Saat jamuan makan malam di rumah teman Kristen, seorang ibu menuturkan pengalaman hidupnya sebagai seorang Kristiani. Dengan penuh keyakinan, dia memandang salib sebagai bukti sempurna betapa Tuhan itu maha kasih dan pengampun. Saliblah yang menjadi penuntun hidupnya menghadapi gelombang suka dan duka, melewati terang hari dan gelap malam. Hingga kini, katanya, salib menjadi simbol penting dalam hidupnya, sebagai petunjuk menjalani hidup secara disiplin, tulus, dan penuh pengorbanan.
Tak ada yang bertanya, apakah yang dimaksud itu salib yang menempel di ruang tamu, atau yang bersemayam di dalam dadanya. Bagi banyak orang Kristen, keduanya—yang bersifat fisik dan simbolik—tak bisa dipisahkan.
Secara deskriptif, salib menggambarkan keimanan Kristen par excellence. Banyak peristiwa yang menjadi fondasi keimanan Kristen terkait dengan salib. Kematian Yesus. Pengorbanan untuk menyelamatkan manusia. Dari salib terungkap dosa dan bagaimana menyucikannya di hati. Peristiwa sebelum dan sesudah penyaliban diabadikan dalam kebaktian Ekaristi. Secara sederhana bisa dikatakan, tak ada Kristen tanpa penyaliban.
Semua itu menjelaskan kenapa salib menjadi simbol agama Kristen yang diakui paling luas. Salib bukan hanya ditemui di Gereja dan di rumah, tapi juga dalam karya-karya seni. Salib juga menjadi obyek dedikasi dalam arsitektur bangunan, lukisan, ukiran, patung, puisi, sastra dan seterusnya.
Bukan Sekadar Kayu
Kenapa salib sedemikian penting bagi umat Kristiani? Di bagian akhir tulis ini akan dijelaskan sejarah kecintaan bahkan pemujaan kepada salib dan kontroversi yang mengiringinya. Untuk sementara, pertanyaan itu bisa dijawab: Karena salib lebih dari sekadar kayu. Ia telah menjadi apa yang disebut Mircea Eliade, ahli studi agama-agama, sebagai “hierophany” (penampakan Ilahi). Dari bahasa Yunani, hiero-, “suci”, dan phainein, “memperlihatkan”.
Seperti diyakini ibu dalam jamuan makan malam itu: Salib, baginya, merepresentasikan kasih-sayang dan pengampunan Tuhan secara sempurna. Ia menjadi semacam lambang kebaikan, cara berintrospeksi dan mengakui keterbatasan manusiawi, serta—di atas segala—bagaimana meneladani Yesus (Imitatio Christi).
Eliade memahami agama dengan menggunakan dua kategori, yakni sacred dan profane. Tidak mudah mendefinisikan dua kategori tersebut. Eliade sendiri hanya berkata, sacred berarti bukan profane. Namun demikian, yang menjadi kunci dalam konsepsi Eliade ialah hierophany, yakni ketika yang sacred termanifes pada benda-benda yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi lebih dari sekadar benda.
Selain salib, contoh lain ialah Ka’bah. Bangunan berbentuk kubus, dikonstruksi oleh tangan manusia dari bahan-bahan yang profane: tanah, batu, semen, kemudian dibungkus dengan kain. Apakah ia sekadar bangunan biasa bentuk kubus? Bagi orang Islam, tidak. Ia menjadi kiblat dalam salat, pusat berputar saat tawaf haji.
Masih ingatkah kata-kata Umar bin Khattab, sahabat Nabi Muhammad dan khalifah kedua, terkait batu hitam (hajar aswad), yang menempel di dinding Ka’bah? Itu memang batu hitam! Tapi, jemaah haji berebutan menciumnya. Umar enggan melakukannya jika bukan karena ia hendak meniru Nabi.
Manifestasi hierophanies mengambil bentuk berbeda-beda antara satu agama dan agama lain. Makanya, jangan mengolok-olok bentuk venerasi atau pemujaan dalam suatu agama. Sebab, masing-masing agama memiliki aspek heirophany-nya sendiri. Jika orang Muslim sulit memahami cara Kristen memperlakukan salib, bayangkan bagaimana kiranya orang Kristen memandang kaum Muslim berputar-putar mengelilingi Ka’bah dan berebut mencium batu hitam.
Kenapa salib? Bukankah salib itu simbol penderitaan? Yesus mati disalib. Memang, banyak paradoks dalam agama. Bagaimana mungkin salib yang merupakan instrumen kematian Yesus (saat itu penyaliban merupakan bentuk hukuman yang paling kejam), dalam perkembangannya justru dijadikan sarana pemujaan. Demikian juga Ka’bah yang di zaman pra-Islam menjadi pusat penyembahan orang-orang jahiliyah, tapi dalam perjalanan waktu menjadi tempat paling suci bagi Islam.
