Seorang pria di Bekasi dibakar hidup-hidup oleh sekelompok warga lantaran diduga mencuri amplifier mushola. Istrinya yakin suaminya itu tak mencuri, dengan beberapa penjelasan darinya. Tak ada yang bisa memastikan bahwa pria itu benar-benar mencuri atau tidak, sebab ia tak pernah diadili secara adil dan prosedural.
Terlepas dari kesimpangsiuran itu, ada beberapa poin penting yang harus kita renungkan bersama. Mengingat praktik membakar pencuri atau mereka yang dituduh mencuri kerapkali terjadi di negeri ini. Dalam kolom ini juga akan digunakan perspektif Islam lantaran kasus itu terjadi di rumah Allah.
Pertama, mengacu pada hukum Islam maupun konstitusi kita, seorang maling pun tak boleh dihukum, apalagi hingga dibakar sampai mati oleh warga. Hak menghukum adalah milik lembaga peradilan dan kepolisian. Dalam hukum Islam maupun konstitusi kita, hukum untuk seorang maling pun bukan dibakar atau dibunuh. Jangan “rampas” hak pengadilan tersebut dengan main hakim sendiri.
Kedua, problem utama kita saat ini adalah perasaan diri atau golongan kita paling suci, paling benar. Ditambah lagi menganggap yang lain kotor, kafir. Kita gagap, bahkan gagal melihat kekotoran diri ini. Dalam sebuah hadis disabdakan: “Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” (HR. Bukhari). Firman-Nya menegaskan: “Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm: 32).
Ketiga, Ibnu Taimiyah sekalipun yang sangat fundamentalis, dalam Majmu’ Fatawa melarang melakukan pembelaan yang hingga mengancam nyawa pelaku jika memang bisa melakukan penangkapan tanpa menyakiti. Bahkan, menurut Ibnu Hazm, seorang yang mencuri untuk memberi makan keluarganya dan ia mati, maka ia mati syahid.
Keempat, dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi pernah bersabda: “Sesungguhnya ada salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya hanya tinggal satu hasta, tapi (catatan) takdir mendahuluinya lalu dia beramal dengan amalan ahli neraka, lantas ia memasukinya. Dan sesungguhnya ada salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli neraka sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal satu hasta, tapi (catatan) takdir mendahuluinya, lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, lantas ia memasukinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kita tak pernah tahu akhir dari kisah hidup setiap orang. Bisa jadi seseorang sepanjang hidupnya dipenuhi oleh kemunkaran: mencuri, dan semacamnya namun di akhir hidupnya terketuk pintu hatinya sehingga ia bertobat dan menjadikan kematiannya husnul khotimah. Begitu pula sebaliknya, bisa jadi seseorang penuh dengan amal baik dalam hidupnya, namun di ujung kehidupannya ia melakukan dosa besar yang menjadikannya su’ul khotimah.
Kelima, dalam QS. Al-Maidah: 2 dijelaskan secara gamblang bahwa salah satu prinsip utama Islam adalah keadilan. Jangan sampai kebencian kita pada seseorang membuat kita berbuat aniaya padanya. Sekalipun pencuri, misalnya, bukan suatu hukum yang adil membakarnya (apalagi tanpa sebelumnya diadili) sebagaimana telah dijelaskan di poin pertama.
Ayat ini kemudian ditutup dengan firman: “… Jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran …” Pertanyaannya, mengapa para warga itu justru tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran dengan membakar pria yang dituduh pencuri itu?
Keenam, Al-Qur’an, Nabi, sahabat, dan para imam mazhab sangat berhati-hati dan penuh kebijaksanaan dalam menetapkan dan menjalankan sebuah hukum. Salah satu bentuk kehati-hatian itu adalah semuanya memutlakkan adanya bukti dan saksi dalam prinsip hukum. Begitu pula hukum kita. Bahkan, dalam QS. An-Nur: 4, jika seseorang menuduh zina tapi tak mampu mendatangkan saksi, justru penuduh itulah yang patut dihukum dan tak boleh diterima kembali kesaksian mereka selamanya lantaran Al-Qur’an. Lalu ayat itu ditutup dengan firman: “… Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Adapun salah satu episode dalam sejarah Nabi yang menunjukkan betapa Nabi begitu bijak dalam menghukum adalah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Nabi pernah menghukum wanita yang hamil karena berzina dengan memberikan dulu kesempatan pada wanita itu untuk melahirkan dan menyusui anaknya selama dua tahun, barulah menghukum wanita itu dengan dirajam hingga mati.
Kemudian Nabi menyalati jenazah wanita itu, lalu bersabda: “Wanita ini telah bertaubat dengan taubat yang seandainya taubatnya tersebut dibagi kepada 70 orang dari penduduk Madinah, maka itu bisa mencukupi mereka.”
Ketujuh, kata Logan Pearsall Smith, esais Inggris abad ke-19: “Mereka yang memiliki anggapan tinggi mengenai diri sendiri, tidak senang jika secara mendadak tampak gambar dirinya sendiri dalam cermin.”
Maka, jangan sampai kita menghukum seseorang dengan begitu amarah dan bengis lantaran seseorang itu melakukan sesuatu atau memiliki sifat yang sesuatu atau sifat itu sebenarnya terpendam dan bersemai dalam diri dan perilaku kita, dan hati nurani kita sebenarnya membencinya namun tak berdaya atasnya sehingga kita lampiaskan itu pada orang lain yang juga memilikinya.
Kedelapan, Sayyidina Ali pernah menunda hempasan pedangnya kepada musuh di salah satu peperangan lantaran musuh tersebut sudah jatuh tersungkur meludahinya. Seusai perang, ketika ditanya soal itu, Sayyidina Ali menjawab bahwa ia tak mau menghukum karena emosi dirinya, bukan murni lantaran Allah (lillahi ta’ala).
Dalam salah satu perkataannya, Sayyidina Umar juga pernah berkata: “Aku takut jika hukuman yang akan aku jalankan terpengaruh oleh kemarahanku. Sebab, hal itu yang akan menyebabkan penyelewengan dari aturan yang telah digariskan Allah.”
Marah, emosi adalah sesuatu yang melekat pada diri kita sebagai manusia. Namun, jangan sampai perasaan itu menguasai diri kita dan menodai perspektif atau sikap kita dalam menghukum seseorang. Bahkan, idealnya, dalam khazanah tasawuf, perasaan itu harus dibiasakan (riyadhah) untuk ditahan, dikendalikan, dan sebisa mungkin dihapus dari dada dan kepala kita.
Kesembilan, mengapa kita, sebagaimana juga kerap terjadi dalam peradilan di negeri ini, begitu tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Kita begitu sigap menggebuki maling ayam, namun begitu lemah, bahkan permisif, pada koruptor yang menyengsarakan banyak orang?
Akhirnya, kolom ini sama sekali tidak ditulis untuk membuat mereka yang terlibat dalam insiden pembakaran di mushola itu dirundung perasaan bersalah yang hingga menjebak mereka pada apatisme. Apalagi keluarga korban telah mengikhlaskan dan memaafkan pelakunya. Satu-satunya semangat dalam penulisan kolom ini adalah upaya untuk mengingatkan, mengajak merenungkan bersama peristiwa kemarin bahwa sikap itu salah.
Agar ke depan tragedi semacam itu tak lagi terulang. Dan mereka yang terlibat dalam tragedi tersebut atau tragedi serupa di tempat dan waktu lain sebelumnya menyadarinya, menyesalinya, dan tak lagi mengulanginya. Wallahu a’lam.
Baca juga:
Tragedi Novel dan Premanisme yang Biadab