Suatu ketika, di tahun 1982, Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melontarkan gagasan untuk menyelenggarakan agenda “Malam Solidaritas untuk Palestina”. Gagasan ini kemudian dikomunikasikan dengan beberapa penyair Indonesia, di antaranya Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, Subagyo Sastrowadoyo, Danarto, Abdul Hadi WM, Arif Budiman, Zawawi Imran dan beberapa penyair lain.
Oleh Gus Dur, KH A. Mustofa Bisri alias Gus Mus diminta datang ke Jakarta untuk bersama-sama penyair ibu kota membaca puisi tentang Palestina.
Pada waktu itu Gus Dur menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 1982-1985. Sontak dia mendapat sindiran dan kritikan keras dari para kiai. Gus Dur mengkoordinir para seniman. Maklum, pada saat bersamaan Gus Dur juga mendapat amanah sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Para kiai tidak setuju dengan langkah Gus Dur, dengan strategi sastra dan kebudayaan. Langkah zig-zag Gus Dur memang tidak banyak dimengerti, hanya sebagian dari orang-orang dekatnya dan kiai-kiai yang memahami langkah Gus Dur, yang kadang menggunakan jalur berputar untuk mencapai tujuan. Oleh beberapa kiai, Gus Dur dianggap memalukan, “Ketua Umum PBNU, kok, merangkap sebagai dalang,” demikian kritikan yang muncul.
Bagi para seniman, Gus Dur dianggap pribadi hangat, merangkul, sekaligus dapat menjadi teladan. Toety Herati, kawan Gus Dur ketika menjadi pengurus DKJ, mengingat kedekatan Gus Dur dengan beberapa sastrawan. “Masa-masa itu paling mengasyikkan, di mana kami sering diskusi, bertukar pikiran tentang berkesenian dan mengenai perlunya seniman memiliki kebebasan dalam berekspresi. Tentu, tidak melulu serius, karena diselingi joke-joke-nya yang segar,” kenang Toety, dalam arsip “Gus Dur di Antara Seniman” (DKJ, 5 Januari 2010).
Kisah bagaimana Gus Mus dipromosikan sebagai sastrawan oleh Gus, diceritakan Kiai Husein Muhammad (Gus Dur dalam dalam Obrolan Gus Mus, 2015). Di hadapan Kiai Husein, Gus Mus berkisah tentang peristiwa ketika Gus Dur memintanya membaca puisi tentang Palestina di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
“Saya diminta oleh Gus Dur untuk membaca puisi di TIM (Taman Ismail Marzuki, Jakarta). Padahal, saya hanya orang desa dan santri sarungan yang tidak mengerti sastra dan puisi, kok diminta tampil di Ibu Kota? Saya juga hanya sesekali mengunjungi Jakarta, dan itu hanya untuk keperluan pribadi,” kisah Gus Mus.
“Rakyat Palestina sedang berjuang mati-matian untuk merebut kembali tanah air mereka yang dicaplok Israel. Mereka adalah bangsa yang tertindas dan terusir dari tempat kelahiran mereka sendiri. Para pengurus sepakat atas gagasan ini. Lalu, Gus Dur mengusulkan agar acara itu diisi dengan pembacaan puisi-puisi karya penyair Palestina. Beberapa di antaranya adalah Nizar Qabbani, Mahmud Darwisy, dan lain-lain,” kenang Gus Mus.
“Sampai di TIM, saya bertemu dengan penyair yang hebat-hebat. Salah satunya adalah penyair Subagyo Sastrowardoyo. Aku melihat dia sedang tekun membaca atau menghafal puisi-puisi di sebuah sudut di ruangan itu. Dia sepertinya tak mau diganggu oleh siapa pun. Menurut rencana awal, para penyair itu akan membacakan puisinya terlebih dahulu, dan aku ditempatkan di belakang. Tetapi, tiba-tiba berubah. Salah seorang penyair mengusulkan agar puisi Arab terlebih dahulu. Ya, saya diminta lebih dulu membacakannya. Tentu saja, dada saya berdegub-degub. Ada rasa gugup dan cemas,” kisah Gus Mus, sebagaimana dinarasikan Kiai Husein Muhammad.
Menurut Gus Mus, Kiai Abdurrahman Wahid merupakan sosok yang sangat mencintai Palestina. Sangat mencintai perjuangan mereka. Tidak sebagaimana dituduhkan sebagian orang bahwa beliau membela Israel, hanya karena pernah berkunjung ke sana dan diangkat menjadi anggota Simon Peres Foundation.
