Sabtu, September 7, 2024

Sastra Sufistik dari Hamzah Fansuri hingga Abdul Hadi WM

Ahmad Gaus AF
Ahmad Gaus AF
Penulis dan editor, dosen bahasa dan budaya Swiss-German University (SGU), Tangerang; berkhidmat di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok.

Bicara mengenai sastra sufistik di Indonesia kontemporer tidak mungkin dilakukan tanpa menyebut nama Abdul Hadi WM. Sebab, setidaknya dalam setengah abad terakhir, dialah penyair dan sekaligus ahli sastra yang paling intens bergumul dengan genre sastra yang mengandung ajaran tasawuf tersebut. Abdul Hadi bukan hanya gigih mewacanakan kebangkitan sastra sufistik dalam esai-esainya yang dipublikasikan secara luas, namun juga memelopori penulisan puisi-puisi sufistik. Puisinya yang berjudul, Tuhan, Kita Begitu Dekat, disebut-sebut sebagai puncak dari puisi sufistiknya yang dimaksud.

Bukan tanpa alasan penyair kelahiran Sumenep, Madura 24 Juni 1946, ini ingin membangkitkan sastra sufi. Salah satunya bahwa sastra sufi merupakan mutiara yang terpendam baik di dunia Arab, Persia, maupun dunia Melayu. Abdul Hadi secara khusus mendalami syair-syair Hamzah Fansuri, pujangga Melayu terbesar abad ke-17 Masehi yang dikenal sebagai Jalaluddin Rumi-nya kepulauan Nusantara.

Bukan hanya mendalami, Abdul Hadi juga membela posisi Hamzah Fansuri yang pernah ditenggelamkan dalam sejarah karena ajaran-ajarannya yang dianggap sesat. Abdul Hadi menempatkan kembali Hamzah Fansuri dalam posisi terhormat sebagaimana layaknya, dan sekaligus memperkenalkan karya-karyanya ke publik, khususnya masyarakat sastra, agar mengenali sejarah dan akar sebagai sumber kreativitas.

Menurut Abdul Hadi, peranan Hamzah Fansuri dalam sejarah pemikiran di dunia Melayu bukan saja karena gagasan tasawufnya, tetapi juga karena karya-karya puisinya yang sangat indah dan mendalam. Hamzah Fansuri adalah pencipta pertama “syair Melayu” empat baris dengan pola sajak akhir a-a-a-a. Ia memasukkan ratusan kata-kata Arab, istilah-istilah konseptual dari al-Quran dan falsafah Islam ke dalam bahasa Melayu sehingga bahasa Melayu tampak seperti bahasa baru, bahasa intelektual yang dihormati karena dapat menampung gagasan-gagasan baru yang diperlukan pada zaman itu. Dari kalamnya lahir puisi-puisi agung yang belum pernah ditulis penyair manapun dalam bahasa Melayu sampai ketika itu. Berikut contoh kutipan dari syair-syair Hamzah Fansuri:

Hamzah miskin hina dan karam

Bermain mata dengan Rabbul ‘Alam

Selamnya sangat terlalu dalam

Seperti mayat sudah tertanam

 

Hamzah Fansuri anak dagang

Melenyapkan dirinya tiada sayang

Jika berenang tiada berbatang

Jika berlabuh pada tempat tiada berkarang

Hamzah Fansuri bukan saja perintis sastra sufistik Nusantara melainkan juga penghulu dari tradisi ini, dalam arti pengaruhnya sangat luas dan jauh hingga ke masa-masa perkembangan sastra berikutnya di kawasan Nusantara. Sepeninggal Hamzah Fansuri lahirlah seorang ulama sufi yang juga seorang sastrawan, yakni Syamsuddin As-Sumatrani. Syamsuddin juga banyak menyampaikan pemikirannya melalui syair. Semasa hidupnya, Syamsuddin adalah Syekhul Islam pada masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

Ketika Iskandar Tsani naik tahta pada 1637 M menggantikan Iskandar Muda, seorang ulama bernama Nuruddin Ar-Raniri diangkat menggantikan Syamsuddin. Sebagai ulama istana, Nuruddin memiliki otoritas penuh untuk menyeleksi paham-paham keagamaan yang berkembang. Dari sini lah masalah itu bermula. Ia memfatwakan bahwa ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani adalah sesat, karena itu pustaka negara dan lembaga-lembaga pendidikan harus disterilkan dari kitab-kitab mereka.

Menurut sejarawan Islam Malaysia Prof. Syed Naquib Al-Attas (1971), Nuruddin sebenarnya belum sempat mendalami karya-karya Hamzah Fansuri secara menyeluruh sebelum melahirkan pertentangannya, atau ada hal-hal lain yang berlatar-belakang politik maka ia menyerang Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani. Bukan itu saja, nama keduanya pun dihapus dalam sejarah perkembangan Islam di dunia Melayu.

