sampai 1973 jumlah becak terus merosot pada angka di bawah 50.000 unit. Tapi pada tahun 1980 naik lagi menjadi sekitar 90.000 unit. Setelah 1981-1984 turun, pada 1985 naik lagi pada kisaran 90.000 unit lagi. Namun setelah itu terus menurun dan akhirnya hilang sama sekali pada tahun 1991 (Yoshifumi Azuma, 2001:14).

Persepsi terhadap Becak

Meski dalam realitas sosiologisnya becak adalah sarana transportasi umum awal di Jakarta yang amat membantu warga Jakarta saat itu, tapi persepsi penguasa terhadap becak negatif. Presiden Soekarno pada tahun 1960-an dalam salah satu pidatonya kepada kaum marhaen mengatakan: “Jangan menjadi tukang becak, paling tidak menjadi seorang kuli, karena menarik becak adalah pekerjaan tidak bermartabat.”

Berdasarkan pernyataan Presiden Soekarno seperti itu pula yang mendasari langkah Gubernur Ali Sadikin mulai menghalau becak dari Kota Jakarta.

Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib) Laksamana Sudomo pernah mengeluarkan surat rahasia (R/152-5/KAMDA/IX/1982 bertanggal 29/9/1982 ditujukan kepada Gubernur DKI Jakarta yang isinya menyatakan bahwa menjelang Sidang Umum MPR becak-becak kemungkinan akan menimbulkan masalah, karena itu, pengendalian ketat terhadap mereka perlu dilakukan (Wardah Hafidz: 2001: XI).

Melalui pernyataan-pernyataannya di koran dan TVRI (media yang ada saat itu), Laksamana Sudomo selalu menyatakan, “becak merupakan biang kemacetan dan kesemrawutan Kota Jakarta.” Gubernur DKI Jakarta pada saat itu dijabat oleh Tjokropranolo, yang sangat mencintai orang kecil sehingga kurang bersemangat menertibkn becak. Pada zaman Tjokropranolo pula program penggantian bemo menjadi mikrolet dilakukan.

Persepsi positif terhadap becak hanya dimiliki oleh Ibu Sud, pencipta lagu anak-anak yang dalam salah satu syairnya berbunyi: “aku mau tamasya, berkeliling keliling kota, hendak melihat-lihat, keramaian yang ada, saya panggilkan becak, kereta tak berkuda, becak-becak, coba bawa saya”.

Ibu Sud menggambarkan becak dalam suasana kegembiraan anak-anak. Maklum, waktu itu belum ada taxi, orang yang memiliki motor dan mobil juga terbatas, sehingga becak memang menjadi sarana transportasi favorit untuk menuju ke tempat rekreasi atau berkeliling kota.

Berbeda dengan Ibu Sud, group Bimbo pernah punya album yang salah satunya bercerita tentang Abang Becak tapi dalam nada empati sosial: “Abang becak, abang beca di tengah jalan, cari muatan untuk mencari makan, putar-putar kaki mengayun, putar jauh keringatpun lalu jatuh; dari pagi hingga matahari terbenam, barat timur selatan serta utara, hujan ppanas tiada merintangimu, abang beca abang beca”.

Di Kota Yogyakarta, becak sering menjadi tema lawakan pelawak kondang Basiyo pada dekade 1970-an.

Barang Haram

Penertiban becak secara serius baru dilaksanakan pada masa Gubernur Suprapto (1983-1988) dan Gubernur Wiyogo Atmodarminto (1988-1992). Gubernur Suprapto memulai dengan membuat Peraturan Daerah No. 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum yang di dalamnya mengatur becak dilarang beroperasi di DKI Jakarta. Sedangkan eksekusi pembersihannya dilakukan oleh Gubernur Wiyogo Atmodarminto. Pada saat Soerjadi Sudirdja menjadi Gubernur (1992–1997) Jakarta sudah tidak ada becak lagi.

Tukang becak mengangkut penumpang saat melintas di kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta, Selasa (16/1). Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mewacanakan untuk menghidupkan kembali moda transportasi becak di Jakarta. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww/18.

Pada saat terjadi multikrisis (1998) Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengizinkan becak beroperasi kembali di Jakarta guna mengatasi pengangguran. Berbondong-bondonglah abang becak dari Indramayu, Cirebon, Kuningan, Brebes, Tegal, dan Pekalongan masuk ke Jakarta, jumlahnya diperkirakan mencapai 100.000-an. Namun, karena kebijakan tersebut dikritik oleh DPRD dengan mengacu pada Perda No. 11/1998, akhirnya Gubernur Sutiyoso pun mencabut pernyataannya dan kembali melarang becak beroperasi di Jakarta.

