Kamis, April 18, 2024

Ananda Sukarlan, Tagar Boikot, dan Kepecundangan

Adi Perwira Purba
Adi Perwira Purba
Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro ITB

 

Hari-hari ini dinamika sosial politik Jakarta kembali mengalir dalam gelombang pasang. Bermula dari aksi walk out Ananda Sukarlan di acara perayaan 90 tahun Kolese Kanisius, jari-jari masyarakat akhirnya terbawa menunjuk nama Derianto Kusuma, Co-Founder Traveloka. Dengan cepat gelombang kritik ini turut menghempas seluruh penjuru negeri melalui roda-roda media sosial. Status-status Facebook secepat kilat bertebaran dan tagar-tagar Twitter ramai berlomba saling mengalahkan di tangga trending topic.

Tak bisa dipungkiri, salah satu panggung ekspresi sosial politik terbesar saat ini adalah media sosial. Bahkan koran-koran yang dicetak setiap hari seperti kehilangan pemujanya karena terseret ke arus penikmat media sosial. Pertarungan menggiring opini publik pun kini tidak lagi terjadi di atas kertas, tetapi dalam huruf-huruf yang menempel di layar komputer atau telepon seluler (ponsel).

Maka, tak heran, belakangan ini bisa kita lihat bahwa kebuasan media sosial tersebut mulai menjelma menjadi bentuk pengumpulan kemarahan publik yang mengkristal dalam tagar boikot (#boikot). Setidaknya dalam dua tahun belakangan, sudah ada tiga tagar boikot yang cukup fenomenal, boikot Sari Roti, Starbucks dan kini giliran Traveloka.

Dengan masifnya penggunanaan tagar boikot ini, sangat wajar muncul beberapa pertanyaan yang perlu kita pikirkan bersama. Apakah penggunaan tagar-tagar ini merupakan cara baru dalam mengekspresikan pendapat? Apakah penggunaan tagar boikot memang mempunyai pengaruh kepada objek yang diboikotnya? Apakah tagar boikot ini lahir dari sebuah keresahan bersama di tengah-tengah masyarakat? Atau mungkin pertanyaan besarnya adalah apakah tagar boikot merupakan sebuah bentuk kedewasaan atau justru pelecehan terhadap demokrasi?

Maka, mari kita periksa secara cermat uraian berikut untuk mencoba melakukan pengujian.

Langkah awal yang bisa kita lakukan adalah memeriksa siapa sebenarnya subjek-subjek yang menggunakan tagar tersebut. Apakah mereka pengguna atau konsumen dari objek yang ingin diboikot? Pada kenyataannya, sebagian besar dari mereka yang turut menggunakan tagar boikot justru bukanlah pengguna atau konsumen sama sekali. Mereka hanya ikut-ikutan hype dengan kondisi saat itu. Hal tersebut dapat dengan mudah kita lihat dari analisis segmentasi pembeli.

Pada kasus boikot Starbucks, misalnya, kita tahu bahwa segmentasi pembeli Starbucks hanya berada dalam spektrum tertentu saja, yaitu kalangan menengah-atas. Itu pun tidak semua kalangan menengah-atas tersebut yang suka kopi, maka jangkauannya makin sempit lagi. Dari situ bisa kita tahu bahwa tagar boikot Starbucks tidak akan pernah berarti apa-apa atau memberikan pengaruh di dunia nyata, karena sedari awal yang memberikan tagar itu sendiri tidak pernah menyumbang pemasukan Starbucks. Maka, dengan keabsenan mereka pun, tidak akan berpengaruh pada neraca supply and demand Starbucks.

Jangankan untuk gulung tikar, membuat mereka berpindah satu meter saja tidak. Sampai hari ini, Starbucks tetap kokoh di tempatnya masing-masing.

Bantahan lebih lanjut mungkin mengatakan bahwa walaupun tagar tersebut tidak ditulis oleh konsumen, tetapi pasti mempunyai efek persuasif terhadap orang lain sebagai sebuah bentuk propaganda. Tetapi pertanyaannya adalah apakah propaganda tersebut berpengaruh terhadap konsumen awal?

Saya pikir ungkapan “politics is not for everyone” sudah dapat menunjukkan jalan pembuka. Tidak semua orang mempunya concern terhadap politik yang mampu mempengaruhi prioritas pilihan mereka. Sebagian besar mereka bahkan tidak peduli dengan motif-motif politik yang beredar. Yang mereka peduli hanyalah kenyataan bahwa mereka mendapat tiket yang murah dari Traveloka, jenis rasa kopi yang unik dari Starbucks, dan roti favorit mereka dari Sari Roti.

Selain masalah concern politik, ada juga yang kita sebut dengan istilah kepercayaan konsumen. Pada kasus Traveloka, misalnya, kita tahu bahwa Traveloka bukanlah satu-satunya penyedia jasa perjalanan (travel agent). Ada banyak bisnis sejenis yang berkompetisi. Tetapi kenyataan bahwa pengguna aplikasi Traveloka menembus angka 15 juta, terbanyak dari travel agent lainnya, tentu bukan datang tanpa alasan. Ada kualitas pelayanan dan pengelolaan yang menarik rasa kepercayaan masyarakat di sana. Karena itu, sebuah propaganda dalam bentuk tagar boikot, rasa-rasanya tak akan mampu meruntuhkan kepercayaan pelanggan tersebut dengan mudah.

