Bagi penulis, Pak Haidar Bagir adalah guru. Beliau juga merupakan idola. Penulis belajar melalui buku, tulisan, video, sosial media, dan forum diskusi secara langsung dengan beliau.
Haidar Bagir lahir pada 20 Februari 1957 di Solo. Beliau lulusan S-1 Jurusan Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung (1982). Kemudian meraih S-2 dari Pusat Studi Timur Tengah, Harvard University, Amerika Serikat pada tahun 1992. Setelah itu melanjutkan S-3 di Jurusan Filsafat Universitas Indonesia dengan riset selama setahun (2000-2001) di Departemen Sejarah dan Filsafat Sains, Indiana University, Bloomington, AS.
Selama beberapa tahun berturut-turut, nama penerima tiga beasiswa Fulbright ini masuk dalam daftar 500 Most Influential Muslim (The Royal Islamic Strategic Studies Center, 2011).
Beliau juga menjadi Presiden Direktur Mizan Grup, Ketua Yayasan Manusia Indonesia (Yasmin) yang bergerak di bidang pemberdayaan kaum dhuafa, dan Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang bergerak di bidang pendidikan dengan beberapa cabang sekolah unggulan di dalamnya.
Bersama beberapa tokoh, seperti Prof. Komaruddin Hidayat, Prof. Mahfud MD, dan Abdillah Toha, Haidar Bagir mendeklarasikan Gerakan Islam Cinta. Gerakan Islam Cinta merupakan sebuah upaya untuk menekankan aspek dan spiritualitas Islam kepada masyarakat Muslim.
Sebagai seorang cendekia, salah satu fokus kajian beliau adalah tentang Rumi. Pada 2015, beliau menulis buku Belajar Hidup dari Rumi. Disusul buku Mereguk Cinta Rumi pada 2016. Kedua buku tersebut berisi puisi Rumi yang beliau syarah secara ringkas. Kemudian pada Ramadan tahun lalu, beliau membuat acara Tadarus Rumi.
Latar belakang beliau membuat acara tersebut adalah kedua buku yang diminati masyarakat – Belajar Hidup dari Rumi bahkan sampai 5-6 kali cetak ulang – namun susah dipahami, meski puisi Rumi telah diterjemahkan dengan bahasa yang populer. Melalui acara tersebut, beliau menjelaskan tentang puisi Rumi dengan syarah yang lebih panjang dan jelas.
Tadarus sebulan tersebut disiarkan secara langsung melalui akun Facebook Mizan Wacana dan diunggah di akun Youtube Pesantren Tasawuf Virtual Nur al-Wala. Yang terbaru beliau menulis buku Dari Allah Menuju Allah: Belajar Tasawuf Melalui Rumi. Buku tersebut terbit Februari lalu dan sangat diminati masyarakat.
Rumi, nama lengkapnya Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasan al-Khattabi al-Balkhi. Beliau lahir di Balkh (sekarang Afghanistan) pada 6 Rabiul Awwal 604 Hijriah, bertepatan dengan 30 September 1207 Masehi. Ayahnya bernama Bahauddin Walad. Menurut silsilah masih keturunan Abu Bakar. Sementara ibunya berasal dari kerajaan Khwarazm.
Kita tahu bahwa Rumi adalah seorang sufi penyair. Bahkan Rumi adalah seorang sufi penyair terbesar sepanjang sejarah. Begitu dahsyat syair Rumi menangkap ajaran spiritual ketuhanan. Sehingga banyak orang menyebut masterpiece-nya, Matsnawi sebagai “Al-Qur’an dalam bahasa Persia”.
Inti dari tasawuf Rumi dan tasawuf itu sendiri ada di puisi Sirnalah Dalam Seruan.
“Paduka”, kata Daud, “karna Kau tak butuh kami, kenapa Kaucipta dua dunia ini?”.
Sang Hakikat menjawab: “Wahai tawanan waktu …
Dulu Aku perbendaharaan-rahasia
kebaikan dan kedermawanan,
Kurindu perbendaharaan ini dikenali,
maka kucipta cermin: …
Mukanya yang cemerlang, hati;
punggungnya yang gelap, dunia.
Punggungnya kan memesonamu
jika tak pernah kaulihat mukanya.