Sejarah Panjang
Bagaimana salib menjadi obyek pengagungan dan pemujaan dalam Kristen merupakan proses yang kompleks dan punya sejarah panjang, serta tak sepi dari kontroversi. Literatur paling awal, mungkin, bisa dilacak pada St. Paulus sendiri yang memaknai salib sebagai kekuasaan Tuhan. Dalam suratnya kepada Jemaat di Galatia (sekarang di Turki), Paulus menulis: “Aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia.”
Di situ tampak salib menjadi semacam metafor kabar gembira, bahkan membentuk keyakinan kerigmatik Paulus. Kesaksian tentang Yesus dan injil. Ia merupakan simbol kekuatan di tengah persekusi yang dialami pengikut Yesus.
Paulus dan juga generasi Kristen berikutnya merespons kelompok-kelompok (terutama Yahudi) yang memandang kematian di tiang salib amat tercela. Karya apologetik Justin atau Irenaeus (dari abad kedua) menegaskan bahwa keselamatan manusia (bahkan seluruh alam) hanya melalui Yesus dan salibnya.
Kelompok Gnostik memahami salib dan penyaliban Yesus secara berbeda. Mereka menolak Yesus disalib secara fisik, melainkan hanya dipertampakkan demikian. (Sejumlah sarjana berpendapat, posisi al-Qur’an tentang penyaliban Isa menyerupai pandangan ini, dikenal dengan paham docetic.). Mereka memahami salib secara kosmik, bukan benda fisik.
Sejak saat itu berkembang tafsir esoterik atas salib. Lebih jauh, salib dipahami bukan sebagai obyek, melainkan entitas yang hidup. Seiring dengan itu, muncul pandangan tentang “salib cahaya”, yang berbeda dari salib kayu yang digunakan untuk menyalib Yesus. Tentu saja, konsep “salib cahaya” ini dimaksudkan untuk menolak pengagungan atas salib kayu.
Pembelaan terhadap salib menguat. Banyak literatur Kristen awal yang berbicara kekuatan supernatural salib. Pada abad ketiga, Oregan menulis: “Apakah yang paling ditakuti setan? Tak ada keraguan: Salibnya Yesus!”
Raja Konstantin meyakini, dan diyakini, meraih kemenangan dalam peperangan karena membawa salib. Apalagi, saat itu, relik salib Golgotha yang digunakan menyalib Yesus ditemukan. Cerita legenda mengaitkan penemuan itu dengan Helena, ibunda Konstantin. Penemuan tersebut digunakan untuk “menghantam” kelompok yang menolak salib fisik, karena kenyataannya Yesus memang disalib.
Sejak abad kelima, venerasi salib meluas ke berbagai bidang. Salib mengalami transformasi dari obyek yang menakutkan menjadi simbol harapan dan keselamatan. Kenyataan ini berkontribusi terhadap berkembangnya ikonografi dalam Kristen, yang belakangan menyulut kontroversi sengit. Sebagian kalangan, termasuk dari kalangan Kristen sendiri seperti Augustine, menganggap pengagungan salib sudah melewati batas.
Dari luar Kristen, terutama Yahudi, muncul kritik lebih keras. Umat Kristiani dituduh menyembah salib, dan karena itu menuhankan berhala. Karya-karya apologetik Kristen banyak merekam “serangan” kaum Yahudi terkait salib tersebut.
Sebagai pembelaan, misalnya, tokoh-tokoh Kristen berargumen bahwa mereka menghormati Yesus yang mati di salib, bukan salib itu sendiri. “Ketika kalian melihat umat Kristiani mengagungkan salib,” kata Leontius dari Ciprus, “ketahuilah mereka mengagungkan Yesus yang disalib, bukan kayunya.”
Kalangan Kristen apologis balik menuduh Yahudi juga mengagungkan benda-benda tertentu, seperti tabut perjanjian (ark of the covenant), loh batu, atau gulungan kitab Taurat. Bagi mereka, salib merupakan kitab terbuka untuk mengingatkan dan mengaitkan umat Kristiani pada Tuhan.
Demikianlah, saling menuduh—apalagi mengolok-olok—akan kembali pada dirinya sendiri.
Kolom terkait
Ceramah Salib Somad dan Pentingnya Pemahaman Antar-Iman
“Agama-Agama Ibrahim”, Makhluk Apakah Itu?
Yesus, Tuhan Kaum Muslim Juga? [Refleksi Natal dari Seorang Mukmin]
Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir
Siapakah Orang Kafir Itu? Telaah Kronologi dan Semantik Al-Qur’an