Kematian adalah hal yang biasa dan dialami semua orang. Tetapi ketika seseorang meninggal dunia dengan cara yang tidak wajar, apalagi seorang artis terkenal yang menjadi pujaan banyak penggemarnya, maka cerita yang terjadi bisa lain. Seperti diberitakan di media massa, kematian artis K-Pop Kim Jonghyun, vokalis utama boyband SHINee asal Korea Selatan, membuat dunia hiburan gempar. Jonghyun ditemukan tewas bunuh diri pada Senin, 18 Desember 2017 lalu.
Aksi bunuh diri Jonghyun menambah daftar panjang selebriti Korea yang memutuskan bunuh diri. Dibandingkan artis dari negara lain, seperti Amerika, Eropa, Jepang, dan lain-lain, kasus artis bunuh diri di Korea cenderung lebih tinggi. Sebutlah sejumlah nama, seperti Lee Eun-ju, U Nee, Jeong Da-bin, Ahn Jae-hwan, Choi Jin-sil, Choi Jin-young, Park Yong-ha. dan sejumlah artis Korea lain yang semua mengakhiri hidupnya dengan cara tidak wajar.
Kematian artis Korea yang menjadi pujaan penggemarnya ditengarai tidak hanya menyebabkan kasus bunuh diri di Korea termasuk tertinggi di dunia, tetapi juga memicu terjadinya kasus bunuh diri di kalangan penggemar dari negara lain–tak terkecuali dari Indonesia.
Di media sosial ramai diperbicangkan ulah salah satu remaja perempuan penggemar berat Kim Jonghyun yang, karena tak kuat menahan kesedihan, lantas ikut-ikutan mencoba bunuh diri dengan cara mengkonsumsi obat hingga overdosis. Beruntung penggemar fanatik artis Korea ini berhasil diselamatkan.
Sebagai bagian dari budaya populer global, K-Pop dewasa ini memang menjadi salah satu produk industri budaya yang digemari anak muda di berbagai negara. Tidak sedikit anak muda menjadi penggemar (fandom) yang kecanduan dan mengembangkn perilaku keranjingan yang luar biasa adiktifnya terhadap K-Pop.
Mereka bukan hanya tak kenal lelah dalam memilih dan mengkonsumsi berbagai produk budaya, tetapi juga sepertinya tak pernah bosan ketika harus menjadi pemburu setiap perkembangan mode, menelusur informasi yang senantiasa up to date, dan mencari hal-hal yang berkaitan dengan kegemaran mereka terhadap K-Pop. Berbelanja berbagai merchandise, memuja artis idolanya, keranjingan meniru aktivitas dan apa yan dikenakan artis pujaannya, dan mengikuti perkembangan kehidupan sosial sang idola, adalah subkultur penggemar yang membedakan mereka dengan orang lain.
Penggemar, menurut Joli Jensen (2001), seringkali muncul sebagai akibat dari selebriti: penggemar didefinisikan sebagai respons terhadap sistem bintang. Ini artinya pasivitas melekat pada penggemar dilihat sebagai larutnya sikap imitatif sejumlah orang ke dalam keberadaan sistem selebriti modern yang berkembang dan dikembangkan melalui media massa.
Kegemaran dalam praktik acapkali meliputi askripsi yang berlebihan, dan tampilan emosional–histeris saat konser musik rock, hooliganisme saat pertandingan sepakbola, mencari situs otobiografi selebriti. Ketika anak muda terjebak pada pusaran kekuatan industri budaya, maka secara garis besar beberapa hal ini yang biasanya yang terjadi.
Pertama, munculnya perilaku keranjingan di kalangan para penggemar. Berbeda dengan gaya biasa (fad), keranjingan dapat dan seringkali justru menjadi obsesi bagi para pelakunya (Horton & Hunt, 2004). Berbagai kajian telah membuktikan bahwa kehadiran produk-produk industri budaya dan strategi pemasaran yang dikembangkan senantiasa mendorong munculnya banyak ragam gaya dan perilaku keranjingan.
Perilaku keranjingan dan histeria dapat memberikan dan berperan meredakan ketegangan, tetapi di sisi yang lain bukan tidak mungkin memberikan kepuasan. Seorang anak muda yang terobsesi atau tergila-gila pada produk tertentu, semisal tergila-gila mengoleksi jenis merchandise tertentu, maka jangan heran jika di setiap kesempatan ia selalu membelanjakan uang miliknya untuk membeli barang-barang kesukaannya itu, dan mengoleksinya hingga ratusan buah di kamar atau di lemari pribadinya.
Demikian pula ketika seorang anak muda keranjingan pada jenis musik atau lagu tertentu, maka jangan heran jika di setiap ada kesempatan waktu luang, mereka akan memanfaatkannya untuk mendengarkan musik dan melakukan berbagai hal yang menjadi kesenangannya itu.
Bagi kekuatan kapitalis, di balik industri budaya, perilaku keranjingan yang acapkali dilakukan para penggemar itu tentu akan dinilai menguntungkan. Sebab, semakin mereka keranjingan, itu berarti semakin membuka peluang untuk mengeruk keuntungan dan laba sebesar-besarnya. Perilaku keranjingan yang ditandai dengan konsumsi berlebihan, terus-menerus dan bahkan kecanduan, sesungguhnya adalah penopang atau penyokong utama kelangsungan pasar bagi produk-produk budaya populer.