Apalagi jika yang ditanya, misalnya, adalah pelanggan lama Traveloka, apakah memilih tetap menggunakan aplikasi Traveloka atau menuruti motif politik dalam tagar boikot, mungkin mereka akan berkata, “Persetan dengan tagar itu, berikan saya akses membeli tiket pesawat yang mudah dengan harga murah dari Traveloka.”

Bahkan dalam kasus boikot Sari Roti, efek yang diharapkan terjadi justru sangat bertolak belakang. Dalam kerasnya terjangan badai seruan pemboikotan, penjualan mereka pada tahun 2016 justru meningkat 16 persen lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya.

Lagi-lagi kita lihat bahwa sebagai sebuah bentuk propaganda persuasif pun, tagar boikot tersebut akan hancur berantakan di atas kepercayaan konsumen dan ketidakpedulian terhadap motif politik.

Lebih jauh, bukan hanya gagal memberikan efek nyata serta pengaruh sebagai propaganda, sedari awal tagar-tagar ini juga merupakan sebuah reaksi yang lahir dari kesalahpahaman dan kekurangan sumber informasi valid.

Pada kasus boikot Sari Roti, ajakan boikot berawal dari sebuah kesalahpahaman bahwa pihak Sari Roti turut mendukung aksi 212 dengan memberikan roti gratis. Setelah pihak Sari Roti memberikan klarifikasi bahwa mereka sama sekali tidak ikut campur di sana, peserta aksi langsung saja naik pitam dan menuduh pihak Sari Roti sebagai pendukung Ahok.

Pada kasus boikot Starbucks, seruan boikot berawal dari informasi yang tidak up to date serta ketidakkonsistenan dalam mengkritik pihak Starbucks sebagai pembela kaum LGBT (http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-40477621). Padahal, Facebook juga memberikan dukungannya dalam kasus LGBT, tetapi kenapa hanya Starbucks yang harus diboikot?

Lalu, dalam kasus yang paling hangat ini, boikot Traveloka, secara jelas PR Manager Traveloka, Busyra Oryza telah memberikan klarifikasi bahwa Derianto tidak bisa hadir di acara tersebut karena sedang melakukan perjalanan dinas. Bahkan Ananda Sukarlan sendiri telah menegaskan hal tersebut dalam pernyataanya di beberapa media.

Dari uraian di atas, perlahan-lahan dapat kita simpulkan bahwa sejatinya tagar-tagar boikot ini bukanlah sebuah bentuk keresahan bersama yang mengakar di tengah-tangah masyarakat, melainkan hanya sebuah reaksi impulsif dari para pengguna media sosial untuk merefleksikan ketidaksetujuan mereka terhadap sesuatu. Reaksi kekanak-kanakan yang bahkan tidak berlangsung lama. Dua minggu ke depan, mereka mungkin saja sudah lupa bahwa mereka pernah melakukannya.

Seruan boikot di media sosial juga bisa dilihat sebagai sebuah cara warganet untuk menunjukkan kuasa semunya. Dalam kelemahan dan ketidakberdayaan mereka sebagai individu, mereka mencoba mengumpulkan sekutu hanya supaya dianggap lebih serius oleh orang lain. Melalui tagar boikot, mereka sebenarnya sedang menguji pengaruh yang mereka punya melalui ukuran harapan bahwa tagar boikot tersebut akan terlaksana di dunia nyata.

Bagi saya, tagar boikot ini tidak lebih dari sebuah bentuk kepencudangan. Kepecundangan terhadap perbedaan pendapat dan ideologi. Kepecundangan atas keputusasaan mencari jalan lain untuk mengekspresikan pendapat. Kepencundangan atas ketidakpercayaan diri sebagai individu untuk mampu memberikan pengaruh terhadap orang lain. Kepecundangan dalam hal penggiringan opini melalui isu-isu agama, LGBT atau pilihan pemimpin.

Lebih jauh lagi, tagar boikot bukanlah bentuk kedewasaan hidup berdemokrasi, tetapi justru pelecehan serta pembunuhan terhadapnya. Demokrasi hanya hidup dalam ruang debat terbuka serta dialektika dalam perbedaan. Demokrasi hanya hidup jika dalam perbedaan pendapat lahir argumen-argumen pendukung dan penantang, bukan membungkusnya ke dalam seruan boikot.

Maka, euforia penggunaan tagar boikot di media sosial dalam setiap ketidaksetujuan sejatinya adalah sebuah bentuk kepecundangan yang paling menjijikkan. Sama menjijikkanya dengan ajakan boikot menyolatkan jenazah saat pemilu atau boikot pembangunan rumah-rumah ibadah agama minoritas.

Adi Perwira Purba
Adi Perwira Purba
Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro ITB
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.