Romantisisme dapat dikatakan sebagai suatu aliran yang meragukan atau memberontak pada segala sesuatu yang bersifat mapan, pasti, dan teratur yang menjadi dasar pemikiran aliran klasik, yaitu aliran yang memuja pada akal seperti yang disemboyankan oleh Rene Descartes: cogito ego sum (aku berpikir, karena itu aku ada).
Kalau kaum klasik segala sesuatu dipertimbangkan dengan akal budi dan ikut merasa bertanggung jawab pada masyarakat, sebaliknya kaum romantik berpendapat bahwa karya sastra merupakan ungkapan perasaan yang tidak terikat, bebas dan bertanggung jawab pada diri sendiri. Kaum romantik percaya bahwa dibandingkan dengan akal pikiran, perasaan jauh lebih jujur, tidak berbohong, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain atau masyarakat.
Bagi mereka, kebenaran tidak lagi berada di akal pikiran tetapi lebih pada perasaan atau jiwa yang menurut Hawthorne secara implisit dalam The Scarlet Letter terdiri atas tiga hal, yaitu naluri, hati nurani, dan emosi.
Secara keseluruhan perasaan atau jiwa memerlukan beberapa kebutuhan yang harus dipenuhi, antara lain kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang, penghargaan, rasa sukses, satu kekuatan pembimbing atau pengendali, dan rasa kebebasan. Yang menjadi masalah adalah kebutuhan rasa kebebasan karena sering perasaan ini bertentangan dengan moral yang dibenarkan oleh masyarakat. Akibatnya timbul ketegangan antara kehendak merdeka dan keterikatan individu dengan masyarakat.
Hal itu tentu saja menimbulkan penderitaan. Keadaan semacam ini pada akhirnya dipertanyakan oleh kaum romantik. Apa sebenarnya eksistensi manusia atau makna hidup manusia karena mereka selalu dihadapkan pada penderitaan dan diputuskan proses hidup ini dengan kematian. Kaum romantik terus menerus tidak habis-habisnya mengupas dan merenungkan tentang makna hidup sampai di alam mistik karena memang rambahan romantik tidak terbatas. Mereka terbang ke dunia abstrak karena dunia yang nyata terlalu sempit.
Kaum romantik tidak peduli apakah karya mereka dapat dinikmati oleh orang lain atau tidak. Yang penting mereka bebas melepaskan dan mengekspresikan apa yang mereka rasakan tanpa dibebani pesan-pesan untuk masyarakat. Unsur-unsur non rasional yaitu imajinasi, keindahan, kejeniusan sedikit demi sedikit mulai menggeser unsur-unsur rasional.
Gejala-gejala itu mulai tampak pada sekitar tahun 1740 yang dikenal sebagai periode pra-romantik yang menitikberatkan pengungkapan perasaan. Dalam perkembangannya unsur-unsur tersebut banyak terkait erat dengan segala sesuatu yang berbau kesedihan, mengerikan, dan menakutkan, karena kaum romantik melihat bahwa hidup itu sebenarnya penderitaan.
Dengan menitikberatkan pada perasaan maka spontanitas, kejujuran dan kepolosan merupakan unsur yang penting dalam romantisisme. Akibatnya pengikut aliran ini mulai melihat kepalsuan masyarakat, manusia dan budaya kota, dan menyadari keaslian, kejujuran dan kepolosan alam. Nilai-nilai budaya yang sederhana dan primitif lebih dihargai.
Penemuan bahwa alam itu murni menimbulkan gagasan bahwa alam bukan obyek yang diatur dan dikuasai manusia tetapi justru sebaliknya alam merupakan subyek yang mempunyai hukum dan aturan sendiri. Alam tidak jauh berbeda dengan manusia yang mempunyai suasana yang berganti-ganti.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran itu maka pengikut aliran ini berpendapat bahwa sebaiknya manusia hidup kembali menuju ke alam yang artinya kembali ke kehidupan yang sederhana, jauh dari kehidupan yang penuh dengan kepalsuan dan kepura-puraan.
Menitikberatkan pada rasa berarti menitikberatkan pada “aku.” Pemusatan aku berarti pemberian formasi lebih kepada pribadi-pribadi atau individu. Akibatnya segala sesuatu yang erat kaitannya dengan aku termasuk di dalamnya pengalaman, imajinasi, dan pengamatan pribadi sangat dihargai.
Mengenai hal itu Wordsworth, penyair Inggris, mengatakan bahwa “poetry is the spontaneous overflow of the spirit” (puisi adalah aliran jiwa yang spontan). Ini berarti bahwa bukan lagi alam itu sendiri yang digambarkan tetapi alamlah yang membangkitkan suasana hati. Kedudukan alam dan manusia sejajar, alam adalah sesuatu yang mandiri dan bukan hanya obyek untuk diatur dan dikuasai oleh manusia. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau terjadi ketegangan antara alam nyata di satu sisi dan impian di pihak lain.
