Emakku bukanlah pahlawan negara yang berjuang di medan pertempuran. Bukan pula pahlawan super layaknya di film-film superhero. Dia adalah anak dari seorang petani biasa. Dia juga hanyalah istri seorang buruh di perkebunan kelapa sawit yang bergaji pas-pasan. Bahkan dia sama sekali tak lulus Sekolah Dasar. Bukannya beliau tak ingin bersekolah tinggi-tinggi, namun baginya membantu orangtua jauh lebih penting.
Meskipun kehidupan di masa mudanya terbilang susah, Emak tidak pernah menyerah, tak pula lantas murka. Dengan cakapnya dia membantu orangtuanya untuk melakukan berbagai pekerjaan. Pasca menikah, Emak tak lantas bersantai. Dengan penuh cinta beliau membantu suaminya untuk mencari nafkah.
Setelah Emak dan ayah memiliki anak, mereka mulai berpikir tentang masa depan keluarga. Karena tidak puas dengan kehidupan di kampung yang dirasa kurang menjanjikan untuk masa depan keluarga, Emak dan ayah pindah ke luar daerah yang jarak tempuhnya 10 jam dari kampung. Emak akhirnya pindah ke kampung yang baru.
Di tempat yang baru ayah bekerja sebagai buruh perkebunan teh. Emak pun tak mau kalah dengan ikut bekerja bersama ayah sebagai buruh. Tak pernah Emak berpkir bahwa ia seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya lebih ringan.
Di sinilah hidup Emak dan ayah sedikit demi sedikit mulai berubah. Emak dan ayah sedikit demi sedikit mulai menata masa depan keluarga, khususnya bagi anak-anak. Atas alasan ini Emak terus memutar otak untuk bisa menghasilkan uang yang jauh lebih banyak. Akhirnya, selain bekerja sebagai buruh, Emak berinisiatif untuk berdagang sayur-mayur di kampung. Karena ketekunannya, barang dagangan mereka laris manis.
Namun beberapa tahun kemudian sebuah kejadian tak terduga dialami Emak. Akibat operasi yang dialaminya dalam proses melahirkan, beliau tidak bisa lagi bekerja keras layaknya sebelum operasi. Namun Emak adalah pahlawanku. Emak tidak mundur sedikit pun. Justru dengan kondisi tersebut, Emak lebih bergiat lagi untuk mancari cara bagaimana membantu perekonomian keluarga.
Emak pun akhirnya memilih untuk bekerja sebagai pedagang. Barang apa saja selama itu halal dikerjakan oleh Emak. Berdagang pakaian, sayur-mayur, ikan, hingga jajanan dilakukannya. Bahkan akibat kesibukannya, ketika istri-istri lainnya sudah beristirahat, Emak harus mempersiapkan dagangan yang akan dijualnya esok hari. Aku masih ingat jelas ketika aku SD, Emak berdagang mie di sekolahku.
Keuletan Emak dalam berdagang pun membuahkan hasil, dagangan emak menjadi langganan kebanyakan siswa yang ada di sekolahku. Hingga terkadang pedagang lain terlihat kurang laris.
Namun lagi-lagi Emakku menunjukkan jiwa pahlawannya. Emak memiliki hati layaknya malaikat. Karena merasa tidak enak dan iba dengan para pedagang lain yang notabene sudah lansia, Emak akhirnya memilih untuk tidak berdagang di sekolahku lagi. Bagiku, apa yang dilakukan Emak sungguh luar biasa. Ketika di satu sisi Emak membutuhkan uang untuk membiayai sekolah anaknya, di sisi lain Emak dengan piawainya masih memikirkan nasib orang lain yang ada disekitarnya. Aku pun kadang tertegun dan bangga bila mengingat pengorbanan Emak kala itu.
Beberapa tahun kemudian ketika aku beranjak SMP sebuah kebijakan pemerintah telah mengubah hidup kami. Pemerintah yang kala itu mengubah perkebunan teh menjadi sawit membuat kami berpindah ke rumah baru. Meskipun jaraknya cukup dekat, dampaknya cukup signifikan. Emak yang di rumah lama bisa memetik sayur mayur dan kebutuhan lainnya dari kebun di belakang rumah, kini harus membeli dari pedagang. Untungnya ketika pengeluaran naik, penghasilan ayah juga turut naik.
Meskipun saat itu pendapatan ayah sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Emak nyatanya tak berpuas. Meskipun berat dan coba dilarang, Emak tetap ngotot membantu ayah untuk bekerja di perkebunan. Hamparan peluh tidak dipedulikan oleh Emak. Baginya bekerja adalah sebuah langkah untuk membahagiakan anak dan keluarganya.
Tak jarang aku melihat wajah lelahnya, meskipun Emak coba menyembunyikannya dari kami. Emak seakan menahan rasa sakit yang sedang dia alami. Tak jarang bila Emak sakit, kami tidak mengetahuinya.
Seiring berjalannya waktu, karena pekerjaan ayah sudah tidak butuh bantuan lagi, Emak akhirnya beralih untuk bekerja di ladang orang lain sebagai buruh upah. Lagi-lagi Emak menunjukkan kehebatannya. Meskipun harus menempuh jarak berkilo-kilo untuk mencapai lokasi kerjanya, tidak membuat semangat Emak luntur. Emak bak superhero yang memiliki tenaga super. Pergi pagi, pulang sore tak membuat Emak mengeluh. Bahkan meskipun sudah lelah bekerja, Emak masih menyempatkan diri untuk bersih-bersih dan memasak untuk kami.
Tak cukup bekerja di ladang, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia membeli pakaian dari kota, lalu dijajakan ke orang-orang. Dari rumah ke rumah. Bahkan sejak aku SMA, Emak juga berjualan cairan pencuci piring hasil buatan tangannya sendiri. Emak memang dikenal sebagai orang yang selalu ingin belajar melakukan apa saja.
Emak melakukan semua itu dengan berjalan kaki. Sebuah pekerjaan yang melelahkan, namun tidak bagi Emak. Pekerjaan ini Emak lakukan hingga aku beranjak kuliah. Bahkan beliau melakukannya di tengah penyakit yang sedang dialaminya.
Meskipun disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang dilakukannya dari pagi hingga malam, Emak tak lupa untuk menjalankan perannya sebagai orangtua dan memberikan kasih sayang serta petuahnya bagi anak-anaknya. Emak selalu meminta anak-anaknya untuk bersekolah setinggi-tingginya. Emak ingin kami mengubah nasib keluarga menjadi jauh lebih baik dan lebih terhormat.
Emak memang bukanlah Kartini. Bukan pula pahlawan yang berjuang di medan tempur. Namun jasa Emak tiada taranya. “Dari Emak aku belajar tentang hidup. Dari Emak aku belajar tentang perjuangan. Dari Emak aku belajar tentang rasa syukur. Dari Emak aku belajar tentang pengorbanan. Dari Emak pula aku belajar tentang cinta dan kasih sayang.”
Emakku Pahlawanku….
Selamat Hari Ibu, Emak.
Kolom terkait:
Kepahlawanan Perempuan sebagai Ibu Kehidupan
Refleksi Hari Ibu: Idealistis Vs Realistis