Setelah publikasi tulisan Fazlur Rahman, sarjana Muslim asal Pakistan, berjudul Riba and Interest pada 1964, hampir tak ada argumen baru dalam perbincangan serius terkait riba dan bunga bank. Tulisan ini pun tak lebih dari catatan kaki atas analisis Rahman itu.
Untuk mengantisipasi argumen: Tulisan ini tidak mempersoalkan haramnya riba. Dengan menggunakan istilah klasik, riba itu haram berdasarkan dalil qath‘i (konklusif). Yang menjadi jantung persoalan ialah pertanyaan: Apakah bunga bank termasuk riba? Jawabnya: Tidak! Sebab, yang dilarang keras dalam al-Qur’an adalah riba yang bersifat eksploitatif, sebagaimana akan diuraikan dalam tulisan ini.
Saya ingin memulai dengan sesuatu yang sudah jelas. Pertama, ulama tradisional menyepakati bahwa setiap kelebihan dari modal pokok termasuk riba, dan karena itu haram. Pandangan ini diikuti oleh banyak kaum Muslim, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah dalam fatwa yang mengharamkan bunga bank.
Kedua, karena keterbatasan ruang, tulisan ini tidak mungkin membahas tuntas persoalan riba dan bunga bank. Bahkan, untuk mendiskusikan bagaimana pandangan ulama klasik tentang riba saja, saya bersikap tidak adil jika membahasnya dalam tulisan pendek ini. Karena itu, insya Allah, akan muncul beberapa tulisan ke depan.
Dalam tulisan ini saya akan membatasi pada jenis-jenis riba dalam al-Qur’an dan hadits. Di bagian akhir tulisan akan dikemukakan analisis singkat kenapa bunga bank bukan riba.
Al-Qur’an dan Riba Jahiliyah
Dalam al-Qur’an, akar kata “riba” (yakni ر- ب – و), yang berarti “bertambah/berkembang”, digunakan dalam pengertian positif dan negatif sekaligus. Misalnya, ayat yang dijadikan dalil mengharamkan riba, al-Baqarah ayat 276: “Allah menghancurkan riba namun menambahkan sedekah.” Dalam ayat itu, kata “riba” dan “yurbi” (menambahkan) digunakan.
Karena itu, tidak setiap bentuk tambahan berarti negatif. Jika menggunakan kronologi al-Qur’an, cara memahami al-Qur’an yang disukai Rahman, kata “riba” dalam pengertian teknis pertama kali muncul dalam surat al-Rum ayat 39, yang termasuk surat Makiyah (turun di Mekkah): “Riba yang kamu berikan agar bertambah pada harta manusia, maka tidak bertambah di sisi Allah. Namun, zakat yang kamu berikan dengan maksud mendapatkan keridhaan Allah, maka mereka akan mendapat balasan berlipat ganda”
Bagi Rahman, kutukan terhadap praktik riba dalam al-Qur’an periode Mekkah bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Ayat-ayat Mekkah memang kerap mengecam ketidakadilan ekonomi, kecurangan dan bentuk-bentuk penindasan terhadap kaum lemah. Menarik dicatat, ayat tersebut tidak secara eksplisit mengharamkan riba.
Baru pada periode Madinah, riba diharamkan secara tegas, terutama dalam surat al-Baqarah ayat 275 dan surat Ali ‘Imran ayat 130. Dalam ayat terakhir disebutkan, “Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian memakan [mengambil] riba secara berlipat ganda.”
Rahman berargumen, pengharaman bertahap ini mengindikasikan riba dipraktikkan secara luas dan membudaya, sehingga perlu penanganan gradual. Walaupun argumen ini kurang persuasif, Rahman benar ketika mengatakan, “riba zaman pra-Islam merupakan sistem di mana modal pokok dilipatgandakan melalui proses penambahan.”
Rahman menambahkan, “karena proses melipatgandakan modal pokok, maka al-Qur’an menolak mengategorikan riba sebagai jenis transaksi bisnis yang adil.” Kesimpulan Rahman ini didukung oleh sejumlah riwayat dari ulama terdahulu. Misalnya, Malik bin Anas meriwayatkan pandangan Zaid bin Aslam berikut:
“Pada masa jahiliyah, riba dipraktikkan sebagai berikut: Seorang punya hutang hingga periode tertentu, dan jika sudah jatuh tempo, akan ditagih begini: Apakah kamu akan bayar atau menambahkan (riba)! Kalau mampu bayar, ya akan diambil, Jika tidak, jumlah hutang akan ditambahkan hingga jangka waktu tertentu.”
Kalau masih belum mampu bayar, jumlah hutang akan terus dilipatgandakan setiap jatuh tempo. Jadi, jika seseorang pinjam seratus ribu, riba semacam itu akan memaksanya untuk membayar hingga satu juta. Bisa dibayangkan, kalau seorang pinjam untuk kebutuhan hidup sehari-hari, akan sangat sulit membayar tepat waktu. Dan orang-orang kaya mengambil keuntungan dengan mengeksploitasi kebutuhan kaum miskin hingga mereka bertambah sengsara karena beban hutang yang makin menumpuk.
