Minggu, November 24, 2024

Simalakama Laporan Pelecehan Seksual Sopir Grab

Patresia Kirnandita
Patresia Kirnandita
Pengajar nontetap Komunikasi UI; Peneliti independen isu budaya populer, gender, dan seksualitas.
- Advertisement -

Sejumlah laporan pelecehan seksual yang dilakukan sopir Grab beredar di media sosial. 7 Oktober lalu, akun Instagram @dearcatcallers.id mengunggah beberapa screenshot pembicaraan salah satu penumpang perempuan dengan sopir Grabbike yang mengantarnya. Di dalamnya ditunjukkan, si sopir menyatakan dirinya merasa terangsang secara seksual saat membawa penumpang tersebut. Tidak hanya itu, si sopir juga mengajak pulang bareng keesokan harinya. Ucapan-ucapan si sopir membuat penumpang itu gerah dan hendak melaporkan apa yang diterimanya kepada pihak Grab dan polisi, plus menyebarkan pernyataan-pernyataan si sopir tadi. Alih-alih gentar, si sopir balik mengancam penumpang itu jika sampai ada hal buruk terjadi pada akun Grab-nya, ia akan mencari si penumpang baik di rumah atau kantor—yang alamatnya sudah dia ketahui berkat pengalaman mengantar si penumpang.

Masih pada tanggal yang sama, akun Instagram @indonesiafeminis menyebarkan screenshot lain yang menceritakan kasus pelecehan seksual penumpang Grabcar yang dicium bibirnya oleh si sopir. Kasus ini dibeberkan bukan oleh penumpang tersebut, melainkan oleh salah satu temannya. Foto, nama sopir, dan nomor plat mobilnya diperlihatkan dalam screenshot berikutnya.

Pada hari Selasa (9/10), laporan pelecehan seksual yang dilakukan oleh sopir Grabbike kembali diunggah oleh @dearcatcallers.id dengan konten kronologi dan terduga pelaku yang berbeda. Pada 12 Oktober, Akun yang menyuarakan antipelecehan seksual ini juga masih menerima dan menyebarkan laporan pelecehan yang dilakukan sopir Grabcar. Serupa dengan laporan yang disebarkan pada 7 Oktober, laporan ini melibatkan pelecehan seksual secara verbal kepada penumpang. Dalam semua laporan tersebut, akun media sosial Grab di-mention oleh para pelapor atau sejumlah akun yang menyebarkannya.

Pihak Grab yang menerima laporan-laporan tadi menyatakan akan memberlakukan penangguhan untuk sopir-sopir yang terbukti terlibat tindakan pelecehan seksual. Namun, masih saja ada laporan bahwa baru beberapa hari berselang setelah kasus pelecehan seksual dibeberkan di media sosial, sopir yang dituding melakukan tindakan tersebut kembali dapat mengambil order penumpang.

***

Jika dibandingkan beberapa dekade silam, laporan tindakan pelecehan seksual dapat lebih mudah kita temukan pada era digital seperti sekarang. Pertama, literasi sebagian orang mengenai pelecehan seksual mulai bertambah—apa saja yang termasuk di dalamnya dan aksi apa yang perlu dilakukan bila mengalami hal tersebut. Hal ini tidak terlepas dari aktivisme yang dijalankan sejumlah komunitas, lembaga, dan individu. Kedua, ada karakteristik media sosial yang memungkinkan para penggunanya menjadi konsumen sekaligus produser konten, serta memunculkan interaktivitas antarindividu dan antarkelompok. Ini mendorong sebagian orang untuk berani mengangkat wacana pelecehan seksual yang mulanya tidak dibicarakan di muka publik. Contoh paling kentara bisa ditilik dari gerakan #MeToo di Amerika Serikat yang tidak membutuhkan waktu lama untuk menyebar ke negara-negara lain termasuk Indonesia.

Berbicara tentang kecepatan penyebaran informasi di media sosial, hal ini juga berdampak terhadap citra seseorang dan perusahaan seperti Grab. Selama bukti percakapan serta catatan perjalanan dengan sopir-sopir terduga pelaku disimpan oleh penumpang yang merasa dilecehkan, dengan mudah ia dapat mengunggah atau menyebarkannya kepada siapa pun, di dunia nyata maupun digital. Macam-macam sanksi pun akan mengekori sopir-sopir tersebut, mulai sanksi karier seperti penangguhan akun, tolakan pick up jika ia masih bekerja sebagai sopir transportasi online, hingga sanksi sosial seperti pandangan miring atau sikap buruk terhadapnya. Imbasnya juga bisa merembet ke orang-orang di sekitar si terduga pelaku. Bayangkan bila Anda menjadi keluarga, teman dekat, pacar, atau pasangan si terduga pelaku tadi. Bagaimana rasanya bila Anda bertemu kenalan yang mendapati screenshot tadi dan bertanya, “Eh, kamu pacaran sama si X? Kok masih mau, sih? Dia kan dilaporin pernah ngelecehin penumpang” atau “Bener nggak sih, bapak/kakak kamu itu ngelakuin pelecehan kayak yang aku baca di Twitter/Instagram?”? Apa pun yang diunggah di internet, akan lama—kalau tidak selamanya—berada di sana, disimpan, dan diredistribusi para penggunanya.

