Sabtu, April 27, 2024

Selamat Datang, Daerah Istimewa Madura!

Seorang peserta mengarak pasangan sapi sonok (hias) saat festival Sapi Sonok seluruh Madura di Stadion Soenarto Hadiwidjojo, Pamekasan, Jatim, Minggu (25/10). Festival sapi hias tersebut merupakan rangkaian dari karapan sapi Piala Presiden. ANTARA FOTO/Saiful Bahri/aww/15.
Seorang peserta mengarak pasangan sapi sonok (hias) saat festival Sapi Sonok seluruh Madura di Stadion Soenarto Hadiwidjojo, Pamekasan, Jatim, Minggu (25/10). Festival sapi hias tersebut merupakan rangkaian dari karapan sapi Piala Presiden. ANTARA FOTO/Saiful Bahri/aww/15.

Madura, katanya, mau dijadikan provinsi. Isu ini santer berembus beberapa saat yang lalu. Spanduk-spanduk bertuliskan “Selamat Datang di Provinsi Madura” telah terpasang di beberapa titik di sepanjang jalan menuju Jembatan Suramadu. Di pojok bawah spanduk itu pun tertera kata-kata yang tak kalah semangatnya dengan slogan kemerdekaan: Provinsi Madura harga mati! Komitenya sudah dibikin juga, namanya Panitia Persiapan Pembentukan Provinsi Madura (P4M). Wow!

Sekarang tinggal tunggu pemerintah saja yang ketok palu. 10 November lalu adalah momen yang menarik. Pada Hari Pahlawan itu, Presiden Joko Widodo menyempatkan diri melawat ke Bangkalan, Madura, untuk meresmikan sejumlah kapal. Bertepatan dengan itu, P4M juga menggelar acara deklarasi terbentuknya Provinsi Madura di Gedung Ratoh Ebu.

Beberapa orang mungkin menyangka Jokowi akan menghadiri deklarasi tersebut mumpung ia berada di Bangkalan. Sayangnya tidak. Ia segera pergi untuk sebuah acara yang saya tak tahu apa dan di mana.

Padahal, momen ini merupakan saat yang tepat untuk Jokowi menyatakan dukungannya, meski sampai kini saya tak tahu ia setuju atau tidak. Kalau saya sendiri, sih, sepakat saja dengan terbentuknya Provinsi Madura. Bahkan, saya menganggap pemerintah seharusnya menjadikan Madura bukan hanya sebagai provinsi, melainkan suatu daerah istimewa.

Alasannya sederhana: Madura terlalu unik untuk sekadar dijadikan provinsi.

Menyitir apa yang dituliskan Edi AH Iyubenu, penulis yang mempunyai unsur desahan dalam nama tengahnya itu, orang Madura punya satu laku religius, yaitu tahlilan. Saya tambahkan, laku religius ini tentunya berkaitan dengan Islam tradisional yang mengakar kuat di sana. Bagaimana tidak? Guru dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) saja berasal dari Bangkalan, je. Mengakarnya NU di Madura tidak terlepas dari banyaknya pesantren di pulau tersebut.

Alfian dalam Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism saja mencatat bahwa persebaran Muhammadiyah di Madura pada 1920-an akhir terhalang dengan banyaknya pesantren dan sebuah organisasi yang baru saja berdiri: NU. Berapa jumlah anggota Muhammadiyah di Sumenep pada 1930? Hanya 116 orang, jumlah yang tidak seberapa dalam sebuah kabupaten yeng berpenduduk lebih dari setengah juta jiwa pada saat itu.

Pulau yang satu ini identitas kesantriannya begitu kentara. Pesantren tertua di Nusantara saja terdapat di Madura, namanya Jan Tampes, berdiri pada pertengahan abad ke-11. Keunikan pesantren ini bukan hanya pada ketuaannya saja. Sebab, diterjemahkan dalam bahasa mana pun, namanya tetap puitis: tempias hujan. Keren betul, kan? Jika pesantren ini masih eksis hingga sekarang, betapa bangganya kita menjadi salah seorang santrinya. Ketika ditanya oleh teman-teman di kampus soal asal sekolah kita, kita akan dengan sendu, sambil sedikit melankolis, berkata, “Saya dari Madrasah Aliyah Tempias Hujan, Mas.”

Belum cukup datanya? Saya tambahkan lagi. Dalam Koloniaal Verslag van 1888, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mencatat bahwa ada 2.212 pesantren tersebar di Pulau Madura, terbanyak dari seluruh karesidenan yang terdapat di Jawa. Jumlah tersebut mengalahkan Karesidenan Besuki yang jumlahnya 1.208 pesantren, Semarang yang 1.633, apalagi Banyumas yang hanya 134 saja.