Itulah jenis riba yang dikecam keras oleh al-Qur’an. Mujahid, seorang mufasir terkemuka dari generasi Tabi’in, memahami ayat “Janganlah kalian makan riba dengan berlipat ganda,” dengan mengatakan, “Itu riba jahiliyah.”
Hadits dan Cakupan Riba
Dalam hadits, jenis dan cakupan riba mengalami pergeseran dan perluasan. Jika praktik riba jahiliyah yang diharamkan al-Qur’an terkait hutang-piutang untuk kebutuhan konsumtif, sejumlah hadits menggunakan terma riba dalam kaitannya dengan hutang dan transaksi jual-beli.
Dalam salah satu hadits yang terkenal, Nabi Muhammad memerintahkan: “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus diperjual-belikan secara serupa (matslan bi-mitslin), sama (sawa’an bi-sawa’in) dan dapat diserahterimakan (‘ainan bi-‘ainin). Barangsiapa yang menambahkan atau meminta tambahan, maka dia telah melakukan riba.”
Terlepas dari keanehan dalam hadits ini (misalnya, untuk apa jual-beli barang yang persis sama?), tujuan hadits ini ialah untuk menginstruksikan supaya tidak ada tambahan atau kelebihan dalam jual-beli barang sejenis.
Di situ tampak pengertian riba diperluas mencakup segala bentuk tambahan. Namun demikian, terdapat hadits lain yang menolak prinsip riba yang diperluas itu. Misalnya, sabda Nabi: “Tidak ada riba kecuali dalam hutang-piutang.” Hadits ini membatasi jenis riba pada apa yang dipraktikkan pada masa jahiliyah, yakni tambahan yang dibebankan karena melewati batas waktu pembayaran.
Kedua hadits yang bertentangan tersebut dapat ditemukan dalam Shahih Bukhari. Kontradiksi dan kompleksitas hadits-hadits tersebut menyita perhatian Rahman. Lebih dari dua pertiga tulisannya mengeksplorasi kontradiksi dalam hadits itu sendiri, di samping antara hadits dan al-Qur’an. Saya sarankan pembaca menelaah langsung tulisan Rahman.
Rahman tampak frustasi melihat kontradiksi itu dan mengatakan mustahil untuk mendefinisikan apa itu riba. “The contradiction found in the hadiths in respect to riba is difficult to resolve,” katanya.
Barangkali tidak sulit diselesaikan jika hadits-hadits tersebut dipahami sebagai refleksi perkembangan belakangan (baca: pasca Qur’an) ketika masyarakat Muslim mengalami rigiditas dalam beragama. Sebagai implikasi, ruang gerak kehidupan duniawi, termasuk bisnis, semakin dibatasi dengan memperluas cakupan hal-hal yang tidak diperbolehkan. Demikian juga riba diperluas melampaui praktik jahiliyah yang diharamkan al-Qur’an.
Sebenarnya ulama awal menyadari perkembangan tersebut dengan menyebut dua jenis riba: Riba al-nasi’ah (riba jatuh tempo) dan riba al-fadl (riba tambahan). Yang pertama dipraktikkan pada masa jahiliyah dan diharamkan al-Qur’an, dan kedua dimunculkan dalam hadits.
Ada juga ulama yang menyebut jenis riba yang diharamkan al-Qur’an sebagai riba jali (riba yang tampak/jelas), dan kedua riba khafi (implisit), yang diharamkan hadits karena dikhawatirkan akan mengantarkan pada jenis riba pertama. Artinya, pengharaman riba khafi lebih dikarenakan supaya tidak jadi perantara kepada yang haram, bukan haram dalam dirinya sendiri.
Yang luput dari perhatian para ulama ialah dimensi etis, keadilan dan kewajaran dalam memahami praktik riba. Riba jahiliyah itu sangat eksploitatif karena dua hal. Pertama, para pelaku riba meraup keuntungan berlipat ganda dengan menyengsarakan masyarakat miskin. Kedua, orang-orang miskin yang menjadi kreditur meminjam dana/uang untuk bertahan hidup.
Hal itu berbeda sekali dengan pinjam meminjam dengan bank saat ini. Orang pinjam modal ke bank bukan untuk tujuan konsumsi, seperti orang-orang miskin zaman Nabi, melainkan untuk membangun bisnis dan investasi. Di sini tampak jelas perbedaannya: di zaman Nabi pinjaman bersifat konsumtif; di zaman modern pinjaman ke bank bersifat produktif. Yang pertama penyebab kesengsaraan, yang kedua sumber keberuntungan.
Maka, mudah dipahami raison d’être mengapa riba jahiliyah yang bersifat eksploitatif dan konsumtif itu dikecam dan diharamkan al-Qur’an. Dengan alasan yang sama, kita bisa mengerti kenapa bunga bank bukan riba karena cara kerja bank tidak pada level pinjaman konsumtif.
Itu satu alasan kenapa bunga bank tidak termasuk riba. Alasan lain yang lebih detail akan didiskusikan dalam tulisan berikutnya.