Kamis, Desember 12, 2024

Silakan Benci Ahok, tapi Berlaku Adillah!

Iding Rosyidin
Iding Rosyidin
Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisement -
ahok-ppp
Calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan cawagub DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat bersama Ketua Umum PPP hasil muktamar Jakarta Djan Faridz (kiri) saat menghadiri Deklarasi Mendukung Pasangan Ahok-Djarot di Kantor DPP PPP, Jakarta, Senin (17/10). ANTARA FOTO/Reno Esnir/pd/16.

Wa ‘ainur ridha ‘an kulli ‘aibin kalilah
Kama anna ‘aenas sukhti tubdil masawiya
(mata yang rela tumpul pada setiap kekurangan
sedang mata yang marah menampakkan semua keburukan)

Pepatah Arab ini tampaknya cukup tepat untuk menggambaran perilaku sebagian kelompok Islam akhir-akhir ini. Ketidakrelaan mereka terhadap kepemimpinan sebuah daerah yang dipegang orang non-Muslim membuat pandangan mereka kabur atau bahkan gelap mata. Akibatnya, mereka sangat benci terhadap non-Muslim yang berhasil menjadi pemimpin di negeri ini.

Demikianlah, Gubernur DKI Jakarta Basuki Thahaja Purnama (Ahok) menjadi sasaran kebencian kelompok Islam tersebut. Bagi mereka, tanpa berbuat sesuatu yang dianggap mereka salah pun, Ahok sudah layak dibenci. Dia pemimpin kafir. Apalagi ketika Ahok dianggap telah melakukan “penistaan agama”, maka kebencian mereka pun kian menjadi-jadi. Amarah membuncah dan sumpah serapah tumpah ruah.

Sedemikian bencinya kelompok Islam ini terhadap Ahok, sehingga apa pun yang terbaca dari gerak-gerik Ahok, yang terucap dari bibirnya dan yang terlihat dari tindak-tanduknya, semuanya dipandang negatif. Tidak ada hal apa pun pada diri mantan Bupati Belitung Timur itu yang dianggap positif.

Benci tapi Adil
Bolehkah seseorang membenci sesuatu? Tentu boleh-boleh saja. Tidak ada seorang pun yang bisa melarang. Suka, senang, benci, marah, dan sifat-sifat sejenis lainnya adalah hal yang manusiawi. Siapa pun, dari rakyat jelata sampai pemilik tahta, dari orang awam sampai pemilik otoritas agama, tidak akan bisa menghindarkan diri dari sifat-sifat tersebut.

Masalahnya adalah seberapa jauh orang mampu mengelola perasaan seperti benci tersebut? Sampai batasan apa kebencian itu dapat ditoleransi? Salah satu ayat dalam al-Qur’an, yaitu sural al-Ma’idah ayat 8, tampaknya sangat relevan untuk menjelaskan hal ini. Dalam ayat itu Tuhan berfirman,

“. ..jangan sekal-kali kebencian kalian terhadap sebuah kaum mendorong kalian untuk berbuat tidak adil…”

Ayat ini seolah-olah menegaskan, silakan kita membenci sesuatu, seseorang, atau sekelompok orang, tapi ingat sebenci apa pun, kita harus tetap bersikap adil terhadap yang kita benci. Misalnya hak-hak yang dibenci tersebut tetap harus dipenuhi; kalau mereka berprestasi harus diapresiasi, dan seterusnya.

Adil sendiri secara etimologis artinya seimbang, tidak berat sebelah. Dan secara terminologis adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Pengertian ini bisa diterapkan dalam semua bidang kehidupan, mulai sosial, budaya, ekonomi, politik, sampai agama. Lawan adil adalah dzalim, yakni menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dengan demikian, orang yang tidak adil adalah orang yang dzalim.

Bagaimana bisa seseorang membenci tetapi tetap berlaku adil? Sebutlah, misalnya, sekarang sekelompok umat Islam sedang membenci Ahok. Jika mereka berkomitmen penuh pada ayat ini, sekalipun kebencian mereka terhadap Ahok sudah sampai di ubun-ubun, seharusnya mereka tetap berlaku adil. Kalau ada hal-hal yang bagus pada diri Ahok, seharusnya diapresiasi. Dalam penjelasan kitab-kitab tafsir terhadap ayat di atas, berlaku adil bahkan mesti dilakukan terhadap musuh sekalipun.

