Rabu, April 17, 2024

Menulis Sejarah Islam dari Pinggiran

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).

toleransiSejumlah umat Islam dan Katolik menyaksikan pertunjukan Tari Sufi pada “Jumpa Hati Perempuan Lintas Agama” di Ungaran, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (9/3). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.

Sejarah Islam itu ditulis dari perspektif imperialis. Pengaruh imperialisme dapat ditelisik dalam setiap lembaran sejarah yang menyajikan kemunculan dan perkembangan Islam. Inilah agama terakhir yang sempurna, yang diturunkan Tuhan untuk seluruh jagat raya. Penaklukan dan perluasan wilayah digambarkan sebagai karunia Ilahi, bukti kebenaran Islam. Para sejarawan Muslim menyebut ekspansi kekuasaan sebagai “pembukaan” (futuh), istilah yang mengingatkan kita pada slogan kaum imperialis Barat modern, “the white man’s burden.”

Kelengketan agenda imperialisme dalam narasi sejarah mudah dimengerti karena kitab-kitab sejarah Islam memang ditulis saat kekuasaan Muslim begitu dominan. Ibn Ishaq (wafat 767), misalnya, sejarawan paling awal yang karyanya sampai kepada kita sekarang, memang menulis karyanya untuk dipersembahkan kepada penguasa Abbasiyah.

Bagaimana jika sejarah ditulis dari perspektif kaum pinggiran, mereka yang ditaklukkan? Gambaran apa yang akan kita lihat?

Masalah Sumber

Sejak akhir 1970-an, sebenarnya sudah ada eksperimen intelektual untuk menulis sejarah Islam dari sumber-sumber yang ditulis oleh non-Muslim, terutama Yahudi dan Kristen. Patricia Crone dan Michael Cook menulis Hagarism and the Making of Islamic World (1977) yang menggetarkan dunia intelektual, karena mereka sama sekali mengabaikan sumber-sumber Muslim.

Saya sudah mendiskusikan kenapa Crone dan Cook menulis karya provokatif itu dalam Kontroversi Islam Awal (2015). Banyak sarjana menolak keras kesimpulan Hagarism, tapi diam-diam mereka mengagumi lompatan metodologisnya. Artinya, memang secara metodologis ada masalah serius soal akurasi sumber-sumber Muslim dilihat dari kritik historis.

Dua puluh tahun berikutnya, Robert Hoyland menerbitkan karyanya yang sangat ambisius, Seeing Islam as Others Saw It (1997). Buku ini merupakan survei cukup komprehensif atas tulisan tentang kemunculan Islam yang ditulis oleh orang Yahudi, Kristen, dan Majuzi dalam berbagai bahasa, termasuk Cina. Buku dengan angle yang lebih fokus ditulis oleh Stephen Shoemaker, yang hanya menyorot–sebagaimana judulnya–The Death of a Prophet (2011).

Baik Hoyland maupun Shoemaker melacak catatan-catatan yang berserakan dalam kurun waktu tiga abad pertama Islam, yang ditulis oleh non-Muslim. Tentu saja catatan tersebut tidak serta-merta bisa dikatakan lebih akurat dari sumber-sumber Muslim.

Lagi pula sejarah Islam yang disajikan Hoyland and Shoemaker itu tidak juga dapat dikatakan ditulis dari perspektif pinggiran. Sebagian besar tulisan-tulisan tersebut ditulis oleh mereka yang tidak berada di bawah kekuasaan Muslim, dan karena itu tidak merefleksikan kenyataan yang sebenarnya. Contoh bagus bagaimana sejarah Islam digambarkan oleh kaum pinggiran ialah karya Michael Penn, Envisioning Islam: Syriac Christians and the Early Muslim World (2015).

Sebagaimana terlihat dari judulnya, buku ini mendiskusikan pandangan kaum Kristen yang ditaklukkan penguasa Muslim dari sejak paruh kedua abad ke-7 hingga ke-9. Mereka memilih menulis reaksi mereka atas ekspansi Islam dalam bahasa Suryani (Syriac), yang merupakan lingua franca di kalangan Kristen saat itu. Hasilnya ialah potret Islam berbeda dari deskripsi imperialis Muslim.

Cairnya Identitas Keagamaan

Temuan Penn menguatkan tesis kesarjanaan revisionis yang saya diskusikan dalam Kontroversi Islam Awal. Yakni, bahwa formasi identitas ke-Muslim-an terjadi lebih perlahan daripada yang kita duga selama ini. Dalam literatur Suryani (Syriac literature), minimal hingga paruh kedua abad ke-8, para penakluk Arab itu tidak pernah disebut “Muslim” yang membawa agama distingtif bernama “Islam”. Istilah-istilah yang digunakan untuk merujuk kepada orang Arab ialah “tayyaye” (suku Arab), “sarqaye” (Saracen), “mhaggraye” (anak Hajar) dan “bnay ‘ishmael” atau “’ishmaelaye” (keturunan Isma’il).

Baru dalam Chronicle of Zuqnin yang ditulis tahun 775 (penulisnya tidak bisa dilacak) kata “mashlmane” (kaum Muslim) pertama kali muncul. Bisa dipastikan, sejak akhir abad ke-8, orang-orang Kristen yang hidup di bagian utara Arabia mulai melihat perbedaan keyakinan yang dibawa kaum Muslim, sebuah agama yang berbeda dari Kristen.

Kenyataannya, sumber-sumber Suryani menggambarkan kekhawatiran para pamimpin Kristen atas kaburnya batasan antar berbagai entitas keyakinan. Kita temukan banyak contoh di mana kaum Kristen dan Muslim menggunakan tempat ibadah yang sama, makan bersama, kawin silang dan barbaur dalam pergaulan. Maronite Chronicle yang bisa dilacak pada tahun 660 menceritakan Khalifah Mu’awiyah melaksanakan salat di Gereja Golgotha, kemudian di Gethsemane, dan di kuburan Maryam.

Ketika Hisyam bin Abdulmalik, khalifah ke-10 dari Dinasti Umayyah, memutuskan untuk mendirikan masjid di kota Rusafa di mana berdiri Gereja Basilika yang terkenal, dia memerintahkan arsiteknya supaya pintu masuk masjid berhadapan dengan halaman Gereja Basilika. Padahal, Basilika berada di posisi arah kiblat.

Dengan arsitektur seperti itu, jemaah masjid dan gereja saling berinteraksi dan menyaksikan pelaksanaan ibadah masing-masing. Juga diceritakan kedermawanan para penguasa Muslim mendanai pembangunan gereja dan biara Kristen.

Narasi-narasi tersebut sama sekali tidak mengesankan bahwa mereka datang untuk memaksakan agama, atau bahwa Islam datang untuk menghapus agama sebelumnya. Berdasarkan data itu, orang bisa saja berargumen bahwa Islam awal merepresentasikan agama toleran. Namun, kita tak mungkin berbicara konsep toleransi pada Abad Pertengahan sebagaimana kita pahami saat ini.

Bacaan alternatifnya ialah, dilihat dari perspektif pinggiran, minimal hingga pertengahan abad ke-8, Islam belum menjadi entitas keagamaan yang distingtif dari agama-agama sebelumnya.

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.