Selalu membingungkan membincangkan agama, apalagi perbedaan-perbedaan di antaranya. Nikmat memang. Kurang nikmat apalagi jika kita mengejek agama orang lain. Itu sudah semacam candu. Bukankah manusia itu unik: bahagianya semakin memuncak di atas penderitaan orang lain? Saya pernah mengalaminya. Dalam hal ini, saya sebagai pelaku, bukan korban. Saya meledek, misalnya, untuk apa memanggil-manggil nama Tuhan hingga dengan speaker: emangnya Tuhan itu jauh?
Saya bahkan semakin bahagia ketika pada suatu masa saya mempunyai paham yang dangkal: bagaimana mungkin kaum Muslim naik ke surga jika Nabi Muhammad belum ke surga? Tapi, itu dulu. Itu ketika saya belum pernah bertemu, apalagi berteman dengan Muslim.
Ya, saya lahir di sebuah desa yang tak mempunyai warga Muslim. Apalagi guru “sekolah minggu” kami belum matang. Ada semacam doktrin bahwa Muslim itu sesat. Namun, begitulah pakemnya. Ini ibarat petuah leluhur kita: tak kenal, maka tak sayang.
Tak sayang berarti benci. Benci berarti curiga. Curiga berarti dendam. Atau ini: tong kosong nyaring bunyinya. Saya hanya mendengar sekilas tentang Muslim, maka saya sudah membunyikan banyak hal tentang Muslim seakan saya sudah mengkhatam semua paham tentang Muslim.
Kemudian pada suatu masa saya pernah berkeinginan menjadi pastor (pendeta Katolik). Saya pun masuk seminari di Pematang Siantar. Di sana, meski saya akui sangat dangkal, kami belajar secara sekilas tentang “Islamologi”.
Ingin Menguatkan
Wajah buku itu masih saya ingat betul: kusam, lapuk. Sepertinya edisinya terbatas hanya untuk kami. Soalnya, saya tak pernah menemukan buku itu di toko buku. Intinya, buku itu sudah tua. Di buku itu, saya mulai paham apa itu Islam. Memang, buku itu masih cenderung tendensius. Namun, setelah membaca buku itu, saya mulai suka membaca banyak buku, terutama tentang Muslim.
Saya tak akan membahas hasil bacaan itu di sini. Itu bukan kapasitas saya. Lagi pula saya takut menjadi tong yang nyaring seakan saya sudah khatam apa itu Muslim hanya dengan menuntaskan puluhan buku atau hampir ratusan artikel populer.
Mengapa saya tuliskan ini? Saya hanya ingin menguatkan, seperti kata Prof. Mun’im Sirry, bahwa kita akan membenci orang lain, apalagi kalau berbeda, jika kita masih kenal sebatas tahu. Itu fakta yang tak bisa dibantah. Waktu lalu bergulir. Beberapa kali saya pacaran dengan perempuan Muslim. Dua buku puisi saya bahkan, konon, terilhami secara imajinatif oleh hubungan itu. Melalui pacar saya itu, pelan-pelan saya tahu apa itu Islam. Apa pasal? Mereka memberi saya buku, bahkan Al-Qur’an. Saya marah? Tidak.
Saya membaca buku itu, juga Qur’an pemberian itu. Lama-lama saya semakin sering mampir ke masjid. Perjumpaan seperti itu membuat saya semakin yakin bahwa dasar kebencian adalah ketidakkenalan secara mendalam. Apa kami pernah berdebat agama? Sering. Tapi, tak ada aroma kebencian di sana. Semua hanya semacam dialog agar kami semakin mengenal. Nah, dari dialog seperti inilah kemudian saya tahu bahwa sejatinya akar masalah kebencian, terutama di antara masing-masing agama Abrahamik, hanya persoalan sepele.
Kebencian ini ibarat karena merasa “sama”, tapi tak jua bersatu. “Sama-sama” mengakui bahwa Abraham itu adalah bapak khusus. Bagi Yahudi, misalnya, Abraham adalah “Yahudi Pertama”. Nasrani mengagungkan Abraham karena merupakan leluhur Yesus dan menjadi sesepuh di surga, seperti dinarasikan dalam adegan Lazarus dan Orang Kaya (Lukas 36: 19-31 atau (Kejadian 17:5).
Sama dengan saudara tuanya, Islam juga mengklaim Abraham khusus untuk dirinya. Intinya, Abraham, meski sosok yang sama, diklaim secara berbeda oleh agama samawi.
