Sejak akhir tahun 2016 lalu, berlangsung aksi massa berjilid-jilid di Indonesia, yang bertajuk Aksi Bela Islam. Menurut saya, ini merupakan pencapaian gemilang umat Muslim Indonesia dibandingkan dengan aksi-aksi yang sudah ada sebelumnya, karena mampu menghasilkan aksi berjilid-jilid dengan pengerahan massa yang cukup fantastis hingga mencapai 7 juta orang.
Rangkaian Aksi Bela Islam tersebut merupakan reaksi atas pernyataan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dianggap telah menistakan al-Qur’an dalam kunjungan kerjanya di Kepulauan Seribu. Aksi ini merupakan aksi yang sangat penting bagi sebagian umat Muslim Indonesia karena dipersepsikan sebagai bentuk kepedulian dan pembelaan yang hakiki terhadap agamanya.
Tidak kalah hebatnya dari Aksi Bela Islam di Indonesia, Aksi Bela Islam di New York yang berlangsung pada Minggu, 12 Februari 2017, lalu juga penting disoroti. Solidaritas warga Lintas Agama di Amerika Serikat (AS) tampak nyata dalam demonstrasi membela warga Muslim dan memprotes kebijakan imigrasi Trump yang melarang imigran dari 7 negara Muslim di Timur Tengah dan Afrika. Ribuan warga non-Muslim turun ke jalan di Times Square meneriakkan, “I am a Muslim too” (saya seorang Muslim juga).
Kembali ke konteks Indonesia. Jika kita telisik lebih jauh, Aksi Bela Islam di Indonesia tidak hanya merespons isu penistaan agama yang meramaikan orasi-orasi dalam aksi tersebut, namun isu-isu anti pemimpin kafir serta anti asing-aseng (SARA) juga ikut menyeruak. Ironisnya, kepentingan-kepentingan politik terkait Pilkada DKI juga tidak ketinggalan menungganginya.
Sebagian besar umat Muslim memang mengecam kepemimpinan non-Muslim di daerah/negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kebetulan, saat ini Ahok yang non-Muslim menjadi calon dalam kontestasi politik di Pilkada DKI, sedangkan pesaingnya adalah Muslim. Diakui atau tidak, besar kemungkinan Aksi Bela Islam telah (atau akan) dimanfaatkan oleh para elite politik yang berkepentingan dalam perpolitikan di DKI.
Bukan hanya Ahok yang mendapat kecaman dan umpatan-umpatan kebencian, melainkan juga umat non-Muslim lainnya yang tidak tahu menahu duduk masalah yang dipersoalkan. Barat yang selama ini sudah dipersepsikan sebagai musuh dan saingan Islam pun ikut dihujat.
Rangkaian aksi di Indonesia dan AS tersebut menstrimulus berkembangnya opini rivalitas antara Islam dan Barat. Sebagaimana dinyatakan oleh Huntington, bahwa akan (terus) terjadi tabrakan kebudayaan (clash of civilization) antara Islam dan Barat (Esposito, terj. Anis Maftuhin, 2004). Tesis tersebut semakin diperkuat dengan berkembangnya militansi dan fundamentalisme Islam yang dianggap sebagai bentuk nyata perlawanan dan kebencian terhadap Barat.
Namun, kenyataan hari ini menunjukkan mulai terbentuknya suatu hubungan yang bisa dikatakan baik dan harmonis antara Islam dan Barat, sebagaimana yang ditampakkan oleh umat non-Muslim AS dalam Aksi Bela Islam di New York.
Di saat umat Muslim Indonesia mengecam keemimpinan non-Muslim secara diskriminatif, umat non-Muslim di Amerika Serikat justru mengecam perlakuan tidak adil oleh pemerintah atas umat Muslim di sana. Mereka, yang oleh kita selalu disebut kafir dan musuh Islam, ternyata berani membela hak-hak umat Islam yang minoritas dan tertindas oleh kebijakan Trump.
Sejujurnya, saya malu terhadap non-Muslim AS yang telah dengan suka rela memperjuangkan hak-hak kaum Muslim dan saya merasa tidak pantas disebut Muslim karena tidak bisa melakukan apa yang dilakukan oleh mereka. Kalau boleh jujur, Aksi Bela Islam di Amerika Serikat lebih rasional dan realistis daripada Aksi Bela Islam di Indonesia.
Muslim Indonesia seharusnya belajar dari non-Muslim AS. Mereka tidak mencari pahala dan surga dari aksi massa tersebut, melainkan memperjuangkan keadilan bagi sesama manusia. Bahkan, tanpa ragu mereka menyebut diri “I am a Muslim too”. Sungguh pernyataan ini membuat hati saya menangis. Begitu tingginya toleransi dan rasa empati yang mereka miliki tanpa membeda-bedakan agama yang mereka peluk.
Hari ini, saya baru paham maksud dari pernyataan Muhammad Abduh yang mengatakan, “saya melihat banyak Islam di Barat tetapi Muslimnya sedikit, dan melihat banyak Muslim di Mesir tetapi Islamnya sedikit.” Pernyataan ini menandakan bahwa nilai-nilai Islam lebih teraktualisasi di negara-negara Barat (salah satunya AS) daripada di negara-negara Islam.
Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Syamsi Ali, bahwa Amerika lebih Islami daripada negara mayoritas Muslim. Kenapa demikian? Menurut dia, Islam itu berkarya dalam kehidupan. Jadi, kalau mau melihat baik tidaknya keislaman seseorang, tidak bisa hanya dinilai rutinitasnya di masjid, tetapi juga kelakuannya di pasar, jalan, rumah, dan berbagai lini kehidupan lainnya.
Orang Amerika itu disiplin, menghormati orang yang lemah. Misalnya, di kereta, kalau ada orang yang lebih tua berdiri, yang muda akan merasa bersalah sendiri kalau tidak memberikan tempat duduknya pada yang lebih tua. Antrean dijaga dan kalau ada orang menyerobot itu akan malu sendiri. Sikap seperti ini baru bisa dikatakan Islami.
Dalam pemerintahan Amerika, jika ada kesalahan dan sudah menjadi isu publik, pejabat pasti mundur (mungkin Trump sebentar lagi), karena mengganggu ketentraman masyarakat. Beda dengan di Indonesia di mana pejabat yang sudah jelas-jelas tertuduh korupsi dan gratifikasi, bahkan sudah berstatus tersangka dan jelas-jelas ada bukti, tapi masih bertahan dan dipertahankan. Ada orang yang dihukum mati karena bersalah, tapi ada juga orang yang mati-matian dibela.
Yang menjadi pertanyaan saya adalah, mampukah kita melakukan seperti apa yang dilakukan oleh umat non-Muslim AS dalam membela hak-hak kaum minoritas di sana ketika ada hak-hak kaum minoritas (non-Muslim) di sini dirampas? Termasuk memperjuangkan keadilan bagi mereka yang kita anggap bukan Islam, seperti Ahmadiyah dan Syiah.
Jawabannya ada dalam diri kalian, wahai mayoritas.
Baca juga: