Pada 22 Maret lalu saya berkumpul dengan 200-an orang di Warkop Mbah Cokro Surabaya, ajang favorit para aktivis berbujet rendah menghelat acara. Malam itu sedang diselenggarakan “Refleksi 5 Tahun Perjalanan Advokasi Syiah Sampang”, memperingati 5 tahun terusirnya warga Syiah Sampang, Madura, dari kampungnya.
Selain Kristen/Katholik dan Ahmadiyah, kelompok Syiah Sampang adalah entitas yang paling sering mengalami persekusi keyakinannya. Khusus Syiah Sampang, mereka adalah bagian terburuk bagaimana negara dan elite masyarakat lokal memperlakukan mereka.
Di Indonesia, jika Anda tergolong minoritas dalam berkeyakinan yang tengah diusik mayoritas, Anda harus siap-siap sebagai pihak yang harus menanggung kesalahan. Yang salah tetap yang lemah. Kalau ada perempuan dilecehkan gara-gara berpakaian seksi, ia pasti juga dituding salah. Nalar bangsa ini memang unik, seunik ketika memperlakukan Syiah Sampang.
Mereka adalah komunitas kecil di tengah himpitan kelompok Sunni. Saya katakan kecil karena jamaah Lora Tajul Muluk tidaklah besar. “Di penampungan ada sekitar 300-an orang, Mas,” katanya berbisik saat kami dipanel di Mbah Cokro. Sebagai catatan, jumlah total penduduk Sampang mencapai 871.038 jiwa.
Saya perkirakan hampir separuh lebih pengunjung acara malam itu adalah komunitas Syiah. Yel-yel mereka begitu kentara saat Habib Muhsin Labib membakar semangat mereka dalam orasi panjangnya. Cirinya adalah kekhasan peserta menimpali balik orang yang mengumandangkan shalawat.
Ciri lain, saat saya bercipika-cipiki dengan beberapa orang dari mereka di GOR Sampang beberapa tahun lalu, ada shalawat yang dibisikkan saat pipi kami bersentuhan. Boleh percaya atau tidak, kala itu saya melakukannya dengan 15-an orang (laki-laki). Semuanya menerapkan hal yang sama.
Orasi Habib Muhsin Labib malam itu juga terasa sangat bertenaga. Doktor ini kerap mengutip konstitusi, al-Qur’an, Nietzsche, dan hadits sembari mengepalkan tangannya ke atas, berkali-kali. Membakar optimisme hadirin.
Legasi Karbala
Saat diminta berbicara, saya membukanya dengan mengapresiasi para pengungsi layaknya puluhan pasukan yang loyal kepada Husayn bin Ali di padang Karbala, 10 Oktober 680. Malam hari, 9 Oktober, Husayn yang tahu dirinya akan gugur di Karbala mengumpulkan seluruh pasukannya sebelum berperang. “I have given you permission, all of you, to freely go. You are not obligated henceforth to stay with me,” ujar Husayn.
Tidak satu pun dari mereka yang memilih meninggalkan cucu Nabi Saw itu. Padahal, pasukan Yazid I yang dipimpin Umar ibn Saad telah memblokade sungai Eufrat agar Husayn dan pasukannya tidak terpasok air sejak 3 Oktober.
Menurut Sayyid Ibn Tawus (2006) yang merekam Tragedi Karbala dalam kitab Lohoof, pasukan Husayn berperang tanpa ragu hingga sebagian besar mereka gugur. Cucu Nabi ini akhirnya menjemput takdirnya setelah kepalanya dipenggal Shimr ibn Dhiljawshan ketika salat.
Beberapa kerabat Husayn yang masih hidup, termasuk Sayyidah Zaynab dan putri Husyan, Sukayna, digelandang ke Damaskus sebagai tawanan. Mereka diperlakukan layaknya budak; dicopot penutup wajahnya dan diarak bersama puluhan kepala saudara mereka—dan kepala Husayn sendiri—yang ditancapkan ke tombak.
