Di satu sisi ada glorifikasi, di sisi lain ada serangan bertubi-tubi. Itulah yang mewarnai fenomena kemunculan Basuki Tjahaja Purnama di pentas politik Pemilihan Kepala Daaerah (Pilkada) DKI Jakarta.
Glorifikasi dilakukan oleh para pendukung fanatiknya, sedangkan serangan bertubi-tubi dilakukan oleh para pembencinya. Dan para pembenci Basuki sekarang punya organisasi tanpa bentuk yang disebut Abas (Asal Bukan Basuki). Para aktivis Abas punya kesibukan yang luar biasa, tiap hari ada saja yang mereka lakukan untuk menyerang Basuki.
Jika diklasifikasi, serangan terhadap Basuki ada tiga macam: pertama, menyangkut kebijakan; kedua, soal tuduhan korupsi; dan ketiga soal ras dan agama. Serangan-serangan ini, terutama disebarkan melalui media sosial dengan menampilkan tulisan-tulisan yang insinuatif dan penuh hasutan, di samping tentu saja melalui aksi-aksi nyata di lapangan.
Yang menyangkut kebijakan, misalnya, dengan merujuk pada fakta minimnya penyerapan anggaran belanja daerah (APBD) DKI Jakarta yang kemudian diarahkan pada kesimpulan bahwa Basuki tidak berhasil. Sejumlah hasil survei yang menunjukkan kepuasan publik terhadap kinerja Basuki dianggap sebagai pesanan untuk menutup-nutupi ketidakberhasilan. Itu yang pertama.
Kedua soal tuduhan korupsi. Meskipun sudah ada penjelasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang posisi Basuki pada kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, para aktivis Abas tidak mempercayainya dan tetap bersikukuh pada keyakinan keterlibatan Basuki sehingga mereka terus-menerus melakukan mobilisasi aksi yang menyasar pada KPK.
Pada Senin (4/4/2016), misalnya, mereka berbondong-bondong menuju kantor KPK di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Tujuannya mendesak agar komisi antirasuah ini segera menangkap Basuki. Tuduhan yang sesungguhnya sudah menjadi lagu lama yang terus diputar ulang dan bahkan direproduksi untuk ditawarkan kepada semua warga Jakarta agar bisa terpengaruh.
Lagu lama yang dimaksud adalah dengan merujuk temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa terdapat kesalahan prosedur dan merugikan negara hingga ratusan miliar dalam proses pengadaan lahan RS Sumber Waras.
Selain kasus RS Sumber Waras—pasca operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Muhammad Sanusi—yang juga diarahkan pada Basuki adalah kasus reklamasi pantai utara Jakarta. Kasus inilah yang mengantarkan Sanusi ke rutan KPK, yang juga menyeret Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, dan menyebabkan Bos Agung Sedayu Group, SugiantoKusuma alias Aguan, dan orang dekat Basuki, Sunny Tanuwijaya, dicekal (dicegah) KPK ke luar negeri.
Mungkin para aktivis Abas kesal karena, alih-alih menangkap Basuki, KPK malah menangkap Muhammad Sanusi yang nota bene salah satu tokoh yang dinominasikan untuk mengalahkan Basuki dalam Pilkada DKI Jakarta. Sanusi adalah Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta dari Partai Gerindra yang merupakan adik kandung Muhammad Taufik, Ketua Partai GerindraDKI Jakarta.
Yang menarik, salah satu misi Sanusi jika berhasil menduduki jabatan Gubernur DKI Jakarta adalah ingin memberlakukan syariat Islam di DKI Jakarta. Misi ini unik—untuk tidak dikatakan lucu—karena korupsi yang membuatnya ditangkap KPK merupakan tindakan haram yang sangat bertentangan dengan syariat Islam.
Dalam kasus reklamasi pantai utara Jakarta, Basuki dibawa-bawa lantaran dianggap menandatangani izin reklamasi. Padahal, yang benar Basuki hanya memperpanjang apa yang sudah dilakukan oleh Gubernur sebelumnya (sebelum Jokowi), yakni Fauzi Bowo.
Adapun suap yang menjerat Sanusi terkait dengan Rancangan Peraturan Daerah tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategi Pantai Jakarta Utara yang diajukan DPRD DKI Jakarta. Terutama pasal yang menyangkut kewajiban pengembang reklamasi, Basuki menginginkan 15%, sedangkan DPRD hanya 5%.
Ketiga, serangan paling gencar tentu saja menyangkut agama dan ras. Ayat-ayat al-Quran yang secara eksplisit melarang pengangkatan pemimpin kafir terus-menerus dieksploitasi dengan menafikan penafsiran-penafsiran kontekstual yang lebih melihat pada substansi makna kafir sebagai bentuk penyimpangan-penyimpangan kekuasaan. Artinya, pelarangan yang dimaksud sejatinya tidak berlaku bagi pemimpin yang sudah terbukti tidakmelakukan penyimpangan.
Sedangkan yang menyangkut ras, lebih diarahkan terutama pada karakter Basuki yang dianggap kasar dan sombong sehingga dianggap berpotensi memicu kebencian terhadap Cina (suku Tionghoa) yang di negeri ini sudah memiliki sejarah panjang. Tragedi kelam 8 Oktober 1740 yang membakar kurang lebih 6-7 ribu rumah sekaligus membantai penghuninya sehingga (diperkirakan) ratusan orang Tionghoa menjadi korban pun diputar ulang. Begitu juga dengan tragedi Mei 1998 yang juga dikabarkan membawa korban (tak terhitung) warga Tionghoa.
Di antara saksi-saksi sejarah yang merasa menjadi korban kebencian terhadap Tionghoa seperti Jaya Suprana dan Lius Sungkharisma pun bersuara keras mengingatkan Basuki agar berhenti dan mundur dari panggung politik yang sejatinya tidak memiliki alasan kuat selain dari adanya trauma (sindrom) yang justru seyogianya dilawan dengan membuktikan keberhasilan Basuki di panggung politik.
Efektifkah serangan bertubi pada Basuki? Yang terjadi malah sebaliknya. Gelombang simpati pada Basuki semakin tak terbendung. Militansi para pendukungnya pun semakin menguat sehingga kemungkinan Basuki memenangkan Pilkada Jakarta semakin membesar.
Kolom Terkait: