Senin, Oktober 14, 2024

Buzzer SARA dan Banalitas Dunia Maya

Ranah, Rantau dan Jokowi

Membedah Anxiety

Ribut Lupiyanto
Ribut Lupiyanto
Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Penggemar Sepakbola

Kasus penyebaran kabar hoaks dan ujaran kebencian melalui media sosial kembali terbongkar. Kali ini Direktorat Tindak Pidana Cyber Crime Bareskrim Polri kembali mengungkap kelompok Muslim Cyber Army (MCA), lebih tepatnya buzzer SARA. Ada empat orang yang ditangkap dari MCA di empat daerah berbeda secara bersamaan. Masing-masing di Jakarta Utara, Bangka Belitung, Bali, dan Jawa Barat.

Kasus MCA  semakin menambah daftar panjang dilema sekaligus banalitas dunia maya. Banyak hal positif sebenarnya yang tercipta dan turut mendukung kemajuan peradaban dari eksistensi dan dinamika dunia maya. Namun, di sisi lain, juga terjadi permasalahan sekaligus tantangan yang tidak sedikit.

Salah satunya adalah politisasi SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) yang mengancam kondusivitas pilkada juga berpotensi terjadi di dunia maya serta dapat berpengaruh ke dunia nyata. Politisasi SARA di dunia maya mesti disikapi dengan penuh siaga dan sigap memitigasinya secara proporsional dan profesional.

Dinamika kehidupan manusia zaman now tidak bisa terlepas dari dunia maya. Dunia maya telah merebut ruang nyata manusia dan bahkan mampu mempengaruhi dinamika di dunia nyata. Kejadian di seluruh penjuru dunia tidak ada yang luput dari intaian dunia maya dan hanya dalam hitungan detik penyebarannya.

Bukti sederhana akan ketergantungan manusia atas dunia maya adalah tatkala terjadi listrik mati atau koneksi internet terputus. Kondisi demikian seakan kiamat kecil bagi manusia era digital ini.

Kondisi di atas tidaklah mengherankan. Indonesia dengan potensi demografinya juga menjadi surga bagi berkembangnya netizen atau warganet. Survei Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) 2016 menyebutkan bahwa pengguna internet 132,7 juta orang dari total penduduk 256,2 juta orang. Sekitar 89% di antaranya aktif di media sosial. Pengguna internet rata-rata sekitar 4 jam 42 menit sehari. Sedangkan akses medsos sekitar 2 jam 51 menit per hari.

Kebangkitan dunia maya, khususnya di ranah media atau jurnalisme, memberikan implikasi bagi media konvensional. Banyak media konvensional mengalami  senjakala. Sekitar 40 koran di Amerika yang menghadapi kebangkrutan. Koran Amerika yang gulung tikar antara lain The Washington Post, The New York Times, Tribune Co, Majalah Newsweek, Reader’s Digest, Rocky Mountain News, dan lainnya.

Sedangkan koran dalam negeri yang tutup antara lain Sinar Harapan, Harian Bola, Soccer, Jakarta Globe, Koran Tempo Minggu, Jurnal Nasional, Majalah Horizon, dan lainnya. Ini belum terhitung yang di daerah.

Dunia maya berperan strategis dalam memicu gerakan dan perubahan, termasuk sosial politik. Hal ini relevan sebagaimana kesimpulan Tapscott (2008) melalui penelitian fenomena The Net Generation di 12 negara dalam tiga benua. Kemenangan Obama dua kali sebelum Trump turut didukung oleh andil komunitas online dengan anggota lebih 1 juta orang.

Demikian pula kemenangan Anies-Sandi. Berdasarkan pengguna aktif media sosial, Anies-Sandi unggul 46,20 persen dan Ahok-Djarot 43,10 persen. Sedangkan berdasarkan pengguna pasif media sosial, Anies-Sandi unggul 54,60 persen dan Ahok-Djarot 37,40 persen. Fenomena Arab Spring di Mesir dan negara-negara Timur Tengah beberapa tahun lalu juga sangat terbantu oleh gerakan sosial di dunia maya.

Dinamika dunia maya juga sangat keras dan kerap menunjukkan saling serang antarpihak. Hampir semua pihak pernah menjadi pelaku sekaligus korban bullying di dunia maya. Tidak sedikit ganasnya dunia maya berujung kepada ranah hukum.

Pasal karet UU ITE terkait pencemaran nama baik dan ujaran kebencian bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ia dibutuhkan guna mengatur kehidupan dunia maya. Di sisi lain, ia dapat menjadi bumerang yang menakutkan bagi semua warganet.

Literasi Digital

Darurat damai di dunia maya mesti disikapi dengan tanggap dan sigap, bukan malah gagap. Kesadaran sekaligus kecakapan virtual mesti ditingkatkan melalui literasi digital kepada semua warganet. Dalam dunia maya, semua warganet dapat memposting atau mewartakan setiap hal yang diinginkan. Untuk itu, pemahaman tentang netizen journalism mulai dari yang paling sederhana mesti diberikan.

Warganet mesti berperan aktif dalam pengumpulan, pelaporan, analisis, dan penyebaraan berita dan informasi melalui dunia maya. Pada prinsipnya jurnalisme dunia maya sama dengan jurnalisme arus utama. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) memaparkan beberapa elemen jurnalisme yang dapat diadopsi warganet.

Pertama, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Kedua, loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga. Ketiga, esensi jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi. Keempat, jurnalis harus menjaga independensi dari pihak yang mereka liput (sumber berita).

Kelima, jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Keenam, jurnalisme harus menyediakan forum publik bagi kritik maupun dukungan warga. Ketujuh, jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan.

Kedelapan, jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional. Kesembilan, jurnalis menulis dengan suara hati nurani mereka.

Kode etik juga mesti dijunjung dalam berdinamika di dunia maya. Positivisme mesti dikembangkan di dunia maya. Prinsip bad news is good news harus diubah menjadi good news is good news.  Warganet  mesti berperan memberikan pencerahan serta mengajak warganet lain agar dapat lebih optimistis  dan lebih baik. Warganet juga penting memperhatikan balance information dalam memposting informasi.

Cek dan ricek dapat dilakukan agar terhindar dari budidaya hoaks. Kabar yang tidak jelas, janggal, tidak valid, dan tidak kredibel sumbernya mesti disikapi hati-hati. Warganet penting tidak mudah melakukan share informasi sebelum membaca utuh dan mempertimbangkan validasi serta menilai potensi undur hoaksnya.

Hal yang tidak bertanggungjawab adalah ketika hoaks dan benih konflik yang mengusik iklim damai justru diproduksi di dunia maya. Dilema finansial dapat mendorong perbuatan memalukan tersebut. Era kini santer terdengar adanya bisnis jual beli buzzer, intelijen digital, dan sejenisnya. Warganet mesti cerdas dan diimbangi regulasi yang tegas. Kemampuan journalisme warganet yang sederhana bagi semua warganet dapat menjadi jalan mitigasi strategis dalam merawat damai di dunia maya.

Kolom terkait:

Menjaga Kewarasan di Era Pasca Kebenaran

Siapa Merebus Sentimen Sosial Kita

Ideologi Fulus di Balik SARA Center

Dari “Wartawan Amplop” ke “Buzzer Amplop”

Ideologi Fulus di Balik SARA Center

Ribut Lupiyanto
Ribut Lupiyanto
Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Penggemar Sepakbola
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.