Namun, itu semua tak menggoyahkan keyakinan dan keberanian mereka. “Oh you the son of freed slaves! Is this your justice that the ladies of your house remain veiled and we the Prophet’s daughters should be paraded from place to place? You dishonored us!” teriak Zaynab saat bertemu Yazid, khalifah yang menjadi seteru keluarga Ali.
Menolak Tunduk
Sikap “keras kepala” ala serdadu Husayn di Karbala dipakai para pengungsi yang hingga kini diamputasi kehidupannya selama lebih dari lima tahun. Sebelumnya, perkampungan mereka diserang, rumah dan tempat ibadahnya dibakar. Sawah serta ternak mereka entah menjadi milik siapa sekarang.
Belum terhitung berapa korban jiwa yang terluka akibat 6 kali penyerangan atas mereka. Hamamah, salah satu dari mereka, meninggal saat penyerangan. Ususnya terburai akibat bacokan massa. Nama pria 50 tahun tersebut sempat dipekikkan dalam acara malam itu dan disambut riuh shalawat.
Puncak penghinaan atas pengungsi Syiah ini ditandai oleh vonis bersalah terhadap Tajul Muluk di pengadilan. Pemimpin kalem ini terpaksa harus melakoni pemenjaraan selama 4 tahun, setelah berbagai upaya hukum, termasuk judicial review, dilakukan.
Sungguhpun demikian, rekonsiliasi kultural yang dilakukan para aktor yang bertikai sempat berlangsung di lokasi pengungsian Sidoarjo, 23 September 2013. Sayangnya, alih-alih menyambut positif, otoritas negara dan agama di Sampang mementahkannya begitu saja.
Sebab, pemerintah dan elite agamawan di tingkat lokal punya versi rekonsiliasi sendiri, yakni ketertundukan Syiah terhadap Sunni; para pengungsi hanya bisa pulang sepanjang bersyahadat kembali dan berbaiat kepada Sunni secara deklaratif—sebagaimana paksaan Umar terhadap Fatimah dan Ali atas dipilihnya Abu Bakar sebagai pelanjut Nabi.
Tiga ratusan lebih pengungsi Syiah Sampang kini bertahan dengan keyakinannya bersama Tajul Muluk.
Sungguh bukanlah hidup yang ideal; terusir dari tanah kelahiran dan terperangkap bangunan berfasilitas minim tanpa jaminan Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar.
Politik Sarang Lebah
Kesengsaraan mereka tidak bisa dilepaskan dari runyamnya jagat politik regional Jawa Timur. Provinsi ini, harus diakui, berstatus “khusus”. Baik Susilo Bambang Yudhoyono maupun Joko Widodo—setidaknya hingga saat ini—tak kuasa mengambil sikap tegas. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang pernah melawat khusus ke Sampang juga angkat tangan.
Pusat sepertinya telah melempar handuk dan menyerahkan masalah ini ke otoritas daerah Jawa Timur.
Namun, sebagian besar publik tidak yakin Gubernur Soekarwo punya kecakapan memulangkan para pengungsi. Hampir sepuluh tahun ia memimpin Jawa Timur, tidak nampak tanda-tanda penyelesaian kasus ini secara bermartabat.
Saya sepenuhnya menyadari jika Soekarwo tengah bersikap pragmatis secara politik; untuk apa membela 300 pengungsi jika dimusuhi puluhan juta orang? Bagaimanapun, tentu dirinya ingin menutup dua periode kepemimpinannya secara husnul khotimah.
Karenanya, sebagai representasi abangan di tengah kepungan komunitas hijau (santri), Soekarwo mungkin akan berpikir ribuan kali jika hendak mengusik ketenangan kelompok hijau, utamanya di Pulau Madura.
Baginya, barangkali, memulangkan pengungsi ke Sampang tanpa proses konversi keyakinan —dari Syiah ke Sunni—ibarat melemparkan batu ke sarang lebah. Dan cukup logis jika Soekarwo tidak ingin tersengat lebah.
