Dua puluh tahun lalu Indonesia pernah punya ide meningkatkan cadangan pangan dalam skala raksasa. Ide itu sejuta hektare sawah di kawasan gambut Kalimantan Tengah. Masyarakat sekitar menyebutnya Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare. Sejarah mencatat proyek itu jadi bencana lingkungan, sosial, dan budaya yang memerlukan upaya besar memulihkannya.
Kini, proyek pertanian lain diajukan, dalam skala jauh lebih besar. Sembilan kali lipat. Bagaimana keduanya diperbandingkan? Pertama, jelas yang menonjol adalah luasannya. Sejuta versus sembilan juta hektare punya perbedaan sangat besar.
Proyek-proyek perkebunan kelapa sawit punya luasan ribuan hingga puluhan ribu hektare. Proyek hutan tanaman industri seluas puluhan hingga ratusan ribu hektare. Kita tahu betapa proyek pertanian dan kehutanan skala seperti itu saja punya kompleksitas tinggi.
Yang pasti, kita belum berhasil mengelola proyek sejuta hektare–apalagi sembilan juta hektare. Bukannya pasti gagal, tentu butuh perencanaan ekstra hati-hati jika tak mau mengulang sejarah bencana.
Kedua, proyek sejuta hektare itu berada di satu hamparan. Kita memang punya wilayah-wilayah sejuta hektare sawah, kebun, atau hutan bisa dibangun. Namun, jelas kita tak punya sembilan juta hektare yang bisa dibuat sehamparan.
Jika sehamparan, sumber daya bisa difokuskan untuk berada di satu lokasi, meski sangat besar. Jika proyek itu tak berada dalam hamparan yang sama, sumber daya dan fokus harus dipecah- pecah. Dan itu membutuhkan perencanaan lebih detail.
Ketiga, cita-cita membuat sawah sejuta hektare dulu itu ditempatkan di atas sebuah ekosistem: hutan gambut. Kini, sembilan juta hektare pasti tak mungkin ditempatkan di satu ekosistem. Ada beragam ekosistem yang terpengaruh. Konsekuensinya, analisis dan pengelolaan dampak lingkungan proyek ini akan jauh lebih membutuhkan pendekatan komprehensif.
Ketika sebuah ekosistem dibuka dan terkait dengan ekosistem lain, maka kaitan dampak di antara keduanya harus dihitung cermat. Jika ekosistem bersifat multipel, kompleksitasnya benar-benar harus diperhitungkan dengan masak.
Keempat, proyek sejuta hektare dulu memindahkan banyak sekali penduduk. Pertama, penduduk yang semula tinggal di atas lokasi proyek. Mereka lalu menjadi transmigran lokal. Selain itu, tentu saja penduduk dari wilayah lain yang diharapkan menjadi petani padi di wilayah yang baru dibuka itu.
Hal yang sama akan terjadi di proyek baru ini, dengan penduduk yang jauh lebih banyak. Dengan pertumbuhan alami penduduk saja, bisa diduga akan ada lebih banyak penduduk asli per satuan luas lahan proyek yang perlu diajak berunding sebelum menjadi transmigran lokal. Sementara itu, jumlah penduduk yang akan dipindahkan dari tempat lain akan jauh lebih banyak lagi.
Hitungan secara kasar, proyek ini akan berpengaruh terhadap 4,5 juta keluarga petani, yang secara langsung akan berkaitan dengan hajat hidup 20 juta orang. Sama sekali tak mudah untuk mengelola harapan orang-orang dalam jumlah sebesar itu.
Kelima, dulu pembuatan sawah sejuta hektare dipimpin Departemen Pekerjaan Umum, lantaran pemerintah melihatnya sebagai pekerjaan fisik pencetakan sawah. Kemudian diserahkan ke departemen teknis, yakni Departemen Pertanian, setelah sawah itu tercetak. Kini, kesadaran bahwa hal ini sama sekali bukan sekadar pekerjaan teknis sangat tampak.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Badan Pertanahan Nasional tampak sangat menonjol di depan. Ini pertanda baik, namun juga membuat tantangan baru, yaitu tantangan koordinasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan kementerian baru, penggabungan dua kementerian, yang konon memiliki dua budaya organisasi amat berbeda.
Di situ kerumitannya sudah terjadi, apalagi menghitung hubungan dengan dua organisasi lain, dan pemangku kepentingan lain ketika proyek ini semakin dekat dengan eksekusi.
Seluruh perbandingan tersebut dibuat untuk menyatakan bahwa proyek ini hampir pasti gagal, karena kerumitan luar biasa yang menyertainya. Jika kita gagal membuat proyek pertanian seluas sejuta hektare 20 tahun lalu, bukannya tak ada harapan sekarang kita akan berhasil mewujudkan proyek yang sembilan kali lebih luas, dengan setidaknya lima perbandingan dan kompleksitas.
Jadi, proyek ini sama sekali tak akan mudah direncanakan dan dieksekusi. Butuh kehati-hatian luar biasa agar kita di masa depan tak sekadar melihat ke belakang dengan penyesalan mendalam. Kita punya pengetahuan dan keterampilan terkait dengan perlindungan (safeguard) lingkungan dan sosial, yang bisa menuntun dalam pekerjaan besar ini. Pengetahuan dan keterampilan itu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Banyak pakar di Indonesia yang kompeten mewujudkan keberhasilan proyek ini. Syaratnya, kerja mereka tidak direcoki aspek politis.