Sweeping atas simbol-simbol dan buku-buku kiri di Tanah Air bukanlah fenomena yang sepenuhnya mengejutkan. Bila ditilik lebih lanjut, razia yang diinisiasi aparat kepolisian dan militer ini merupakan salah satu simptom dari segugus tendensi anti-komunisme yang belakangan kembali mencuat, terutama pasca peredaran dua film dokumenter besutan Joshua Oppenheimer The Act of Killing (2012) dan The Look of Silence (2014).
Pemutaran dan diskusi film yang dilakukan beberapa komunitas, mahasiswa, dan aktivis gerakan dipaksa menemui ragam tentangan dari ormas-ormas intoleran yang fobia terhadap hal ihwal berbau kiri. Tendensi serupa juga muncul pada event-event yang dicap kiri setelahnya, untuk disebut, bedah buku Tan Malaka, Festival Belok Kiri, teater monolog Tan Malaka, pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta, pembubaran paksa Sekolah Marx, hingga wacana pemutaran ulang secara reguler film Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Pada serangkaian peristiwa tersebut, aktor-aktor yang berperan menjadi perusuh dilakoni kelompok yang itu-itu juga.
Dalam peristiwa-peristiwa awal, kita masih bisa sedikit menahan diri, atau bahkan menertawakannya. Kita bisa melihat ormas-ormas yang gemar membubarkan acara-acara bertendensi kiri—atau komunisme secara khusus—ini sebagai sekelompok massa yang mencoba tampil heroik. Dengan membela panji-panji agama dan negara, mereka kerap mengulang-ulang frasa menggelitik yang mengkhutbahkan “komunis itu pengkhianat” atau “komunis itu ateis” tanpa landasan pikir yang mencukupi.
Dengan kata lain, kita dapat melihat aksi-aksi tersebut sebagai dagelan kekanak-kanakan ala ormas yang malas berpikir. Fenomena yang cukup menghibur di tengah-tengah kehidupan yang begitu-begitu saja, meskipun tak jarang pula ubun-ubun kita dibuat mendidih oleh peristiwa ini.
Belakangan situasi ini menjadi semakin rumit, terkhusus semenjak keterlibatan aparat negara secara langsung dalam sweeping simbol dan buku-buku yang dicurigai mengandung ide-ide komunis. Turut sertanya institusi kepolisian dan militer dalam peristiwa itu menandakan bahwa sentimen anti-komunisme menjadi gejala yang perlu ditanggapi secara lebih serius. Terlepas dari benar atau tidaknya anasir-anasir kebangkitan komunisme yang kerap didongengkan untuk melegitimasi tindakan ini, rasa-rasanya situasi ini menjadi sukar untuk sekadar ditertawakan.
Seriusnya situasi ini dapat dilihat dari kasus-kasus yang muncul belakangan, di mana aparat negara mengambil peran yang lebih signifikan ketimbang orma-ormas. Aparat tak hanya menjadi kolaborator yang setia mendampingi ormas-ormas di kala sweeping berlangsung. Lebih dari itu, aparat negara juga memberi contoh kepada sayap-sayap paramiliternya tersebut, tentang bagaimana menghancurkan anasir-anasir komunisme secara lebih sistematis: dengan mempersempit ruang kemungkinan hidup komunisme sejak dalam pikiran.
Lampu kuning ini semakin tak bisa diabaikan lantaran aparat negara memiliki kuasa lebih ketimbang ormas-ormas. Aparat memiliki instrumen hukum legal-formal yang bisa ditegakkan atas nama kepentingan dan kekuasaan negara. Dalam momen tertentu, aparat negara juga memiliki legalitas untuk menggunakan “perkakas pengamanan” untuk menjaga “ketertiban.” Mereka berwenang untuk mengintimidasi, merampas, memenjarakan, atau mengambil opsi “tindakan paling akhir” yang diperlukan untuk “mengendalikan situasi.”
Bakal terlalu naif rasanya jika kita membayangkan kejadian serupa setengah abad lalu akan berulang. Tetapi, entah bagaimana, hal itu tetap saja mungkin terjadi. Selain itu, kita juga tak bisa mengesampingkan fakta bahwa militer kerap menjadi aktor dalam kudeta-kudeta politik yang terjadi di berbagai ruang sejarah tertentu—termasuk konon di Tanah Air setengah abad silam—yang menandakan potensi kedigdayaan institusi bersenjata ini.
