Cadar, penutup muka, atau apalah namanya itu, bikin riuh dunia perjagatmayaan kita. Akhir-akhir ini seputar tentangnya menjadi kontroversi. Hingga mungkin mengalahkan hebohnya gejolak perpolitikan nasional, atau kabar tentang terungkapnya sindikat penyebar hoaks, Muslim Cyber Army.
Berawal dari dikeluarkannya surat selebaran Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yudian Wahyudi perihal “Pembinaan Mahasiswi Bercadar”, isu ini lambat laun menuai bentuknya. Dari yang katanya akan membina, justru berujung pada upaya pelarangan. Bahkan kabar yang muncul terakhir adalah pemecatan.
“Ada 41 (mahasiswi) yang kami data, dan mereka menggunakan cadar dari berbagai fakultas di kampus. Kalau sudah dilakukan pembinaan dan konseling, bahkan sudah tujuh tahapan dilalui dan tetap menolak (melepas cadar), maka dipersilakan pindah atau keluar dari kampus,” tegas Yudian pada Senin, 5 Maret 2018. Ngeri-ngeri sedap, bukan?
Membaca alasan rektorat memang tampak mulia. Di samping sebagai upaya meminimalisasi praktik radikalisme keagamaan dalam kampus, rektorat pun merasa diri sebagai orangtua mahasiswa, bertanggung jawab mengalihkan kehidupan mereka ke arah yang menurutnya jauh lebih baik dari yang mahasiswa anggap. Hal itu sebagaimana dijelaskan salah satu wakil dekannya, Abdur Rozaki, dalam Kontroversi Mahasiswi Bercadar di UIN Jogja (alif.id).
“Surat rektor tersebut, jika dilihat secara lebih seksama, sangat mengandung unsur kehati-hatian, agar para mahasiswi yang bercadar tidak mengalami persekusi di kampus. Lebih dari itu, tidak ingin pula para mahasiswa terperangkap dalam jejaring gerakan keagamaan yang membahayakan dirinya dan menciptakan kekhawatiran bagi para keluarganya. Juga tanggung jawab untuk mengembangkan model keberagaman yang visioner bagi para mahasiswa, agar kelak mereka mampu memikul tanggung jawab kebangsaan yang disinari cahaya agama.”
Pokoknya, pihak rektorat sudah merasa paling tahulah tentang apa yang baik dan yang tidak baik bagi mahasiswa. Persis seperti Joseph Stalin di era keemasan Uni Soviet, rektorat pun menjelma jadi insinyur jiwa mahasiswa.
Surat edaran itu sendiri juga merupakan upaya rektorat menertibkan kampus mengingat Kementerian Agama yang ingin menyebarkan Islam moderat. Melalui pengaturan mahasiswi bercadar, pihak rektorat ingin mewujudkan Islam dalam kampus yang senantiasa mengakui dan mendukung konsensus pilar-pilar kebangsaan: Pancasila, Bhinneka Tunggal, NKRI, dan UUD 1945—Islam Nusantara.
Dilema
Kabar pelarangan mahasiswi bercadar nyatanya tak sekadar mengundang kontroversi. Tetapi, untuk sekadar meresponsnya, perihal ini juga bikin dilema. Antara mendukung dan menolak, masing-masing punya efek yang—nahasnya—tak bisa saling menggantikan.
Katakanlah saya harus ikut mendukung kebijakan rektorat yang demikian itu. Lalu, apa yang akan saya dapat? Tereduksinya kebebasan, dalam hal ini kondisi kebebasan individu untuk berekspresi, tampil sesuai selera.
Lha, bagaimana tidak tereduksi kondisi kebebasan mahasiswa kalau rektoratnya bertangan besi seperti itu? Mulanya mungkin soal pakaian saja. Tapi siapa bisa jamin kalo hal itu kelak juga akan berimbas kepada hal-hal paling fundamental lainnya: dengan siapa harus bergaul, apa-apa yang boleh dilakukan mahasiswa dalam kampus, sampai harus seperti apa mahasiswa dalam berpikir. Kan ngeri, bukan?
Namun, ketika saya harus berbalik menolaknya, itu berarti saya tak ikut mendukung cita-cita pemberantasan radikalisme keagamaan dalam kampus saya sendiri. Karena, memang, salah satu alasan rektorat mengeluarkan kebijakan pelarangan mahasiswi bercadar itu adalah lantaran terindikasi punya gerakan radikal yang—jika dibiarkan—tatanan keadaban bisa rusak, hancur, berantakan.
Indikasi itu bukan tanpa dasar. Jauh sebelum keputusan larangan bercadar ini dibentuk, terdapat memang salah satu perkumpulan mahasisiwi UIN Yogyakarta yang bercadar, yakni Niqobis, yang menyelenggarakan kegiatan bernuansa provokatif. Itu dilangsungkan di sekitar masjid kampus dengan bentangan spanduk bertuliskan “Rangkul muslimah berhijrah dengan ukhuwah untuk tegakkan istiqomah”.
Gerakan Niqobis ini punya jejaring sosial yang tidak bisa disepelekan. Mereka punya banyak grup seperti di WhatsApp, yang isinya bukan hanya mahasiswa, melainkan juga dosen UIN Yogya sendiri. Sekali mereka buat kegiatan, yang berlangsung tiap hari Jumat dan Minggu, selalu dikerubungi seperti gula oleh semut. Pokoknya, gerakan mereka kencang, saling membangun, terutama dalam hal kampanye di media sosial.
Belum lagi soal fakta deklarasi sejumlah mahasiswi bercadar yang ingin tegakkan khilâfah dalam kampus. Waktu itu, mereka juga bentangkan bendera Hizbut Tahrir sebagai tanda bahwa mereka merupakan pengikut gerakan radikal anti-NKRI tersebut.
Kita tahu belaka Hizbut Tahrir punya cita-cita yang potensi besarnya merusak tatanan ke-NKRI-an. Kalau ini dibiarkan, apa jadinya Indoensia yang terbalut dalam kebinekaan ini ke depannya? Masa iya bangsa beragam melulu harus diarahkan dalam satu paham agama aja, Islam? Maka, menjadi dilemalah saya jika tak ikut menolak keberadaan mereka.
Tetapi, netral dalam hal apa pun adalah laku yang munafik juga saya pikir. Saya harus tega dan mampu memilih dengan kesadaran bahwa pilihan selalu akan menyisakan hal yang tak tergantikan. Begitulah risikonya, lebih tepatnya, risiko orang-orang bebas: memilih adalah niscaya.
Tolak Keputusan Rektor
Tiap lembaga memang punya kode etik tertentu, termasuk dalam hal berpakaian. Tetapi rektorat juga harus sadar, cadar adalah bagian dari keimanan si pemakainya. Jadi, bukan hanya soal kepantasan saja yang harus jadi ukuran. Ada aspek yang jauh lebih mendasar, yakni keimanan yang memang tempatnya di dalam hati.
Mengapa mereka bercadar? Mengapa ada orang yang bercelana cingkrang? Mengapa ada yang penampilannya seperti kambing, berjenggot tanpa kumis? Mengapa pula ada orang yang berjidat hitam lebam? Itu semua karena dasarnya adalah iman. Apa yang mereka percayai dan yakini, seperti juga kita, itulah yang jadi pedoman dalam berperilaku.
Lagi pula, UIN Yogya ini kan lembaga pendidikan negeri, bukan swasta. Konteksnya beda. Yang swasta mungkin bisa kita benarkan jika ada aturan yang bernuansa mewajibkan. Yang swasta punya hak, sebagai pemilik modal. Tapi UIN? Alih-alih menarik opini (mahasiswa) terlebih dahulu, lembaga negeri ini langsung seenak saja mengambil suatu keputusan. Kan aneh jika lembaga negara tak memenuhi prosedur yang memang diharuskan dalam konteks demokrasi.
Jika benar rektorat UIN Yogya berpacu dalam konsep keindonesiaan, maka bukan hal yang layak jika sampai mengeluarkan aturan semacam itu. Bukankah bangsa kita ini besar karena perbedaan, keragaman? Lalu mengapa harus diseragamkan segala?
Kalau masalahnya terletak pada susahnya mengidentifikasi wajah mereka saat ujian, misalnya takut ada permainan joki dari yang bercadar, ini sih sifatnya sangat teknis. Dan kalau masalahnya itu terletak karena ketakutan penyebaran gagasan radikal mereka, saya kira UIN Yogya sudah keterlaluan. Melawan gagasan, kok, pakai cara yang kolot?
Saya pun, secara pribadi, tak bisa bersepakat dengan gagasan bernuansa keagamaan yang radikal dari mereka. Tapi, ketidaksepakatan itu tak berarti harus diwujudkan dengan cara-cara kolot. Memangkas habis bukanlah solusi yang luhur. Lawan ia dengan gagasan pula. Jangan seperti pemerintah pusat yang langsung main bubar-bubarkan segala lantaran ketidakmampuan mereka dalam menghadirkan gagasan tandingan.
Tetapi, kalau soalnya karena cadar bukan budaya asli Indonesia, sebagaimana dijadikan satu alasan juga dari rektorat, pertanyaannya, apakah jilbab juga budaya asli negeri kita? Kan bukan. Jadi, kalau pelarangan cadar ini dipaksakan, mewajibkan yang bersangkutan melepas cadar, maka pewajiban atas jilbab bagi mahasiswi pun harus dihapuskan. Itu baru fair.
Apa pun itu, dasar keputusan rektorat, apalagi bernaung dalam lembaga negara, adalah kebebasan. Tak boleh mahasiswa yang notabene adalah warga negara diatur hingga serumit itu. Mereka juga punya hak yang sama sebagaimana telah tertuang dalam konsitusi negara. Kondisi kebebasan, apa pun alasannya, tak boleh direduksi, secuil pun.
Kolom terkait:
Ketika Mahasiswi Bercadar Dilarang Kuliah
“Islam Kaffah” yang Bagaimana?