Jumat, April 26, 2024

Serendah-rendahnya Binatang Adalah Manusia!

Ferena Debineva
Ferena Debineva
Pendiri dan Ketua Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC).

[Shutterstock]
Bagi saya, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada membincang urusan tempat tidur. Hanya dalam urusan ranjang, manusia bisa kembali kepada dirinya yang paling fitrah: menjadi binatang! Untuk itu, saya percaya bahwa kita harus kembali kepada ketelanjangan.

Ketelanjangan hanya bisa dimaklumi apabila manusia dihadapkan dengan kelahiran dan juga kematian, serta hubungan seksual. Kelahiran, hubungan seksual, dan kematian, yang memungkinkan adanya ketelanjangan, terjadi di tempat tidur. Tapi mengapa Anda tidak bisa telanjang ketika memasuki ruang rapat? Mengapa Anda tidak bisa telanjang di jalan raya?

Osho (2002), dalam bukunya yang berjudul Sex Matters: From Sex to Superconsciousness memberikan contoh yang sepadan:

Jika Anda berjalan tanpa busana di jalan, orang lain bisa marah pada Anda, padahal Anda tidak melakukan apa pun. Kemarahan itu bahkan lebih besar dibandingkan kemarahan yang ditujukan pada pembunuh. Mengapa ketelanjangan semata lebih mengundang amarah dibandingkan tindakan yang jelas merugikan orang lain?

Jawabannya adalah karena ketelanjangan membuat Anda dan orang lain di sekitar Anda, menyadari bahwa sejatinya, manusia adalah binatang. Ketelanjangan mengusik ego dan menyadarkan diri, kalau manusia bukan dan tidak boleh menjadi binatang. Karenanya, manusia berupaya menutupi ketelanjangannya dengan berbusana, binatang tidak. Tidak ada binatang yang memakai baju, kecuali di film kartun seperti Zootopia.

Jika Anda menonton film tersebut, saya berharap Anda mengingat bagian di mana Judy Hopps dan Nick Wilde, dua tokoh utama film tersebut, mendatangi Yax dan Nangi dalam perkumpulan naturist  yang mempraktikkan ketelanjangan. Di masa ketika binatang dianggap telah berevolusi dan menjadi lebih mirip manusia, ide mengenai ketelanjangan adalah suatu keanehan, dan hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan untuk diri.

Hal ini berbeda dengan konsep membunuh yang akan tetap menjadikan kita sebagai manusia, karena hanya manusialah yang mampu dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain. Animal kills, but human murders.

Bagi saya, semua ini layaknya lelucon. Nyatanya, ada sekelompok orang tengah menuntut Mahkamah Konstitusi untuk mengkriminalisasi hubungan seks premarital dan extramarital. Bisakah Anda bayangkan bahwa Indonesia harus membangun banyak penjara baru di tengah ketidaklayakan lembaga permasyarakatan kita, hanya untuk mengkriminalisasi perilaku seksual pribadi?

Namun, bagi orang-orang tersebut, ancaman ketelanjangan dan aktivitas seksual yang konsensual lebih mengerikan dibandingkan pelanggaran hak asasi manusia. Jika ada sesuatu yang terlihat atau terdengar asusila, orang-orang tersebut rela berdiri di laskar terdepan, dengan dalih menyuarakan tuhan. Orang-orang tersebut pulalah yang paling gagu menanggapi isu kemanusiaan.

Oleh orang-orang seperti ini, kebinatangan kemudian digambarkan sebagai sesuatu yang menjijikkan dan menakutkan. Ketakutan dan obsesi pada kesucian dibangun sedemikian rupa sehingga individu menjadi amat berjarak pada tubuh. Lalu, melalui perjanjian-perjanjian negara dan satu-dua kata, individu memperdagangkan tubuh kepada orang lain. Bagaimana mungkin seseorang memberikan tubuh yang bahkan asing untuk dirinya sendiri?

Indonesia membutuhkan revolusi seksual seperti terjadi pada tahun 1960-1980-an. Revolusi tersebut adalah penanda penting dalam perubahan sikap masyarakat dalam memandang seksualitas. Revolusi yang dikenal sebagai pembebasan seksual ditandai oleh gerakan sosial yang menantang norma seksual yang sebelumnya begitu mengekang, dan membebaskan peran gender yang tadinya begitu kaku.

Masyarakat yang selama ini diliputi ketakutan karena adanya doktrin-doktrin gereja yang menabukan dan menakutkan, terpapar kemudahan akses kontrasepsi baru. Ketersediaan pil dan IUD memberikan kekuatan kepada perempuan untuk mengontrol dirinya, terutama untuk mengendalikan kelahiran.

Tahun-tahun setelahnya ditandai dengan keterbukaan atas seks rekreasi, non prokreasi. Pada tahun 1972, kontrasepsi disahkan untuk pasangan yang belum menikah, perubahan pandangan mengenai aborsi, praktik aborsi yang aman serta penghapusan homoseksualitas dari Diagnostic and Statistic Manual for Mental Disorder (DSM).

Sementara itu, kita masih berada di dalam era kemunafikan; yaitu berpura-pura hidup dalam abad kegelapan, dan memaksa orang lain untuk tetap hidup dalam kegelapan, padahal akses informasi sedemikian luasnya.

Kepantangan akan seks dan ketelanjangan yang selama ini digunakan hanya memperparah jurang antara individu dengan tubuhnya, selain menutup diri dari kenyataan bahwa aktivitas seksual benar terjadi di depan mata. Kita pura-pura lupa bahwa dosa dan neraka sudah tidak punya harga di neraca perdagangan. Kebutuhan akan tetap ada, mengendalikan dalam kamar-kamar tanpa suara.

Saya mengamini satu hal dalam hidup saya: di dalam seks, tidak ada yang tidak mungkin. Seorang perempuan yang vokal dan dominan bisa jadi adalah seorang submisif yang masokis. Seorang yang mengaku jagoan, tumbang dalam hitungan menit. Perempuan manis berjilbab yang biasa berdiam adalah yang paling kencang mengerang. Laki-laki yang sibuk menghasut orang lain adalah yang paling tidak terpuaskan.

Pasangan suami-istri yang sudah menikah puluhan tahun menemukan kenikmatan bercinta dengan pihak ketiga. Seorang yang paling sering melontarkan cerita sensual mungkin tidak pernah tahu caranya masturbasi. Seorang mahasiswa berprestasi bisa jadi adalah predator sejati. Dan sejatinya semua cerita ini bukan fiksi.

Jadi, saya tidak heran atau kurang lebih bisa membayangkan, perempuan seperti Fahira Idris (bukan nama sebenarnya) atau laki-laki seperti Felix Siauw (juga bukan nama sebenarnya) bisa jadi memiliki fantasi seksual yang liar dan amat spesifik.

Mereka yang berteriak atas nama binatang adalah yang paling manusia. Dan mereka yang berteriak atas nama manusia adalah yang paling binatang. Maka, serendah-rendahnya binatang adalah manusia! Karenanya, yang manakah yang harus diperkarakan dan dipenjarakan?

Ferena Debineva
Ferena Debineva
Pendiri dan Ketua Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.