Laporan-laporan yang ada tidak hanya dapat menjatuhkan nama dan karier individu yang dituding, tetapi juga reputasi suatu perusahaan. Karena itu, kesigapan dan ketegasan dalam menanggapi laporan yang ada menjadi hal yang perlu diutamakan perusahaan bila tidak ingin kepercayaan konsumen memudar.

Namun, ada tantangan lain. Pelecehan seksual ini bisa dibilang perkara yang pelik untuk diselesaikan, terlebih bila kejadiannya hanya melibatkan dua pihak dan tidak ada bukti tercatat. Masing-masing pihak bisa menceritakan kejadian dalam versi berbeda.

Dalam kasus tuduhan sopir Grabcar yang mencium penumpangnya, si sopir menyatakan tidak melecehkan penumpang saat ditanyai pihak Grab. Besarnya tekanan di dunia digital boleh jadi mendorong pihak Grab untuk tetap memberikan penangguhan kepada sopir tersebut. Tetapi, rupanya hal ini dianggap sebagian warganet sebagai sanksi yang masih terlalu longgar lantaran cuma berlaku beberapa hari. Seberapa besar hukuman yang harusnya dijatuhkan oleh pelaku pelecehan seksual? Itu saja masih mendatangkan pendapat beragam, apalagi ketika pihak-pihak yang terlibat punya narasi berlainan.

- Advertisement -

Sehubungan dengan narasi berlainan, tidak semua pengalaman pernah dilecehkan yang diceritakan di media sosial berujung pada sanksi terhadap pelaku/terduga pelaku. Ada kasus yang berujung pada kriminalisasi orang yang merasa dilecehkan seperti yang dirasakan oleh Anindya Joediono. Oleh pihak yang melaporkannya, Anindya dituding melakukan pencemaran nama baik.

Sanksi sosial pun tak kalah membebani orang-orang yang bersuara seputar pelecehan seksual yang mereka terima. Di Jepang, sejumlah warganet yang terlibat dalam gerakan #MeToo justru menjadi pihak yang mendapat tekanan dari orang-orang yang melihat unggahannya. Ada yang ditagih memberikan bukti atau diminta melapor saja ke polisi daripada berkoar di media sosial. Ada pula yang sampai menerima ujaran kebencian, disebut pelacur, atau menerima kata-kata “seharusnya kamu mati saja”. Ada yang bahkan dipertanyakan identitasnya, karena, menurut pemberi komentar, semestinya perempuan Jepang asli tidak membicarakan hal memalukan di muka publik.

Dari adanya contoh-contoh semacam ini, saya melihat bahwa di satu sisi media sosial memang dapat dimanfaatkan sebagian orang untuk mengadvokasi diri ketika mengalami pelecehan seksual. Hal ini mulanya merupakan sesuatu yang tidak sering dibicarakan di ranah offline secara publik. Akan tetapi, di lain sisi, ucapan-ucapan di media sosial bisa menjadi bumerang bagi mereka.

Senjata makan tuan yang dirasakan sebagian korban pelecehan dapat terjadi karena ada hal-hal di dunia nyata yang terbawa ke dunia online seperti sikap menyalahkan korban atau menyepelekan tindakan melecehkan. Orang-orang yang menyalahkan korban pelecehan mengopi perilakunya di kehidupan nyata ketika mengomentari cerita pelecehan seksual seseorang di media sosial. Kenapa menyalahkan? Bisa jadi karena mereka percaya bahwa pelecehan yang diterima si korban berkat andil korban sendiri dalam berpenampilan atau berperilaku. Bisa juga karena mereka beranggapan tidak semestinya kasus pelecehan seksual dibicarakan di media sosial seperti pada kasus di Jepang tadi.

Sementara itu, karakteristik lain media sosial, anonimitas, juga mendorong mudahnya korban disalahkan. Siapa pun bisa membuat akun anonim, mencerca dan menyalahkan korban, lantas menghilang keesokan harinya dan muncul dengan akun anonim lain serta komentar negatif yang sama. Makin banyak komentar negatif yang diterima korban di media sosial terkait cerita pelecehan seksualnya, makin besar tekanan psikis yang mungkin ia hadapi.

Tekanan macam ini membengkak begitu melibatkan ancaman seperti yang dialami perempuan yang bercerita dilecehkan sopir Grabbike. Alih-alih lega telah bercerita dan merasa akan aman selepas melaporkan pihak bersangkutan kepada Grab, ia malah harus menelan kekhawatiran pada hari-hari sesudah ia menyebarkan tindakan melecehkan si sopir.

Pelaporan pelecehan seksual di media sosial menurut saya masih berada di wilayah abu-abu. Seseorang tidak tahu apakah ia akan mendapat simpati atau justru kian terpuruk dengan penghakiman atau ketidakpercayaan orang-orang sekitar. Kalaupun ia mendapatkan keduanya, ia masih mesti menduga-duga apakah simpati yang diperolehnya lantas akan mendatangkan keadilan baginya di kemudian hari; atau kasusnya dibiarkan begitu saja, dan ia akan menerima ancaman, sementara pelaku bebas dari sanksi. Yang jelas, konsekuensi mengunggah suatu cerita atau pernyataan di dunia digital akan lebih lama dan berdampak lebih jauh, mungkin melebihi perkiraan si pengunggah.

Patresia Kirnandita
Patresia Kirnandita
Pengajar nontetap Komunikasi UI; Peneliti independen isu budaya populer, gender, dan seksualitas.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.