- Advertisement -

Almarhum Nurcholis Madjid, yang akrab dipanggil Cak Nur, dalam berbagai kesempatan kerap mengutip ayat di atas. Cak Nur yang memang dikenal sangat santun dan jarang sekali marah pada siapa pun, sering mendorong umat Islam agar mempu mengendalikan diri dalam menghadapi berbagai persoalan, termasuk persoalan politik saat itu. Kalau benci, maka ia selalu pesan, jangan sampai kebencian itu membuat mereka tidak berlaku adil.

Dengan demikian, sekelompok umat Islam yang membenci Ahok harus juga menghargai haknya sebagai bentuk pengejawantan perilaku adil tersebut. Ketika mereka, misalnya, menuduh Ahok telah melakukan penistaan agama, maka mereka seharusnya memberikan kesempatan kepada Ahok untuk melakukan pembelaan diri. Dalam konteks negara hukum seperti Indonesia, pembelaan itu memang seyogianya dilakukan melalui proses hukum.

Sebenarnya proses hukum atas kasus tuduhan penistaan agama tengah berlangsung sampai saat ini. Ahok sebagai pihak tertuduh bahkan telah melakukan klarifikasi ke Badan Reserse Kriminal Polri. Demikian pula para saksi telah dipanggil untuk memberikan keterangan. Memang, hasilnya tidak serta merta dapat diketahui, karena proses hukum memerlukan waktu yang cukup lama.

Kalau kemudian kelompok ini terus-menerus melakukan serangan pada Ahok, bahkan dengan ancaman pembunuhan kalau proses hukum tersebut tidak berakhir dengan dipenjarakannya Ahok, seperti yang mereka inginkan, maka hal ini jelas bisa disebut perilaku tidak adil. Mereka, dengan demikian, tidak memberikan kesempatan pada Ahok untuk mendapatkan haknya, yakni pembelaan diri.

Adil Itu Demokratis
Ajaran Islam untuk tetap berlaku adil sekalipun terhadap orang yang dibenci sesungguhnya sangat sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Demokrasi mengajarkan orang untuk saling menghargai, saling menghormati, dan seterusnya antar satu dengan yang lain. Terhadap orang-orang yang tidak sepaham pun, yang boleh jadi karena itu kebencian muncul, tetap harus dihargai. Sekeras apa pun pertentangan yang muncul, saling respek tetap mesti dijaga.

Sebaliknya, upaya pemaksaan kehendak, apa pun dalihnya, jelas bertentangan dengan nilai demokrasi yang notabene juga sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri. Tetap ngotot dengan tindakannya, lebih celaka lagi merasa paling benar atas tindakannya itu, jelas-jelas bertentangan dengan nilai keadilan yang sangat ditekankan Islam.

Memang, perlu kedewasaan sejati untuk dapat melaksanakan perintah Tuhan tentang berlaku adil ini, seperti halnya perlu kedewasaan pula untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi di dalam kehidupan nyata. Umat Islam yang telah mendapatkan perintah itu di dalam kitab sucinya seharusnya menjadi pionir dalam konteks pengejawantahan perintah berlaku adil tersebut.

Nabi Muhammad sendiri adalah contoh paling gamblang dalam berlaku adil terhadap orang yang dibenci sekali pun. Saat peristiwa fathu Makkah, untuk menyebut salah satu contoh saja, Nabi tetap memperlakukan para penduduk Mekkah dengan baik padahal sebelumnya mereka sering mencaci-maki, memfitnah, bahkan melukainya secara fisik. Nabi melarang para pengikutnya untuk mengganggu harta apalagi jiwa mereka, padahal mereka adalah kaum kafir Quraisy yang selalu memusuhinya.

Sayangnya, perilaku simpatik Nabi Muhammad tersebut diabaikan oleh sebagian kelompok Islam, yang anehnya mereka mengaku sedang membela agama Allah. Ironis sikali jika pembelaan terhadap Islam dilakukan justru dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan perilaku sang pembawa Islam itu sendiri.

Oleh karena itu, sebelum terlampau jauh akibatnya, sebaiknya upaya-upaya provokatif dan ofensif yang kerap mereka pertontonkan dihentikan. Selain tidak ada gunanya, juga dampaknya malah memperburuk citra Islam itu sendiri. Cukuplah kalian membenci Ahok, tetapi tetap harus berlaku adil terhadapnya!

Iding Rosyidin
Iding Rosyidin
Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.