Jumat, April 26, 2024

Siapa Mengajari Mereka Memperkosa?

Merry Magdalena
Merry Magdalena
Founder & CEO PoliTwika.Com
Solidaritas Warga Bandung Untuk Korban Kekerasan dan Pelecehan Terhadap Perempuan melakukan aksi renungan dan penyalaan lilin untuk almarhumah Yuyun di Taman Cikapayang Bandung, Jawa Barat, Rabu (4/5). Mereka menuntut pemerintah bersikap proaktif dan melakukan berbagai tindakan preventif untuk memastikan tidak terjadi lagi kekerasan terhadap perempuan. ANTARA FOTO/Agus Bebeng/kye/16.
Solidaritas Warga Bandung untuk Korban Kekerasan dan Pelecehan terhadap Perempuan melakukan aksi renungan dan penyalaan lilin untuk almarhumah Yuyun di Taman Cikapayang, Bandung, Jawa Barat, Rabu (4/5). ANTARA FOTO/Agus Bebeng

Kata “memperkosa”, “diperkosa” atau “pemerkosa” pertama saya tahu dari Pos Kota. Masih SD, saya mencuri-curi baca halaman berita koran yang mengalami masa kejayaan di era Orde Baru itu. Pemimpin Redaksinya Harmoko, yang juga Menteri Penerangan masa itu.

Koran kuning itu juga memakai padanan kata “menggagahi” dan “menodai” sebagai variasi dari “memperkosa”. Tentu saya tak paham apa artinya, mau bertanya pun malu. Setelah membaca isi beritanya yang kadang detail menceritakan “prosedur” perkosaan, kelamaan saya paham. Bagi yang pernah membaca koran kuning, pasti tahu betapa detail dan “menikmatinya” si penulis berita menggambarkan aksi perkosaan.

Selain berita, Pos Kota juga punya kolom “Nah Ini Dia”, berisi cerita pendek yang dikemas nakal, didominasi kisah hot. Lalu ada juga kolom konsultasi Naek L. Tobing, yang kadang membahas kasus perkosaan.

Setelah dewasa, saya membayangkan, para pria yang sudah akil balig, bisa jadi menganggap semua konten seputar perkosaan itu adalah hiburan. Sebab, jujur saya akui, saya yang wanita pun demikian. Maklum, waktu kecil dan remaja, topik seks sangat tabu di keluarga saya. Sehingga ketika ada koran yang membahasnya blak-blakan, menjadi “kejutan yang menghibur”.

Kini, ketika berita kasus perkosaan merebak di mana-mana, ingatan saya kembali ke masa itu. Siapa yang mengajarkan 14 remaja di Bengkulu memperkosa dan membunuh almarhum Yuyun? Pos Kota? Pastinya bukan. Tidak ada Pos Kota di Bengkulu. Internet? Bisa jadi, tapi apakah di pelosok sana koneksi internet sudah lancar jaya? Film dan buku porno? Kemungkinan. Minuman keras atau narkoba? Ini bukan faktor utama, tapi memicu seseorang kehilangan akal sehat dan berbuat nekat.

Siapa yang mengajari para pria memperkosa? Otot, syahwat, dan lingkungan. Dengan kata lain, kekuatan fisik, nafsu seks, dan lingkungan yang mendukung. Setiap lelaki punya kekuatan fisik di atas perempuan. Syahwat mereka bisa bangkit kapan saja, tanpa harus dipicu gambar wanita telanjang. Bahkan kala bangun tidur pun seorang pria remaja bisa ereksi di luar sadar.

Lingkungan? Seorang anak lelaki yang terbiasa melihat wanita-wanita di sekitarnya terlihat tak berdaya, lemah, sekaligus didominasi pria, cenderung menganggap wanita layak dijadikan obyek. Studi di beberapa negara menunjukkan bahwa peran gender yang kaku dan promosi ideologi ketangguhan laki-laki berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan.

Setidaknya demikian menurut Lori Heise dalam publikasinya Violence Againts Women,1994. Berarti, suatu lingkungan di mana berlaku budaya kaum pria layak mendominasi banyak hal dibanding kaum wanita. Maka, ada semacam justifikasi untuk memaksakan kehendak pada wanita. Termasuk melakukan hubungan seks.

Sepuluh negara dengan kasus perkosaan tertinggi menurut versi ABCNewsPoint.Com adalah Afrika Selatan, Bostwana, Lesotho, Swaziland, Bermuda, Swedia, Suriname, Kosta Rika, Nikaragua, dan Grenada. Apakah di negara-negara itu budaya patriarki masih berjaya? Perlu studi lebih lanjut. Menjadi pertanyaan, mengapa Swedia yang tergolong negara maju ada di daftar tersebut. Apakah kaum wanita di sana masih belum sepenuhnya menikmati emansipasi selayaknya negara maju?

Indonesia masih belum masuk dalam daftar 10 negara dengan kasus perkosaan tertinggi di dunia. Namun, bukan berarti kita layak membiarkan kasus-kasus itu terjadi. Budaya patriarki, yang menganggap bahwa laki-laki adalah sosok otoritas utama sentral dalam organisasi sosial, mau tak mau harus diakui masih sangat kental di sini. Selama masih ada anggapan bahwa laki-laki layak memaksakan kehendak ke wanita, maka hasrat untuk memperkosa akan selalu ada. Entah itu pada remaja pria yang baru akil balig, pria dewasa, atau pria lansia.

Entah pada pria konsumen miras, pria yang berprofesi sebagai pendeta atau uztad atau biksu, maupun yang atheis atau penyembah berhala. Maka, tak perlu kaget jika membaca ada pendeta atau guru agama memperkosa. Itu hal yang sangat “hewani”. Bukankah dalam ilmu biologi, manusia diklasifikasikan sebagai hewan alias binatang?

Syahwat yang tak terkendali tidak pernah mengenal profesi, kelas ekonomi, status sosial, agama, maupun suku. Sebab, pada dasarnya manusia punya nafsu yang nyaris sama dengan binatang. Apakah mereka mampu mengendalikannya atau tidak, itu masalahnya. Haruskah kita toleran pada manusia yang tak sanggup mengontrol sifat kebinatangannya? Sebuah pertanyaan yang saya lemparkan kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia.

Kolom Terkait:

Korban Perkosaan: Diam dalam Dendam

Merry Magdalena
Merry Magdalena
Founder & CEO PoliTwika.Com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.