Gus Dur memang beberapa kali berkunjung ke Israel, untuk misi diplomatik dan perdamaian. Pandangan Gus Mus tentang langkah Gus Dur ini memberi penyegaran di tengah kebingungan publik atau Muslim Indonesia memandang konflik Timur Tengah, khususnya relasi Israel-Palestina.
Misi Perdamaian Gus Mus
Lalu, bagaimana pandangan Gus Mus tentang konflik Israel-Palestina? Ketika tentara Israel pada 2014 dengan brutal menyerang Palestina, yang menewaskan ratusan rakyat sipil, Gus Mus mengkritik keras. “Kita tidak bisa berpikir jernih. Kita seharusnya membela Palestina bukan karena Palestina negara yang banyak pemeluk Islam, tetapi seharusnya kita membela Palestina karena nasib Palestina sama seperti Indonesia, yang dulu dijajah Belanda,” jelas Gus Mus.
Gus Mus juga mengkritik orang-orang yang tidak memahami akar konflik Palestina-Israel, yang sering dianggap sebagai konflik agama. “Orang-orang mudah mengait-kaitkan agama terkait persoalan konflik Palestina-Israel,” katanya.
Gus Mus juga tidak setuju dengan aksi berlebihan untuk mendukung Palestina. “Wong-wong podo demo kok gowo bendara Laa Ilaha illa Allah, ngono yo lapo.. [orang-orang pada demo pakai bendera Laa Ilaha Illa Allah, itu untuk apa?” demikian kritik Gus Mus.
Yang jelas, Gus Mus gigih dengan misi perdamaian untuk menyuarakan aspirasi tentang Palestina-Israel. Gus Mus mengajak warga Indonesia dan dunia agar lebih jernih melihat konflik yang berlangsung demikian lama itu, bukan sebagai konflik agama. Dengan berbagai lawatan diplomatiknya, Gus Mus beberapa kali menyampaikan pesan penting bagaimana menyuarakan misi perdamaian tentang konflik Israel-Palestina.
Misi perdamaian ini berdengung kembali di Jakarta. Setelah 35 tahun berlalu, sastra menjadi lokomotif penebar perdamaian. Gus Mus menginisiasi malam pembacaan puisi “Doa untuk Palestina” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (24/08/2017).
Agenda ini, akan dihadiri oleh beberapa penyair dan akademisi: Prof. Abdul Hadi WM, Acep Zamzam Noor, Anis Sholeh Baasyin, Butet Kertaradjasa, D. Zawawi Imran, Fatin Hamama, Inayah Wahid, Jamal D Rahman, Joko Pinurbo, Jose Rizal Manua, Prof. Dr. Mahfud MD, Najwa Shihab, Prof. Dr. Quraish Shihab, Ratih Sanggarwati, Renny Djajoesman, Slamet Rahardjo, Sosiawan Leak, Sutardji Calzoum Bachri, Buya Syafii Maarfif, Taufiq Ismail, dan Ulil Abshar-Abdalla.
Malam pembacaan puisi ini menjadi ruang refleksi dan kampanye perdamaian penting di tengah deru isu tentang Israel-Palestina, serta kegagalan memahami akar konflik di Timur Tengah. Bahkan di beberapa komunitas warga negeri ini cenderung melihat konflik di Timur Tengah sebagai konflik agama. Inilah yang perlu disegarkan dengan pemahaman yang lebih jernih.
Gus Mus menyimpan renungan tentang perdamaian dalam puisinya “Atas Nama”:
Ada yang atas nama Tuhan melecehkan Tuhan/ ada yang atas nama negara merampok negara/ Ada yang atas nama rakyat menindas rakyat/ Ada yang atas nama kemanusiaan memangsa manusia/ Ada yang atas nama keadilan meruntuhkan keadilan/ Ada yang atas nama persatuan merusak persatuan/ Ada yang atas nama perdamaian mengusik perdamaian/ Ada yang atas nama kemerdekaan memasung kemerdekaan/ Maka atas nama siapa saja atau siapa saja/ kirimlah laknat kalian/ Atau atas nama perangilah mereka/ Dengan kasih sayang…
Gus Mus mengajak kita semua untuk melihat kembali segala masalah dan kekerasan dengan cinta. Kita harus melawan, mengutuk, dan melaknat segala perang-kekerasan dengan cinta, kemanusiaan, dan kasih sayang. Dari Gus Dur, Gus Mus, dan lain lain kita mendapatkan teladan dan pencerahan.
Baca juga:
Palestina di Tengah Keabsurdan Dunia Islam [Hari Al-Quds Internasional]