Kedua, konsekuensi lain yang tak terhindari akibat makin maraknya berbagai produk industri budaya dan iklan-iklan yang menampilkan artis-atis pujaan para penggemar adalah munculnya histeria massa bersamaan dengan cara anak muda mengembangkan dan membangunkan identitas sosialnya. Yang dimaksud histeria massa adalah anggapan atau perilaku irasional dan tidak wajar yang menyebar ke kelompok masyarakat tertentu.
Adapun identitas sosial adalah status dan sekaligus cara penggemar untuk memperlihatkan bagaimana eksistensi mereka di tengah perubahan sosial yang berlangsung dan di hadapan komunitas lainnya.
Seperti dikatakan John Storey (2007), selera dan konsumsi musik tertentu pada dasarnya digunakan sebagai tanda yang dengannya penggemar menilai dan dinilai oleh orang lain. Menjadi bagian dari subkultur anak muda berarti memperlihatkan selera musikal tertentu dan mengklaim bahwa musik yang mereka konsumsi adalah tindakan kreasi komunal.
Artinya, dengan menggagumi dan tergila-gila pada musik tertentu berikut artis penyanyinya, para penggemar itu seolah-olah akan merasa menjadi bagian dari komunitas yang sejenis, dan hal itu dianggap sebagai cerminan identitas sosialnya.
Dalam berbagai kesempatan, seorang anak muda yang menjadi penggemar fanatik lagu tertentu dan artis penyanyinya, tidak mustahil ia akan dengan mudah terjebak dalam keramaian yang histeris. Sebagai anggota dari keramaian, penggemar acapkali mengalami situasi menjadi tak rasional sehingga gampang dipengaruhi. Apabila penggemar itu seorang perempuan, citranya biasanya adalah meliputi teriakan, isak tangis dan kegembiraan, serta terlihat tak bisa mengendalikan energi erotis yang dipicu oleh kesempatan melihat atau menyentuh pria idolanya.
Sementara itu, jika penggemar adalah seorang pria, citranya adalah mabuk merusak, nafsu maskulin tak terkendali dalam merespons kemenangan atau kekalahan dalam pertandingan olahraga.
Dalam dunia industri budaya, sosok idola–terutama selebriti–adalah ikon yang seringkali dimanfaatkan sebagai daya tarik utama atau senjata agar masyarakat konsumer (baca: para penggemar) terus meningkatkan aktivitas konsumsinya yang radikal. Kehadiran idola, di mata penggemar, meski tidak nyata, tetap akan melahirkan fanatisme yang berkelanjutan karena memang salah satu keunggulan kekuatan industri budaya adalah bagaimana menciptakan dunia simulakra.
Menurut Jean Baudrillard, masyarakat sekarang berada dalam era baru simulasi di mana reproduksi sosial (proses informasi, komunikasi, dan industri ilmu pengetahuan, dan seterusnya) menggantikan produksi sebagai bentuk teratur dari masyarakat. Dalam era masa ini tidak lagi bisa dibedakan antara yang nyata dan yang palsu, karena yang muncul adalah dunia hiper-realitas atau dunia yang melampaui realitas (hyper-reality).
Apa yang dipaparkan memperlihatkan pada kita bahwa yang disebut para penggemar di era revolusi informasi sesungguhnya adalah pangsa pasar yang potensial bagi berbagai produk industri budaya, sekaligus aktor: konsumen dan produsen dari berbagai produk dan aktivitas yang bergaya. Karakteristik anak muda yang radikal secara ekonomi, bukan saja melahirkan kegandrungan berlebihan kepada ikon-ikon dari dunia selebriti, tetapi juga perilaku keranjingan dalam konsumsi yang tak jarang irasional.
Tawaran dan berbagai daya tarik yang dikemas sedemikian rupa oleh kekuatan kapitalisme di balik industri budaya telah menciptakan dunia palsu, dunia simulakra yang acapkali membuat penggemar terperangkap dalam godaan perilaku konsumer yang adiktif dan sinergistik. Seperti dikatakan filsuf Herbert Mercuse, yang disebut budaya populer acapkali memang menjadi sumber alienasi dan tanpa disadari terinternalisasi menjadi kesadaran palsu yang membelenggu hampir seluruh tindakanan perilaku remaja urban.
Pendeknya, kehadiran budaya massa dan berbagai produk yang ditawarkan kekuatan industri budaya telah mereduksi penggemar pada moda eksistensi to have dan bukan to be. Berbagai imajinasi yang dihasilkan industri budaya kapitalisme sesungguhnya hanya merupakan salah satu metode pemasaran kapitalis untuk meraih pangsa pasar yang sebesar-besarnya
Di mata para penggemar, saat ini ada kecenderungan yang namanya komoditas tampaknya tidak lagi didefinisikan berdasarkan kegunaannya, namun berdasarkan atas apa yang mereka maknai.
Kolom terkait:
Bunuh Diri Bennington dan Perlunya Menguatkan Ikatan Sosial