Berdasarkan data historis tersebut, tentu tidak berlebihan jika kita beranggapan bahwa santri adalah jati diri orang Madura. Dan sebagai sebuah daerah istimewa dengan jati diri kesantrian, siapa yang lebih cocok memimpinnya selain kiai?

Ya, kiai. Karena jati dirinya sebagai santri itulah, orang Madura akan lebih taat kepada kiainya ketimbang, katakanlah, polisi. Hal ini dikuatkan oleh Ibu mertua saya yang pernah bilang, “Sebajingan-bajingannya orang Madura, Fa, kalau sama kiainya, pasti manut.” Dari kata-kata itulah, saya beranggapan bahwa figur kiai di Madura adalah seseorang yang dapat ditakuti sekaligus dicintai. Artinya, hal tersebut tidak sekadar mengamini doktrin Machiavellian, tetapi juga melengkapinya.

Saya mengusulkan kiai sebagai bukan tidak didukung dengan data-data yang ilmiah. Sebuah penelitian telah dibikin oleh Abdur Rozaki, judulnya Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater Sebagai Rezim Kembar di Madura. Buku ini secara garis besar berusaha memotret dua kekuatan sosial di Madura, yaitu kiai dan blater (barangkali bisa diartikan ‘jago’). Kiai berkiprah dalam ranah spiritualitas, sementara blater memperkuat karakter orang Madura untuk selalu membela harga diri. Untuk tatanan dan kontrol sosial yang lebih baik, tentu saja saya memilih kiai.

Tapi tunggu dulu, berapa banyak kiai yang ada di Madura? Siapa yang lebih pantas di antara mereka? Nah, di saat inilah, mekanisme politik mesti dipikirkan. Mentang-mentang daerah istimewa, tidak boleh seenaknya sendiri, dong! Harus ada satu sistem politik, yang dapat diejawantahkan oleh kaum Islam tradisional, soal pemilihan pemimpin dan pergantian kekuasaan. Pemilu tidak boleh ada untuk urusan kepemimpinan di Madura. Yang perlu adalah musyawarah kiai dalam satu forum layaknya bahtsul masa’il. Dalam forum itu, perwakilan kiai yang ditunjuk oleh masing-masing pesantren akan hadir. Di sana, mereka harus bermusyawarah mengenai siapa yang tepat memimpin Daerah Istimewa Madura.

Masa jabatannya? Lha, ini yang repot. Masalahnya, kiai itu status sosio-religius-kultural. Seseorang disebut kiai ya sampai selamanya. Kalau masuk ranah politik, status ini sebagai Gubernur Daerah Istimewa Madura harus ditinjau ulang. Artinya, masa jabatannya jangan terlalu sebentar layaknya gubernur-gubernur di provinsi yang lain, tetapi juga jangan seumur hidup seperti Sultan Yogyakarta.

Sekarang kita bicara masalah prospek. Ke depannya, jika Madura menjadi satu daerah istimewa dengan kiai sebagai pemimpinnya, satu aspek akan berkembang dengan betul-betul masif. Apa itu? Pariwisata spiritual. Selama ini wisata religius yang dilakukan pesantren-pesantren Jawa di Madura kebanyakan hanya berhenti di makam Syaikhona Kholil di Bangkalan saja. Kenapa tidak dibentangkan sampai ke arah timur? Di Sumenep saja masih ada Asta Tinggi dan Asta Gurang-Garing, dua makam yang patut diziarahi.

Perekonomian masyarakat akan makin mekar jika wisata-wisata religius di Madura dikembangkan potensinya. Pihak Provinsi Daerah Istimewa Madura nantinya, siapa tahu, juga bisa bikin paketan tur wisata. Misalnya, Paket Pesatren 1, Paket Pesantren 2, dan lain sebagainya.

Ini bukan semata-mata melakukan komersialisasi agama lho, ya? Ini namanya menyelam sambil meminum air. Para turis akan mendapat kepuasan batin dan spiritual, sementara pihak provinsi dapat mengoptimalkan sumber daya ekonomi mereka. Sebuah simbiosis mutualisme, suatu win-win solution. Sebab, pada masa kapitalisme lanjut ini, apa yang tidak bisa dijual sambil mengharap berkah?

Lha, wong minimarket-minimarket itu saja sudah hampir selalu menawarkan pada kita, dengan senyum yang setengah memaksa, “500-nya boleh untuk disumbangkan, Kak?”

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.