Sabtu, Juli 27, 2024

Setelah Heboh Terjemahan Awliyā’ sebagai ‘Teman Setia’

Fadhli Lukman
Fadhli Lukman
Pelajar ilmu al-Qur'an dan sosial kemasyarakatan yang sedang menempuh PhD di Albert-Ludwigs-Universität Freiburg.

maidah-palsu

Di antara lebih dari enam ribu ayat al-Qur’an, al-Ma’idah ayat 51-lah yang dalam dua pekan terakhir menjadi primadona di Indonesia. Adalah Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang memicu kontroversi di Kepulauan Seribu. Diksi “dibodohi” yang ia gunakan menyulut reaksi keras, tergambar dalam tayangan Indonesia Lawyer Club (ILC) dan demonstrasi besar-besaran di Jakarta pada Jumat, 14 Oktober 2016.

Yang terbaru, tepatnya kemarin, Kementerian Agama harus menanggapi beredarnya postingan di media sosial tentang terjemahan kata awliyā’ pada QS Al-Maidah: 51 yang disebutkan telah berganti dari “pemimpin” menjadi “teman setia”. Postingan itu menyertakan foto halaman terjemah QS al-Maidah: 51 dengan keterangan yang menyebutnya sebagai “al-Qur’an palsu”.

Ayat ini berisikan larangan Muslim untuk menjadikan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai awliyā’. Perbedaan interpretasi atas terminologi awliyā’ menjadi pokok persoalan. Secara politis, ayat ini menjadi titik kontestasi antara pendukung Ahok di satu sisi dan anti-Ahok di sisi lain.

Peristiwa ini menambah daftar sejarah pertautan praktis antara al-Qur’an dan politik di Indonesia sebagaimana direkam oleh Azyumardi Azra dalam salah satu artikelnya dalam buku yang diedit oleh Abdullah Saeed, Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia.

Di ranah intelektual, ini merupakan perdebatan antara kecenderungan klasik dan pengaruh modernisasi pemikiran dalam tafsir. Dengan diktum al-`ibrah bi`umūm al-lafẓ lā bikhuṣūṣ al-sabab, kelompok tradisionalis bersikukuh bahwa ayat ini merupakan norma ahistoris tentang kriteria pemimpin dalam Islam.

Di sisi lain, modernisasi pemikiran dalam tafsir memberi ruang gerak yang lebih besar terhadap konteks historis. Negosiasi teks dan konteks menghalangi mereka untuk mengamini argumen lawannya.

Karena keduanya berangkat dari asumsi epistemologis yang berbeda, masing-masing memiliki kriteria kebenarannya sendiri. Kemungkinan untuk kompromi terlihat minim. Berkaca pada sejarah, di antaranya mihnah (cobaan) tentang kemakhlukan al-Qur’an pada masa Abbasiyah, peristiwa politiklah yang akan menjadi hakim penentu pendapat siapakah yang “benar”; semacam relasi power dan knowledge dalam sejarah Islam.

Jika mihnah adalah contoh yang ekstrim dan berdarah, kita bisa lihat pada perdebatan tentang Keluarga Berencana (KB) di Indonesia beberapa dekade lalu sebagai contoh yang cukup adem.

Sungguhpun ada dua kelompok yang beradu opini, sebenarnya ada tiga unit hermeneutis yang dimunculkan. Yang pertama adalah historical meaning dari al-Ma’idah ayat 51 yang diperjuangkan kelompok kedua melalui sabab al-nuzul. Yang kedua adalah kontekstualisasi Umar ibn al-Khattab dalam konteks pemerintahan teokratis khilāfah al-rāsyidah. Dan yang terakhir adalah awliyā’ dalam konteks pemerintahan demokratis berideologi Pancasila di Indonesia saat ini.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk terjun meramaikan perbincangan tentang awliyā` dalam konteks yang kedua atau ketiga; menimba air ke laut. Tulisan ini akan menampilkan analisis tentang makna awliyā’ dalam konteks pertama, dan sedikit mengaitkannya dengan sejarah kontemporer dunia di luar persoalan pilkada.

Untuk konteks pilkada dan Ahok, biarlah peristiwa politik yang akan menentukan penafsiran kelompok mana yang operatif di Indonesia saat ini.