Pernahkah ada yang membuat cermin
dari lumpur dan jerami?
Maka sapulah lumpur dan jerami itu,
sebilah cermin pun kan tersingkap …
Ingatlah Tuhan sebanyak-banyaknya
hingga kau terlupakan.
Biarkan penyeru dan Yang Diseru
musnah dalam Seruan.
Rumi memulai puisi tersebut dengan dialog antara Nabi Daud dengan Allah SWT (Sang Hakikat). Nabi Daud bertanya, “Paduka, karena Kau tak butuh kami, kenapa Kau cipta dua dunia ini?”.
Dua dunia maksdunya adalah dunia fisik dan dunia ruhani. Allah SWT menjawab: “Wahai tawanan waktu… “. Tawanan waktu menunjukkan bahwa manusia, meski sesungguhnya berasal dari Allah SWT, meski hakikatnya bersifat ruhani, namun cenderung terikat oleh sesuatu yang bersifat duniawi.
Dulu Aku perbendaharaan-rahasia kebaikan dan kedermawanan, Kurindu perbendaharaan ini dikenali, maka Kucipta cermin. Kalimat tersebut mengacu kepada sebuah hadis qudsi “kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbatu an u’rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi ‘arafuni – Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.
Di dalam hadis qudsi yang lain Allah SWT mengatakan, “Aku ingin dikenali sebagai yang Pengasih, Penyayang, Maha Pengampun, Maha Penutup Aib”.
Mukanya yang cemerlang, hati; punggungnya yang gelap, dunia. Muka cermin adalah bagian yang bening. Sedangkan punggung cermin, gelap. Punggungnya kan memesonamu jika tak pernah kaulihat mukanya.
Manusia sering terpesona oleh hal-hal yang sebenarnya gelap, yang menjadi hijab bagi pengenalan akan hakikat. Hal-hal tersebut adalah kesenangan duniawi. Nafsu mendorong kita untuk menyibukkan diri dan menghabiskan waktu dengan hal-hal tersebut. Padahal, sebenarnya hakikat, pencerahan, dan kebahagiaan ada di dalam hati kita yang di dalamnya Allah SWT bertajalli. Dalam sebuah hadis, Allah SWT berfirman, “Langit dan bumi tidak mampu menampungKu. Yang mampu menampungKu adalah hati orang mukmin”.
Pernahkah ada yang membuat cermin dari lumpur dan jerami? Mak sapulah lumpur dan jerami itu, sebilah cermin pun kan tersingkap. Rasulullah SAW berkata, “Setiap orang mukmin melakukan maksiat, di dalam hatinya muncul bintik hitam.
Semakin sering ia melakukan maksiat, semakin banyak pula bintik hitam tersebut”. Manusia harus menakhlukkan nafsunya dan mencegah dari berbuat maksiat agar hatinya tetap bening. Karena hati memang diciptakan bening. Bila terdapat kotoran, sapulah dengan taubat dan berbuat baik. Bila hati bening, kita bisa melihat keindahan Allah SWT di dalamnya.
Ingatlah Tuhan sebanyak-banyaknya hingga kau terlupakan. Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah SWT tidak menciptakan dua rongga di dalam hati manusia. Hanya ada satu rongga di dalam hati. Mau diisi Tuhan atau maksiat?
Bila diisi maksiat, hati kita akan gelap. Bila hati kita bersihkan, maka kita akan mampu menangkap tajalli Allah SWT. Ittaqillaha haitsu maa kunta. Selalulah sadar bahwa Allah SWT ada dan mengawasi kita di manapun berada. Kalau sampai kita lupa, kata Rasulullah SAW, “wa atbi’issayyiatil hasanata tamhuha – bila kita lalai, dan berbuat maksiat, maka kituliah dengan perbuatan baik agar dapat melebur keburukan yang kita lakukan”.
Hingga kau terlupakan. Hingga ego sudah kita taklukkan. Diri kita usahakan musnah, ego kita musnah. Bila kita sudah bisa memusnahkan diri kita, ego kita, maka yang tinggal adalah Allah SWT. Itulah yang disebut fana filLaah. Biarkan penyeru dan Yang Diseru musnah dalam Seruan.