Setahun sudah Covid-19 merebak dan menggerogoti kehidupan manusia. Semua negara telah menyatakan status darurat Covid-19. Dalam menyikapi hal ini, berbagai kebijakan telah diterapkan di semua negara untuk mencegah penyebarannya, seperti kebijakan physical distancing, penerapan lockdown, dan pembatasan ekspor.
Pandemi dan kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan tersebut tentu saja mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Salah satu aspek yang terdampak oleh kebijakan tersebut adalah sektor ketahanan pangan. Dampak langsung dan tidak langsung sudah dirasakan masyarakat dan akan terus berlanjut jika tidak ditangani dengan baik. Secara khusus, kebijakan pembatasan ekspor dapat “mengganggu ketahanan pangan di negara-negara pengimpor“.
Ketahanan pangan dapat tercapai apabila semua orang memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi untuk pangan yang cukup, aman, serta bergizi dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan preferensi pangan untuk hidup aktif dan sehat. Empat pilar ketahanan pangan adalah ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas.
Sebelum masa pandemi, Food and Agriculture Organization (FAO) menerbitkan laporan yang menunjukkan bahwa 2 miliar orang di dunia menghadapi kerawanan pangan tahap sedang hingga parah. Kerawanan pangan adalah risiko dinamis dan saat ini bertambah buruk dengan dampak pandemi disertai dengan berbagai kebijakan yang kemudian dapat mempengaruhi ketahanan pangan.
Dalam laporan terbaru FAO, diperkirakan ada pertumbuhan 83 hingga 132 juta orang yang akan menghadapi kerawanan pangan akibat pandemi. Dampak tidak langsung Covid-19 juga dapat terjadi dan akan terasa dalam waktu dekat.
Menurut artikel yang diterbitkan oleh FAO tentang Dampak Covid-19 pada ketahanan pangan dan gizi yang diterbitkan pada September 2020, terdapat gangguan signifikan pada rantai pasok pangan karena kebijakan lockdown mempengaruhi ketersediaan, harga, dan kualitas pangan.
Survei via telepon cepat yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa dampak luas Covid-19 juga menurunkan pendapatan banyak orang. Terganggunya ketersediaan dan kualitas pangan, inflasi, dan penurunan pendapatan masyarakat menyebabkan kerawanan pangan dan malnutrisi, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah serta negara berkembang.
Pada aspek produktivitas pertanian, gangguan pasokan dan inflasi menyebabkan kerawanan produksi pangan. Petani merupakan salah satu kelompok masyarakat yang rentan terhadap dampak Covid-19, hal ini akan sangat mengancam produksi pangan karena mereka adalah ujung tombak sistem pangan.
Berdasarkan survei pada petani yang dilakukan Prisma di Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, dan Papua Barat, 34% responden menghadapi penurunan permintaan selama Covid-19, dan 65% responden mengalami penurunan harga jual. Kedua masalah tersebut menyebabkan pendapatan rumah tangga petani menurun. Selanjutnya, petani akan merelokasi anggarannya, dan sekitar 30% petani menyatakan akan mengurangi modal usaha taninya pada musim tanam mendatang.
Dalam laporan singkat yang bertajuk “Food Security dan Covid-19“, Bank Dunia menyimpulkan beberapa “hotspots” yang rentan terkena kerawanan pangan akibat Covid-19, yaitu (1) negara rawan dan terdampak konflik yang memiliki kesulitan logistik dan distribusi bahkan dalam keadaan normal, (2) negara dengan berbagai dampak krisis seperti kondisi cuaca ekstrim dan hama, (3) masyarakat berpenghasilan rendah dan rentan, termasuk 820 juta orang yang sudah mengalami kekurangan pangan bahkan sebelum Covid-19 , dan (4) negara dengan mata uang yang terdepresiasi dan mengalami penurunan harga komoditas.
Di Asia dan Afrika, wabah belalang yang paling parah terjadi dalam beberapa dekade terakhir ini, memengaruhi produksi makanan di 23 negara. Beberapa negara tersebut, seperti di Sub-Sahara, juga mengalami eksposur terhadap risiko kenaikan harga pangan dalam negeri karena mereka adalah importir pangan netto. Temuan ini juga menunjukkan bahwasanya dunia harus lebih banyak memberikan bantuan untuk petani kecil yang termasuk dalam kelompok rentan karena Covid-19 yang mana mereka juga merupakan aktor utama sistem pangan kita.
Bantuan yang dibutuhkan dapat digunakan untuk mendukung lapangan kerja jangka pendek di pedesaan, membantu koperasi petani untuk meningkatkan kegiatan lokal, memberikan bantuan tunai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah tangga petani, hingga bantuan keuangan bagi petani perempuan.
Tak pelak, isu yang kita hadapi saat ini harus segera diselesaikan. Semua pihak harus terlibat aktif dengan langkah realistis: bahu membahu menghentikan penyebaran Covid-19. Rencana pendistribusian vaksin akan menjadi langkah yang baik menuju keberlanjutan semua aspek kehidupan.
Khususnya dalam ketahanan pangan, upaya nyata harus dilakukan untuk memfasilitasi akses petani terhadap modal pertanian sebagai ujung tombak ketahanan pangan. Kesejahteraan petani secara signifikan akan mempengaruhi jalannya produksi pangan yang tertata dengan baik untuk menjamin ketahanan pangan. Secara bersamaan, dunia dapat memperkuat sektor ekonomi dan terhindar dari risiko malnutrisi akibat tidak mampu membeli pangan yang baik.
Tulisan ini adalah pengantar penelitian Tay Juhana Foundation tentang dampak COVID-19 di Asia Tenggara yang akan dirilis