Jika kelompok modernis menerjemahkan awliyā’ sebagai teman dekat, pelindung, sekutu, dan semacamnya, daripada sebagai pemimpin, lantas bagaimana wujud kongkrit dari teman dekat, pelindung, dan sekutu tersebut?

Merenungi pertanyaan ini, memori tahun lalu ketika saya intens membaca sīrah nabawiyah seputar struktur masyarakat Arab muncul seolah memberi jawaban. Ada sejumlah buku yang saya baca ketika itu dan sayangnya saya tidak bisa memastikan di buku yang mana penjelasan yang akan saya utarakan ini termuat; jika bukan Fajr al-Islām Ahmad Amin, mungkin The History of Arabs Philip K. Hitti, tapi juga mungkin buku lainnya.

Disebutkan bahwa orang Arab hidup dalam struktur suku, dan perang antar suku adalah hal yang lumrah. Mereka biasa berperang mulai dari alasan yang besar hingga yang remeh-temeh. Oleh sebab itu, kadang suku yang lemah meminta perlindungan kepada suku yang lebih kuat.

Dengan perjanjian tertentu, keamanan suku lemah ini dijamin oleh suku yang lebih kuat. Konsekuensinya, suku-suku yang menghormati suku kuat tidak bisa menyerang suku lemah. Mekanisme seperti inilah agaknya yang menggambarkan wujud empiris dari walāyah; suku kuat menjadi awliyā’ bagi suku lemah.

Agaknya kita juga bisa melihat contoh lainnya. Dakwah Nabi Muhammad di Mekkah bisa dibagi kepada enam tahap berdasarkan penjabaran Abid al-Jabiri. Tahap pertama dan kedua adalah penguatan tentang kenabian-ketuhanan dan eskatologi. Pada tahap ketiga dimulailah konfrontasi terbuka terhadap paganism. Dari awal, masyarakat Quraish menentang Muhammad. Peralihan kepada konfrontasi terbuka ini juga memancing perubahan penentangan mereka, dari verbal ke fisikal.

Disebutkan oleh Ibn Hisyam bahwa pada awalnya kaum pagan Quraish mencela nabi Muhammad dan pengikutnya. Akan tetapi, ketika ia mulai secara terbuka mengkritik polytheism dan menentang berhala-berhala, pengikutnya yang mayoritas dari para budak dan orang miskin mulai disiksa secara fisik. Meskipun demikian, mereka tidak berani menyentuh Nabi Muhammad. Yang mereka lakukan kemudian adalah bernegosiasi dengan Abu Ṭālib. Mengapa demikian?

Pertama, tentu saja karena Nabi Muhammad adalah keturunan yang dihormati, cucu dari ‘Abd al-Muṭallib yang dipercayai sebagai pemegang kunci Ka’bah, keturunan Banū Hāsyim. Di samping itu, Abu Ṭālib sendiri adalah orang terhormat. Meskipun bukan orang kaya, ia adalah seorang yang dikenal memiliki bakat dalam bidang sya’ir, sebuah prestise sosial ketika itu.

Betapapun mereka membenci Nabi Muhammad, perlindungan Abu Ṭālib atas dirinya menghalangi mereka untuk menyentuhnya. Tidak lupa pula satu figur penting lainnya; Hamzah, seorang petarung yang disegani ketika itu. Muhammad tidak tersentuh karena berada di bawah perlindungan orang-orang yang dihormati.

Satu contoh lagi sebagai pelengkap. Ketika hijrah, Nabi Muhammad mempersaudarakan kaum Muhājirin dan Anṣār. Mengapa Anṣār begitu mudah untuk menerima? Pertama sekali tentu karena harapan mereka yang begitu besar terhadap Nabi Muhammad untuk bisa menyelesaikan persengketaan panjang antara suku besar di Yaṡrib, suku Aws dan Khazraj.

Di samping itu, perlu pula disadari bahwa praktik mempersaudarakan seperti ini sebenarnya telah memiliki basis kultural dalam kehidupan masyarakat Arab, yaitu walāyah itu sendiri; satu orang menjadi wali bagi yang lainnya. Dalam perspektif ini, apa yang terjadi sebenarnya adalah Nabi Muhammad memanfaatkan sebuah tradisi kultural di masyarakat Arab untuk mempersatukan dua komunitas, Muhājirin dan Anṣār.

