Rabu, November 20, 2024

Solusi Politisasi Identitas, Keadilan Konstitusional

Ubaidillah
Ubaidillah
Peneliti bidang bahasa dan politik di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, BRIN
- Advertisement -

Agama selalu mendapat tempat khusus dalam pembahasan mengenai peradaban manusia. Perkembangan ilmu sosial selalu memeriksa peran dan posisi agama dalam perkembangan kehidupan masyarakat.

Bagi Marx, agama bisa menjadi alat untuk membentuk kesadaran palsu yang menguntungkan kaum borjuasi melakukan reproduksi dan akumulasi kapital. Max Weber lain lagi. Analisis yang dilakukannya terhadap perkembangan kapitalisme awal di Eropa menemukan etika Protestan menjadi faktor penting yang mendorong orang untuk melakukan kerja ekonomi karena kesuksesan dunia dapat menjadi tanda keselamatan abadi.

Sampai suatu masa, menurut Nietzsche tuhan telah mati di tengah kerumunan manusia di pasar. Kesalehan religius tidak lagi mendapat tempat dalam transaksi ekonomi. Oleh karena itu, menurut Robert Wuthnow (2023) dalam buku Religion’s Power: What Make It Work yang mengatakan kekuasaan agama hanya bisa dipahami secara kontrastif dengan kekuasaan sekuler. Sekulerisme menasbihkan individu berkehendak bebas. Di lain sisi, individu berada dalam jaringan makna yang menuntut kepatuhan terhadap entitas adikodrati.

Para pendiri bangsa telah menghasilkan negoisasi yang elegan sehingga membuat Indonesia lepas dari ketegangan dasyat antara agama dan sekulerisme tersebut. Pada beberapa level politik administrasi, Indonesia telah mampu menciptakan hubungan saling menghormati antara negara dan agama, seperti pada praktik administrasi perkawinan.

Kekuatan politik yang biasa dimonopoli negara, dalam administrasi perkawinan tetap memberi peran bagi hukum Tuhan mengenai pernikahan dua orang manusia tetap berlangsung dan menjadi dasar dari pencatatan administrasi. Administrasi perkawinan ini menjadi contoh paling baik bahwa Indonesia telah mampu mengatasi paralelisme kekuasaan agama sebagai praktik ritual, organisasi, dan politik dalam klasifikasi Wuthnow.

Berdiri di atas ketimpangan ekonomi

Indonesia satu dasawarsa terakhir disebutkan oleh dua jenis kekuasaan agama, yaitu identitas dan wacana dalam politisasi identitas. Indonesia tengah mengalami ujian terberat dari peradaban manusia karena praktik diskursif atau pewacanaan adalah motor penggerak utama perkembangan peradaban itu sendiri.

Kesalehan ritual dan politik sampai pembentukan identitas adalah hasil dari praktik pewacanaan. Posisi Indonesia yang mampu mendamaikan sekulerisme dan agama dalam masa awal pembentukan menunjukkan kualitas peristiwa diskursif yang dipraktikkan para pendiri bangsa yang mampu melampaui partisianisme identitas sehingga tidak menimbulkan polarisasi.

Indonesia pasca-Reformasi justru mengalami kemunduran peradaban karena justru disibukkan dengan upaya memanfaatkan identitas, termasuk identitas agama, untuk kepentingan elektoral atau legimitasi tertentu dengan cara penghasutan dan penghinaan. Pewacanaan identitas agama secara politis dilakukan untuk membentuk konsensus partisan, mobilisasi, dan perlawanan. Konsensus tersebut dicapai melalui penebaran kekhawatiran, ketakutan, atau kemarahan suatu kelompok terhadap kelompok lain yang telah mengakibatkan kondisi yang dialami sekarang atau menjadi ancaman di masa mendatang.

Sebuah wacana memerlukan relevansi untuk diakuisisi oleh penerimanya. Interpretasi pesan berangkat dari horizon pengalaman dan pengetahuan penerimanya. Di tengah konsentrasi penguasaan sumber daya di Indonesia oleh sedikit orang, maka realitas ketimpangan ekonomi dapat menjadi landasan bagi berdiri retorika yang memanfaatkan identitas apapun, tidak hanya identitas agama.

Identitas agama paling utama dimanfaatkan karena secara psikososial masyarakat Indonesia menempatkan agama dalam posisi penting dalam pengambilan keputusan hidup. Latar belakang demikian yang kemudian memunculkan sosok-sosok otoritas keagamaan yang menjadi penghubung masyarakat dengan kontestan elektoral yang diperjuangkan.

- Advertisement -

Keadilan sebagai esensi identitas intregratif

Francis Fukuyama (2018) dalam buku Identity: The Demand for Dignity and thel Politics of Resentment membahas paradoks demokrasi yang justru memunculkan ide atau Gerakan yang memusuhi demokrasi itu sendiri, termasuk bagaimana agama menjadi identitas pemersatu untuk perjuangan anti-demokrasi tersebut.

Situasi tersebut menurut Fukuyama justru menunjukkan bahwa demokrasi yang paling baik sejauh ini karena ide dan gerakan tersebut hanya bisa muncul di alam demokratis. Tidak mungkin, ide yang beroposisi dengan status quo muncul di permukaan jika sistem otorianisme yang diberlakukan. Fukuyama percaya bahwa proses evolusi demokrasi akan menghasilkan identitas intregratif yang menyatukan elemen-elemen yang bertentangan tersebut.

Indonesia sebenarnya telah membentuk identitas simbolik yang mampu mengintegrasikan realitas keberagamaan dalam terminologi bangsa Indonesia pada 1928. Proses evolusi identitas simbolik itu kemudian dilanjutkan pada proses pembentukan negara Indonesia yang mengisi keadilan sebagai esensi dari identitas tersebut.

Keadilan itu ada menjiwai Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sampai pasal-pasal dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, yang memberikan panduan sampai tingkat afirmasi sectoral dengan memprioritaskan pendidikan dan fakir miskin dalam pengelolaan negara. Keadilan yang termaktub dalam konstitusi tersebut bahkan membentuk sifat lintas generasi bila kita membayangkan keluarga fakir miskin dan anak-anak terlantar yang dipelihara secara layak negara, termasuk dalam hal pendidikan sehingga memungkinkan terjadinya mobilitas sosial vertikal bermodalkan pendidikan tersebut.

Para pendiri bangsa ini mampu melintasi satuan waktu aktual tatkala memikirkan keadilan sehingga mampu mempertimbangkan manusia Indonesia yang bahkan belum lahir. Pada pasal fakir miskin dan anak-anak terlantar kita melihat mereka memuliakan orang yang paling tidak beruntung di Indonesia dan pada pasal pendidikan kita melihat pula upaya mereka memberdayakan kelompok tersebut untuk dapat hidup mandiri. Indonesia satu abad lalu sudah berhasil merumuskan apa yang dirumuskan Fukuyama di abad ke-21 ini. Sudah seharusnya kita kembali kepada keadilan konstitusional untuk mengatasi politisasi identitas ini secara bertanggung jawab.

Ubaidillah
Ubaidillah
Peneliti bidang bahasa dan politik di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, BRIN
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.