Generasi Penerus

Lebih dua abad setelah masa Hamzah Fansuri, tercatat dua nama besar dalam tradisi sastra sufistik di dunia Melayu yakni Raja Ali Haji dan Abdullah bin Munsyi. Karya-karya sastra bercorak tasawuf kembali ditulis. Raja Ali Haji dikenal dengan karyanya Gurindam Dua Belas yang menjadi monument tersendiri dalam kesusastraan Melayu-Nusantara. Abdullah bin Munsyi adalah penaruh tonggak bahasa Melayu di Singapura.

Tradisi sastra sufi terus berlanjut. Pada awal abad ke-20 muncul nama Amir Hamzah (w. 1946), yang dikenal dengan sebutan Raja Penyair Pujangga Baru. Setelah era Pujangga Baru, lahir generasi sastrawan 1970-an yang menulis karya-karya mereka dalam genre sufistik, seperti Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, dan lain-lain. Dari deretan nama-nama tersebut, Abdul Hadi WM adalah sastrawan yang paling tekun dan serius memperkenalkan sastra sufistik dalam karya-karyanya, baik dalam bentuk puisi maupun esai sastra. Bahkan dialah yang disebut sebagai guru dari sastrawan genre tasawuf yang lahir belakangan.

Abdul Hadi WM telah menulis banyak karya yang mengangkat kembali khazanah kesufian dalam kesusastraan Melayu-Nusantara. Di antara karyanya yang sangat serius memperkenalkan kembali pelopor sastra sufistik, Hamzah Fansuri, adalah sebuah buku yang diangkat dari karya disertasinya di Universitas Sains Malaysia, berjudul Estetika Sastra Sufistik: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (1996).

Disertasi itu telah diterbitkan oleh Penerbit Paramadina dengan judul Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (2001).  Inilah karya yang cukup mendalam dan relatif tuntas menampilkan sosok dan karya-karya Hamzah Fansuri sekaligus mendudukkan Syeikh Barus tersebut sebagai perintis sastra sufistik dan pelopor lahirnya bentuk pengucapan baru dalam sastra sehingga mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa intelektual yang bermartabat.

Sebelumnya, Abdul Hadi W.M. juga menulis buku Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya yang diterbitkan oleh penerbit Mizan. Sebagai penyair, Abdul hadi W.M., tentu juga menulis puisi. Puisi-puisi sufistiknya telah terbit dalam antologi Tuhan, Kita Begitu Dekat, yang diterbitkan oleh Komodo Books (2013). Belum lama ini Abdul Hadi meluncurkan buku terbarunya berjudul Sastra Timur dalam Perspektif Sastra Bandingan: Melayu, Jawa, Cina, Persia, India (Komodo Books, 2021).

Buku setebal hampir 500 halaman itu sekali lagi menunjukkan tekadnya dalam menggali dan memperkenalkan khazanah dunia Timur yang kaya dengan aspek-aspek spiritual kepada dunia Barat yang gersang karena modernisme, hedonisme, dan pragmatisme. Luasnya wawasan Abdul Hadi dalam bidang-bidang sejarah, sastra, kebudayaan, dan filsafat, serta tajamnya analisis yang ia kemukakan dalam buku ini sungguh sulit dicari bandingannya. Dia adalah penyair sekaligus ilmuwan, sastrawan juga cendekiawan.

Abdul Hadi WM telah melanjutkan tradisi sastra sufistik Hamzah Fansuri dan sekaligus mengangkat nama penyair sufi tersebut yang pernah tenggelam berabad-abad lamanya. Memang pernah ada usaha untuk menghilangkan nama Hamzah Fansuri dalam sejarah Islam di dunia Melayu-Nusantara karena ajaran-ajarannya dianggap menyimpang. Karya-karyanya dibakar, para pengikutnya dipersekusi. Namun studi-studi belakangan telah menunjukkan bahwa persoalan tersebut ialah murni kasus politik, atau paling banter hanya kesalahpahaman.

Kebenaran tidak dapat dibungkam, walaupun orangnya dapat saja disingkirkan. Sejarah akan memancarkan cahaya dari mutiara-mutiara yang terpendam dalam lembaran-lembarannya. Sastra sufistik telah menunjukkan perannya dalam perkembangan Islam di kawasan Melayu-Nusantara. Generasi sastrawan dalam genre ini juga telah lahir. Fondasi teoritisnya telah diletakkan dengan kuat sekali oleh Abdul Hadi WM.

Jika melihat fenomena puisi Jalaluddin Rumi yang belakangan banyak diminati, maka dapat diduga bahwa puisi sufistik memiliki masa depan yang cerah, dan akan tetap memberi sumbangan berharga dalam perkembangan Islam di kawasan dunia Melayu-Nusantara, sebagaimana diharapkan oleh maestro penyair sufi kita, Prof Dr Abdul Hadi WM.

Selamat ulang tahun, Pak Hadi, semoga sehat selalu dan terus berkarya.

Ahmad Gaus AF
Ahmad Gaus AF
Penulis dan editor, dosen bahasa dan budaya Swiss-German University (SGU), Tangerang; berkhidmat di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.