Ketiga peristiwa tersebut agaknya yang menjadi wujud kongkrit dari konsep walāyah dalam budaya Arab. Ditautkan kepada kisah sabab al-nuzul al-Ma’idah ayat 51, dapat dipahami pelarangannya. Ayat tersebut diturunkan dalam situasi perang: Perang Uhud menurut satu versi dan Perang Khandaq pada versi lainnya. Yang menjadi musuh ketika itu adalah kaum kafir Quraish. Dalam situasi tersebut, beberapa sahabat berupaya meminta perlindungan kepada kaum Yahudi dan Nasrani. Kemudian turunlah ayat ini.

Dalam konteks ini, secara politis pelarangan tersebut sangat masuk akal. Pertama, Nabi Muhammad sedang dalam upaya menumbuhkan dan memperlihatkan supremasi umat Islam. Meminta perlindungan kepada kalangan tertentu berseberangan dengan tujuan tersebut.

Di sisi lain, ada kecurigaan persekongkolan musuh dengan kedua komunitas tersebut. Memang, pada peristiwa Khandaq, Quraish bersekongkol dengan Yahudi Banū Quraiżah. Tentu saja berwali kepada kalangan yang menjadi bagian dari musuh (ba`ḍuhum awliyā’a ba’ḍ) adalah tindakan yang sangat gegabah.

Dari tiga contoh wujud empiris konsep walāyah di budaya Arab ketika itu dan riwayat asbāb al-nuzul yang menjelaskan konteks historis turunnya ayat, kita dapat memahami makna historis dari pelarangan pada surat al-Ma’idah ayat 51 tersebut.

Membaca riwayat sabab al-nuzul dan memahami bentuk empiris dari walāyah juga mengingatkan saya pada salah satu peristiwa besar di abad ini, yaitu gelombang pengungsian besar-besaran dari Timur Tengah ke Eropa. Perang menjadi-jadi, jutaan manusia gugur, dan yang lainnya hidup ketakutan dan terusir. Jutaan mengungsi ke Eropa, tanah dengan mayoritas penduduk non-Muslim.

Mereka adalah orang-orang yang hidup di negeri Muslim, merasa tidak aman karena perang, lalu mencari perlindungan ke negara non-Muslim. Di Eropa, mereka diterima. Di sana mereka bisa hidup aman, mendapat pekerjaan, jauh dari hiruk pikuk peperangan. Bagaimana kemudian pembacaan kita terhadap al-Ma`idah ayat 51 terhadap peristiwa besar ini?

Ayat tersebut berisi larangan: “Janganlah kalian menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai awliyā`”. Ayat tentang perintah atau larangan berkenaan dengan boleh dan tidak boleh. Akan tetapi, gelombang pengungsi ini berada di atas perdebatan boleh dan tidak boleh. Jikapun seseorang ingin menggunakan kacamata boleh/tidak boleh ini, ia akan dengan gampang menemukan jawabannya, al-ḍarūrah tubīḥ al-maḥẓūrah (kondisi darurat memperbolehkan yang terlarang).

Ya, karena daruratlah mereka mengungsi ke Eropa. Sungguh ini merefleksikan sebuah episode lain dalam sejarah Nabi Muhammad. Ketika di Mekkah ia dan pengikutnya mendapatkan tekanan secara terus-menerus dari Quraish, ia memerintahkan pengikutnya untuk mencari perlindungan ke Habasyah, negeri non-Muslim. Ketika itu mereka lemah, tidak seperti di Madinah di mana Allah melarang mereka untuk beraliansi dengan non-Muslim. Saat ini, kembali, umat Islam mencari perlindungan ke negeri non-Muslim. Sebuah cerminan kondisi awal Islam yang lemah di Mekkah.

Maka, al-Ma`idah ayat 51 sejatinya harus dipahami sebagai sebuah larangan, larangan untuk berperang, kalah jadi abu, menang jadi arang. Ayat ini juga harus dipahami sebagai sebuah perintah, perintah untuk menciptakan kondisi aman, supaya tidak ada yang perlu berlari dalam takut dan lapar mencari perlindungan melintasi gurun dan samudra.

Fadhli Lukman
Fadhli Lukman
Pelajar ilmu al-Qur'an dan sosial kemasyarakatan yang sedang menempuh PhD di Albert-Ludwigs-Universität Freiburg.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.