Jumat, Maret 29, 2024

Sekolah Sehari Penuh, Apakah Perlu?

Agung SS Widodo
Agung SS Widodo
Pengamat Pendidikan dan Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM
anak-sd
Sejumlah murid di SDN Simomulyo V, Surabaya, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Setelah dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy langsung mencuatkan wacana sekolah sehari penuh (full day school). Rencana kebijakan tersebut sontak memancing pro-kontra di masyarakat. Pasalnya, dengan situasi pendidikan yang masih belum kondusif sebagai akibat pergantian kurikulum, kebijakan sekolah sehari penuh menjadi wacana yang tidak populis.

Alih-alih menciptakan kualitas pendidikan yang lebih baik, jika tidak dilakukan melalui pengkajian mendalam, wacana tersebut sebaliknya justru akan semakin menambah sengkarut atas profesionalisme dan progresivitas pendidikan nasional.

Berdasarkan laporan tahunan  UNESCO Education for All Global Monitoring Report 2012, kualitas pendidikan di Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 120 negara di seluruh dunia. Sedangkan menurut Indeks Perkembangan Pendidikan (Education Development Index, EDI) Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 127 negara pada tahun 2011.

Data tersebut mennggambarkan bahwa kualitas pendidikan kita masih jauh tertinggal dari negara-negara lain. Seturut hal tersebut, dengan rendahnya kualitas pendidikan nasional secara langsung berdampak pada pembangunan kualitas sumber daya manusia. Dalam laporan Program Pembangunan PBB (2013), Indonesia menempati peringkat ke-121 dari 185 negara dalam survei Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan angka indeks 0,629.

Sistem pendidikan nasional memang harus segera dibenahi jika kita menghendaki adanya perbaikan kualitas, baik pada aspek kurikulum maupun pembangunan sumber daya manusia. Namun, pertanyaannya kemudian, benarkah kebijakan sekolah sehari penuh akan menjadi solusi atas problematika pendidikan kita?

Jawabannya tentu sangat situasional dan kontekstual, seiring dinamika penyelenggaraan pendidikan bangsa ini yang tentu tak semua bisa digeneralisasi atau diseragamkan.

Kita menyadari bahwa proses penyelenggaran kegiatan belajar di setiap sekolah maupun di setiap daerah tidak sama. Bagi daerah perkotaan di mana fasilitas (infrastruktur) sekolah sudah standar atau menunjang dan aksesibilitas demikian terjangkau, bisa dipastikan tidak ada persoalan dengan kebijakan sekolah sehari penuh.

Situasi tersebut tentu akan lain ceritanya jika melihat wilayah-wilayah di pedalaman dan tertinggal seperti di Papua, Kalimantan, dan Sulawesi. Bahkan kita tidak bisa menutup mata di Pulau Jawa pun masih banyak sekolah-sekolah yang jauh dari kata layak, belum lagi akses infrastruktur untuk menuju sekolah sangat tidak memadai.

Pokok-pokok persoalan ini harus menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan sekolah sehari penuh, yang bisa jadi justru kontraproduktif dengan tujuan pendidikan itu sendiri.

Persoalan berikutnya yang tidak boleh dilupakan adalah terkait kesiapan guru maupun struktur birokrasi sekolah untuk menyiapkan program-program pendidikan yang tidak menjenuhkan, karena anak didik akan berada disekolah tersebut selama sehari penuh.

Pertanyaannya, sanggupkah guru melakukan hal tersebut? Jika seorang guru masih dibebani dengan persoalan administrasi untuk memenuhi angka kredit point guna mengejar sertifikasi, bisa dipastikan dirinya tidak akan sanggup menyusun program-program peningkatan kualitas pendidikan yang memang dibutuhkan selama sekolah sehari penuh diberlakukan.

Secara sederhana, seorang guru dituntut untuk produktif, kreatif, dan menyemai anak didik secara maksimal.

Problematika pendidikan nasional atas bangsa ini hendaknya tidak diselesaikan dengan kebijakan-kebijakan mekanik yang hanya mengesankan sesuatu yang bagus di luarnya, namun dalam prosesnya jauh sekali dari kesan humanistik dan produktivitas yang mencerahkan. Ki Hadjar Dewantara, misalnya, telah mengingatkan bahwa anak-anak harus tumbuh sesuai dengan kodratnya sendiri, seorang pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat tersebut.

Pesan ini menandakan bahwa sekolah bukanlah satu-satunya tempat untuk menanamkan pendidikan, tetapi masih ada keluarga dan masyarakat yang memiliki peran dan tanggung jawab yang sama besarnya untuk memberikan pendidikan budi pekerti kepada seorang anak didik.

Maka, negara harus kembali melihat konteks pendidikan kita yang secara substantif tak bisa dilepaskan dari unsur kebudayaan. Untuk itu, kebijakan sekolah sehari penuh secara tegas telah menegasikan kebudayaan itu sendiri. Sebab, nilai dalam pendidikan secara makro justru banyak didapati dalam alam kebudayaan. Untuk mendapatkannya seorang anak didik harus belajar kepada keluarganya dan masyarakat.

Jadi, jelas bahwa persoalan pendidikan kita bukan sekadar pada konteks konigtif semata, namun yang lebih penting dari itu adalah membangun karakter serta kejiwaan yang dilandasi oleh budi pekerti, empati, kesantunan, kejujuran, dan keberanian.

Kunci keberhasilan pendidikan kita tidak lain dari adanya kebersamaan dan sinergitas antar elemen yang terlibat di dalamnya: negara, sekolah, dan masyarakat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memang memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan iklim pendidikan yang profesional, akuntabel, dan berdaya saing.

Karena itu, adanya pengambilan kebijakan yang mengarah pada pembentukan kualitas pendidikan yang berkarakter sesuai dengan jiwa Pancasila lebih penting diwujudkan bersama dibandingkan kebijakan yang bersifat operasional.

Agung SS Widodo
Agung SS Widodo
Pengamat Pendidikan dan Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.