Kita dapat membayangkan bahwa institusi militer merupakan, meminjam istilah Windu Jusuf, “negara dalam negara.” Penginisiasian sweeping kali ini menjadi salah satu contoh bagaimana otonomi “negara” tersebut dapat dibuktikan.
Dengan kondisi sedemikian rupa, kita dapat berspekulasi bahwa ketidakpastian inisiatif-inisiatif politik pemerintah terkait upaya rehabilitasi atas anasir-anasir komunisme, salah satunya bersinggungan dengan posisi tawar militer yang tak bisa dikerdilkan dalam konstelasi politik negara. Sebagian pendapat yang beredar sepertinya mengonfirmasi kemegahan kuasa politik institusi militer ini.
Gesekan-gesekan politik di tubuh internal korps berbaju loreng disebut sebagi faktor yang memunculkan sedimentasi proses-proses politik dan hukum pasca gelaran Simposium 65, dan terhadap anasir-anasir yang berkelindan dengan komunisme secara umum.
Di luar institusi kepolisian dan militer, peristiwa ini juga memperlihatkan bagaimana keterlibatan institusi pengadilan dan institusi pembuat hukum secara umum dalam pelembagaan sentimen anti-komunisme. Legalitas TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang melarang ajaran komunisme—kendati kerap dikonfrontasikan dengan amanat konstitusi yang menjamin kebebasan berpikir—menjadi bukti bagai mana proses pengadilan dikonstruksi berdasarkan rumusan hukum bernada anti-komunis.
Pada akhirnya, tak ada rujukan yang pasti dalam menjustifikasi putusan hukum terhadap “orang-orang tertuduh antek komunis.” Satu-satunya yang pasti ialah bahwa sentimen anti-komunisme telah menubuh dalam institusi pengadilan serta institusi pembuat hukum. Pada titik ini, samar-samar kita bisa melihat kontradiksi aturan hukum yang sepertinya sengaja dipelihara agar sisi fasistik hukum negara dapat dikaburkan.
Fungsi represi dan ideologi yang ditanampaksakan rezim Orde Baru terlihat begitu membekas dalam kerangka pikir lembaga-lembaga negara yang masih melihat komunisme sebagai ancaman kemanusiaan. Pergantian pundak kekuasaan, seperti yang digumamkan Althusser, tak serta merta bakal mempengaruhi aparatus negara secara signifikan, ia dapat bertahan hidup dalam tempaan peristiwa-peristiwa politik yang dilaluinya. Sensor vulgar terhadap anasir-anasir komunisme merupakan potret represi paling halus yang tak bisa dilepaskan dari pengaruh ideologis Orde Baru.
Skema seperti ini sepertinya akan terus berulang. Polisi dan militer turun gunung, orang-orang dituduh, ditangkap, diadili, lalu dipenjara atau dibebaskan. Begitu seterusnya hingga TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang melarang komunisme dicabut, atau keadilan ekonomi terpenuhi sehingga “komunisme” tak lagi dibutuhkan sama sekali.
Jejaring yang serba kompleks ini membuat sentimen anti-komunisme menjadi kurang patut untuk dianggap lucu, kendati sebetulnya godaan untuk menertawakan kecongkakan orang-orang ini sulit ditolak. Ia kerap kali muncul disaat bayangan atas spanduk-spanduk dan slogan-slogan itu hinggap di kepala. Sederet frasa “komunis itu seram,” “PKI organisasi terkutuk,” atau “komunis tidak cocok di Indonesia, sebagaimana Pancasila tidak cocok di Vietnam dan Korea Utara,” simple mengundang tawa, sesimpel kalimat-kalimat itu diucapkan dan diimani para milisi anti-komunis.
Tapi kita juga tak bisa menafikan sisi lain dari situasi ini. Bahwa perlu kiranya upaya-upaya untuk merehabilitasi paham yang kepalang berserakan ini dilakukan dengan lebih tekun. Blokade penggerudukan Front Pembela Islam (FPI) oleh sejumlah elemen mahasiswa untuk mengamankan kelas terakhir Sekolah Marx di kampus Institut Seni Budaya Bandung amat mungkin dijadikan pemantik gerakan resistensi serupa.