Pemujaan pada aku yang pada mulanya menitikberatkan pada perasaan. Secara tidak langsung juga memberikan wadah pada akal pikiran untuk berpikir bebas, sehingga tidak mengherankan, tampak pemikiran-pemikiran yang diwarnai bermacam-macam unsur, antara lain pengamatan, imajinasi, dan pengalaman pribadi yang kadang-kadang sukar untuk diterima secara akal.
Acapkali pengungkapan antara kenyataan dengan sisi dunia lain yang tidak terlihat berbaur menjadi satu. Timbul pikiran-pikiran yang dianggap menyimpang dari norma-norma yang ada. Tetapi bagi pengikut romantik hal tersebut merupakan kebenaran karena apa yang dilihat dan dirasakan langsung terekspresikan, tidak ditutup-tutupi dan disingkirkan.
Zaman Romantik Sastra Amerika berlangsung dari tahun 1810-1865. Romantisisme di Amerika, seperti di tempat lainnya, memberikan dampaknya tidak hanya di dunia seni saja, tetapi juga dalam sosial budaya seperti misalnya aktivitas-aktivitas revolusioner untuk kebebasan politik dan hak-hak individu, humanitarian reform (abolisme), feminisme, gerakan keagamaan (Unitarianisme dan Universalisme, labor reform (Knights of Labor) dan eksperimen ekonomi dalam kehidupan bersama (Brook Farm dan New Harmony).
Sedangkan ciri-ciri secara umum gerakan romantik dalam sastra Amerika adalah sentimentalisme (Charlotte Temple), primitivisme dan pemujaan pada noble savage (Hiawatta), pemujaan pada kecantikan alami dan kesederhanaan hidup (Emerson dan Thoreau), introspeksi (Poe, Thoreau), idealisme masyarakat yang tidak digerogoti peradaban modern (Whittier, Cooper), tentang masa lalu (Irving, Hawthorne), tentang tempat yang terpencil (Melville, Bayard Taylor). Misteri (Poe), individualisme (Emerson, Thoreau), inovasi teknik penulisan (prosody-nya Whitman), humanitarianisme (Uncle Tom’s Cabin), roman sejarah (Simss, Cooper), legenda rakyat (Evangeline).
Tema-tema pokok kesusastraan Amerika pada zaman Romantisisme antara lain alienation (keterasingan), solitude (kesendirian), nature (alam), natural (alamiah), impulse (impuls/gerak hati), dan unconscious and dream (ketidaksadaran dan mimpi).
Gerakan Romantisisme yang paling jelas adalah Transendentalisme yang berpusat di Concord pada tahun 1836-1880. Gerakan ini merupakan reaksi rasionalisme pada abad ke-18, filsafat skeptis Locke, dan kekolotan Calvinisme New England. Gerakan ini dikenal sebagai Transendentalisme yang berasal dari Jerman dan Inggris, dengan tambahan filsafat Oriental, dan Furisme Perancis, dan berkembang pesat di Amerika.
Gerakan itu dimulai oleh publikasi Emerson dengan judul Nature (1836). Gerakan ini terbatas di New England, sekitar Boston dan Concord. Di dalamnya terdiri dari orang-orang yang menonjol dan intelektual. Nama transendentalis sendiri meminjam dari nama gerakan yang berangkat dari pikiran pokok Immanuel Kant. Bagi Emerson dan Thoreau ajaran Kant diperoleh lewat tulisan Coleridge dan tulisan Calyle, dan dari karya-karya Wordsworth, Ode on Intimation of Immortaliy.
Berangkat dari pemikiran keterbatasan kekuatan akal, Kant melihat kebutuhan manusia akan prinsip-prinsip dasar sebagai pedoman, yaitu antara lain, Tuhan, kebebasan, dan kehidupan yang kekal. Komunikasi atau hubungan erat dengan alam semesta menimbulkan transendental yang kemudian di Amerika disebut Transendentalisme. Aliran ini diprakarsai unitarianisme yang melibatkan beberapa pendeta unitarian sebagai reaksi pada puritanisme.
Unitarianisme menolak otoritas pendeta, dan menegaskan hak individu untuk berpikir dan mempercayai apa yang diinginkan. Transendantalisme memberi penekanan pada insting dan mistis. Transendentalisme percaya pada kesucian jiwa individu yang muncul dari kemampuannya berkomunikasi secara langsung dengan kebenaran universal atau kesadaran manusia akan kapasitasnya memahami kebenaran secara intuitif. Aliran ini membentuk kelompok bernama Brook Farm.
Pada periode ini kesusastraan di Amerika mulai bangkit untuk mencari identitas sastra Amerika. Pada periode ini karya sastra Amerika lebih menekankan hakikat individu dan mulai mengabaikan konvensi dan tradisi masyarakat.
Perasaan lebih berperan daripada pikiran sehingga hal-hal yang di luar jangkauan manusia merupakan salah satu unsur yang hadir dalam sastra romantik. Pribadi manusia diungkapkan secara utuh menurut kodrat dan martabatnya untuk memilih dan melakukan sesuatu yang dikehendaki. Banyak karya besar muncul pada periode ini, antara lain, The Scarlet Letter yang ditulis oleh Nathaniel Hawthorne.