Hanya saja kehadiran Urban Poor Consortium (UPC) pimpinan Wardah Hafidz yang melakukan pengorganisasian abang becak mampu memperpanjang masa tinggal becak hingga awal 2001. Mereka juga mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) atas Perda No. 11/1988 dan dimenangkan oleh MA, namun Pemprov DKI Jakarta tetap menolak becak kembali ke Jakarta. Perda No. 11/1988 pun kemudian direvisi menjadi Perda No. 8 Tahun 20017 tentang Ketertiban Umum dan substansinya juga sama, yaitu melarang becak beroperasi di Jakarta.

Menyikapi pro dan kontra kehadiran becak di Jakarta, pada tahun 1999 saya dkk. melakukan pemetaan terhadap titik-titik yang dapat dipakai untuk operasional becak dan menghasilkan rekomendasi: becak dapat dioperasikan di sejumlah jalan kampung untuk menjawab kebutuhan transportasi warga, terutama bagi ibu-ibu untuk pergi/pulang belanja di pasar, karena ojek sepeda motor dinilai kurang nyaman bila membawa barang belanjaan.

Jumlah becak yang direkomendasikan maksimal 5.000 becak. Pemetaan tersebut sebagai bentuk respons terhadap pernyataan Komisi A DPRD DKI Jakarta agar perlu ada kajian untuk mendukung becak boleh beroperasi di Jakarta lagi. Oleh karena itu, hasil kajian pun kami presentasikan ke Komisi A DPRD DKI Jakarta, namun ditolak.

Pada saat itu kami bukan hanya melakukan pemetaan saja, tapi juga koordinasi dengan aparat setempat (eksperimennya di Pasar Bungur, Jakarta Pusat) agar Abang Becak dapat dimanfaatkan untuk turut menjaga keamanan lingkungan. Namun, karena keputusan politik mengatakan “Jakarta harus bebas becak”, maka pemetaan dan penguatan komunitas itu tidak berlanjut.

Saat ini kondisi lalu lintas di Jakarta sudah amat crowded, sehingga rekomendasi tahun 1999 tidak seluruhnya relevan. Yang mungkin bisa dilakukan Gubernur Anies Baswedan adalah mempertahankan becak yang masih ada (hasil survei Dinas Perhubungan dan RUJAK November 2017 ada 314 unit) dan menempatkan becak di lokasi-lokasi rekreasi: Ancol, Kota Tua, Monas, Ragunan, TMII, dan Bumi Perkemahan Cibubur.

Selain itu, manajemen becak harus profesional, yaitu pengemudinya adalah anak-anak mudah yang dilatih secara khusus, diberi seragam, diajari melayani konsumen, dan diberi gaji bulanan sesuai upah minimum provinsi (UMP). Tiket becak dimasukkan ke dalam tiket masuk tempat rekreasi, sehingga penumpang tidak perlu bayar lagi.

Pertanyannya adalah, apakah ada anak muda mau? Kalau pasukan orange yang menguras got saja diperebutkan, apalagi mengemudi becak yang tidak kotor dan dapat gaji, pasti diperebutkan juga.

Apakah memperkerjakan anak muda untuk mengemudi becak di tempat-tempat wisata tidak merupakan exploitation de l’homme par l’homme seperti sering dikritik Presiden Soekarno? Jauh tidak manusiawi kalau membiarkan anak muda menjadi penganggur. Lagi pula, apakah menjadi driver ojek online yang mangkal di jalanan sampai dini hari menunggu orderan penumpang cukup manusiawi dan tidak exploitation de l’homme par l’homme

Jadi, semuanya amat tergantung pada perspektif kita saja. Tapi sebagai pejuang eksistensi angkutan tidak bermotor, saya menyambut baik gagasan mengembalikan becak di Jakarta, terutama di tempat-tempat wisata sebagai angkutan rekreasi, tapi tidak di jalan raya!

Kolom terkait:

Mau ke Mana Kebijakan Transportasi Anies-Sandi?

Putusan MA, Sepeda Motor, dan Keruwetan Transportasi Jakarta

Menggusur Motor dari Jalan-jalan Protokol

Buruk Rupa Transportasi Jakarta

Jokowi dan Kesenjangan Regulasi Transportasi [Catatan Transportasi 2016]

Darmaningtyas
Darmaningtyas
Analis pendidikan/Pengurus PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa) di Yogyakarta; aktif di MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) dan Ketua INSTRAN (LSM Transportasi) di Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.