Peran Abraham dan garis keturunan biologisnya juga ditafsirkan berbeda. Yang satu menganggap agamanyalah keturunan dari istri sah. Terjadi semacam anak yang tertukar antara Ishak dan Ismail. Namun, itu adalah hal biasa. Pertengkaran klaim seperti ini justru menjadi bukti kuat bahwa sesungguhnya masing-masing di antara mereka sangat dekat. Hanya saja dialog yang mereka bangun sangat kering dan dangkal. Maka, timbullah kecurigaan itu secara membabi buta. Lalu, dicarilah titik-titik ekstrem untuk membedakan.
Sebut, misalnya, tafsir atas Yesus. Di Islam, Yesus bukan sosok main-main. Namun, kini, ada semacam degradasi sosok Yesus sehingga sering menjadi titik untuk dipertengkarkan. Itu karena satu hal: Nasrani membuat sosok Yesus sebagai Tuhan. Sementara itu, Islam mengakui-Nya sebagai nabi, bahkan meyakini Yesus bukan dibangkitkan dari kematian, melainkan diserupakan (syubbiha). Alasannya karena tidak ada yang benar-benar bisa membuktikan secara ilmiah bahwa Yesus itu bangkit dari orang mati.
Ya, memang ada berbagai penelitian, mulai dari analisis wajah hingga peletakan kain kafan. Namun, itu tak menjadi bukti akurat. Walau begitu, ketidakakuratan ini tak seharusnya dipermasalahkan, sebab pada saat yang sama tak ada juga yang bisa membuktikan bahwa Yesus diserupakan, bukan?
Baik, saya masuki dulu salah satu “klaim” dari Mun’im Sirry terkait dogma Trinitas. Ini bukan untuk Mun’im Sirry tentu saja. Ia sudah tuntas hingga beberapa level, kok. Bahkan, jangan-jangan ia “sudah lebih” Katolik dari saya.
Jadi, ulasan ini untuk mereka yang masih berada pada fase pertama: pengetahuan awal. Soal ide Trinitas, ini tak hanya masalah bagi kaum Muslim. Ini bahkan masih diperdebatkan di Nasrani. Trinitas lebih sering dipandang sebagai “tiga” daripada sebagai kebersatuan, sebagai bilangan, daripada sebagai iman yang utuh. Mana mungkin Tuhan yang satu bisa tiga? Itu adalah alasan penangkal bagi kaum beriman yang meyakini Tuhan itu satu (monoteistik).
Namun, Yesus sendiri, sebelum naik ke surga, memberkati umat-Nya melalui amanat agung dengan kalimat perutusan yang mengandung ide trinitas: Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (Matius 28: 19-20).
Banyak ayat yang menyebut Yesus sebagai anak, sebagai utusan Bapa, dan akan datang lagi melalui Roh Kudus. Melalui 2 Korintus 3:17, peneguhan “Roh” juga disebutkan: “Sebab Tuhan adalah Roh. Nats kecil ini menjadi satu bukti bahwa secara langsung Yesus sudah mengajarkan ide Trinitas.
Masuk akal? Tidak, tentu saja. Tetapi, apakah Tuhan sesempit masuk akal atau tidak? Sekali lagi, jangankan kepada Islam, sesama agama Nasrani (Katolik dan Protestan) banyak berdebat soal iman. Sosok Maria, misalnya, begitu diagungkan di Katolik sehingga acap disebut lebih mempertuhankan Maria daripada Yesus.
Sebaliknya, di Protestan, sosok Maria seakan tak berarti. Tak ada pujian khusus bagi Bunda Maria. Apakah tuduhan Protestan itu betul? Tidak! Tuduhan itu hanya salah satu bukti bahwa beberapa dari Protestan itu masih berada pada tahap awal.
Kita bahkan belum sampai pada tuduhan bahwa Katolik sebagai umat yang berhala hanya karena “menyembah” patung. Tuduhan itu betul? Tidak! Itu hanya fase awal. Jadi, jika kini masih ada orang yang menyebut Nasrani itu syirik, silakan saja. Sebab, saya membacanya sebagai cara agar kita berkenalan lagi. Ayo berkenalan!
Kolom terkait
Jangan Menuduh Kristen Itu Syirik!: Memahami Kristologi Qur’an
Yesus, Tuhan Kaum Muslim Juga? [Tanggapan untuk Mun’im Sirry]
Muslim Yang Merayakan Kelahiran Yesus