9 Siswa 10 Ribu Tentara
Jika demikian halnya, bagaimana situasi ini harus diselesaikan? Bagi saya, Jokowi harus mengambil alih dan menunjukkan ketegasannya bahwa negara tidak boleh tunduk kepada kehendak inkonstitusional sebagian warganya. Jokowi perlu membaca epos Presiden Amerika Serikat (AS) ke-34 Dwight D. Eisenhower dalam kasus Little Rock Nine Arkansas tahun 1957.
Saat itu, Mahkamah Agung AS memutuskan berakhirnya politik segregasi warna kulit di dunia pendidikan. Tidak boleh lagi ada sekolah khusus kulit putih atau hitam. Semua harus membaur. Di Kota Little Rock ada 9 siswa/i yang ikut program pembauran namun ditentang kelompok antiintegrasi. Mereka berhasil mempengaruhi Orval Faubus, Gubernur Arkansas, untuk ikut menolak.
Ketegangan melanda seluruh kota pada saat hari pertama sekolah, sebab 9 siswa/siswi kulit hitam tidak bisa memasuki gedung. Seluruh bangunan sekolah telah dijaga ketat 10.000 pasukan Garda Nasional atas perintah gubernur. Dalam siaran televisi, sang gubernur menyatakan tindakan ini merupakan upayanya “to preserve the peace”. Anehnya, Garda Nasional juga mengusir 9 siswa/i yang hendak masuk sekolah. Ketegangan makin memanas di tengah ribuan demonstran antiintegrasi
Walikota Little Rock Woodrow Wilson Mann kemudian meminta Presiden bertindak agar integrasi tetap berlangsung. Saat itu juga, Eisenhower memerintahkan 1.200 pasukan dari Divisi 101 Airborne ke Arkansas. Cerdasnya, ia tak membolehkan prajurit kulit hitam ikut serta dalam divisi tersebut.
Dengan mudah, Divisi 101 melucuti Garda Nasional dan menghalau demonstran antiintegrasi. Hampir seminggu divisi itu mengantar dan menjemput, bahkan berjaga dengan sikap sempurna menunggui tiap siswa kulit hitam di bangku kelas.
Saat situasinya bisa dikendalikan, Divisi 101 ditarik kembali ke markas. Tidak sedikit kelompok antiintegrasi yang masih melakukan provokasi dan manuver-manuver politik. Namun ketegasan aparat hukum mengamankan konstitusi dan perintah pengadilan membuat mereka berpikir dua kali untuk melakukan aksi kekerasan memaksakan kehendak.
Sebenarnya, aparat hukum Indonesia pernah menerapkan gaya Little Rock Nine pada saat kisruh Syiah-Sunni di Puger, Jember, gara-gara karnaval. Kematian Eko Mardi Santoso di pinggir laut memicu rencana pengusiran terhadap warga Syiah dan Pesantren Darus Sholihin, pimpinan Habib Ali. Khawatir terjadi aksi Sampang jilid II, Pangdam Brawijaya dan Kapolda Jawa Timur akhirnya menurunkan ribuan personel ke Puger.
“Saya denger ada omongan dan isu soal pengusiran oleh salah satu kelompok. Kalau isu itu benar, TNI akan ada di barisan paling depan untuk membela. Kalau ada yang keras, kita akan lebih keras. Istilahnya itu harga mati, kita kunci itu. Jangan ada pengusiran. Negara Indonesia memiliki asas Bhinneka Tunggal Ika. Jadi, sudah seharusnya semua pihak saling menghormati. Kasus Sampang cukup menjadi pelajaran bagi kita semua. Kita sudah melakukan evaluasi, jangan sampai terulang kembali,” kata Mayor Jenderal (Mayjen) TNI Ediwan Prabowo seperti dilansir Kompas, 12 September 2013.
Pertanyaannya, jika aparat hukum pernah sukses menegakkan konstitusi dalam urusan Syiah-Sunni di Puger, Jember, kenapa hal yang sama tidak bisa diterapkan di Sampang? Saya hanya bisa katakan, kabupaten tanpa ada satu pun gereja ini memang masuk kategori “spesial”. Wallahu a’lam.