Saya sedang menonton rekaman video pertemuan antara dua habib muda, Bahar bin Smith, Hanif al-Athos dan beberapa orang perwakilan Instagram (IG) ketika sebuah pesan Whatsapp masuk ke telepon pintar saya. Saya menghentikan sejenak tayangan video itu dan membuka pesan yang berupa sebuah tautan berita dari BBC. Isinya tentang Sakdiyah Ma’ruf yang baru saja terpilih sebagai salah satu dari 100 perempuan dunia paling inspiratif dan berpengaruh versi kantor berita Inggris itu.
Saya membacanya dan saya kutipkan sebagian secara persis di sini. Sakdiyah disebut sebagai “perempuan komedian tunggal pertama dari Indonesia” yang menggunakan komedi sebagai “cara untuk menentang ekstremisme Islam dan kekerasan terhadap perempuan.” Sebelumnya, dalam wawancara 2015 dengan BBC News Indonesia, soal “wajah radikal dan moderat peranakan Arab Indonesia”, Sakdiyah sering menyuarakan kegelisahannya terhadap sikap radikal yang ditunjukkan sebagian warga keturunan Arab di Indonesia.
“Di masa post reformasi, kita menghadapi minoritas keturunan Arab yang suaranya keras, termasuk kelompok radikal dan fundamentalis,” kata Sakdiyah saat itu.
Lalu saya melanjutkan menonton video. Dalam kunjungan ke kantor IG di Jakarta itu, Habib Bahar bin Smith dan Habib Hanif al-Athos yang didampingi Novel Bamukmin memprotes pemblokiran akun mereka. Habib Hanif al-Athos yang mendapat kesempatan pertama untuk berbicara, mengemukakan rasa herannya atas penonaktifan akun mereka. Ia menuduh IG secara sistematis memblokir semua postingan yang menyangkut dirinya, Habib Bahar bin Smith, dan juga Imam Besar mereka Habib Rizieq Shihab.
Pemblokiran itu bahkan juga berlaku atas foto wajah mereka, meskipun tidak ada caption apa pun di sana. Dengan nada bercanda, menantu Habib Rizieq Shihab itu mengajukan pertanyaan retorik, “Apakah wajah kami ini menyeramkan?”. Pihak IG merespons dengan dingin. Mereka tidak tertawa. Saya terbahak.
Saya tergelak karena melihat paradoks yang muncul: dua orang habib muda yang selama ini sangat nyaring meneriakkan “perjuangan Islam melawan musuh-musuhnya”, tiba-tiba, masih lengkap dengan sorban dan jubahnya, “bersilaturahmi” ke kantor sebuah perusahaan swasta asing non-muslim.
Kedua habib itu berharap IG segera mengaktifkan lagi akun mereka yang sudah memiliki ratusan ribu followers. “Dalam sehari kami bisa berceramah di 15 tempat, Instagram kami gunakan untuk menyebarkan jadwal ceramah agar umat bisa mengikuti,” kata Habib Bahar bin Smith.
Dan saat pertanyaan “Apakah wajah kami ini menyeramkan?” itu diajukan, pikiran saya langsung melayang ke Sakdiyah Ma’ruf. Saya bayangkan, jika ia berada di sana, dengan tangkas penerima anugerah Vaclav Havel itu akan memekik, “Habib ini benar! Kami tidak pernah berbuat apa-apa kecuali menyerang dan merusak beberapa tempat hiburan malam, kami hanya beberapa kali terlibat dalam bentrokan, kami hanya sesekali berurusan dengan polisi. Jadi, apa masalahnya sehingga akun kami diblokir?”
“Tidak ada masalah,” saya menjawab dalam hati atas pertanyaan Sakdiyah Ma’ruf imajiner itu. Saya hanya berpikir bahwa hari-hari ini merupakan saat paling ruwet dalam sejarah eksistensi keturunan Arab di Indonesia.
Sejak kemunculan Habib Rizieq Shihab (lengkap dengan sepak terjang “Amar Makruf Nahi Munkar” dan slogan NKRI Bersyariah-nya), berlanjut dengan gerakan 212 yang mengantarkan Anies Baswedan ke kursi gubernur, banyak orang (setidaknya saya) merasakan bahwa mayoritas keturunan Arab di Indonesia bergerak ke dalam satu kubu: Islamisme. Dan kelompok Islamis itu (dalam terminologi politik biasa disebut dengan Islam kanan), pada realitas politik mutakhir di Indonesia, berkoalisi dengan salah satu kubu capres-cawapres.
Saya tidak bermaksud merepotkan Anda dengan meminta Anda menilai sendiri apakah Habib Rizieq Shihab itu sebaiknya digolongkan sebagai Islam radikal atau moderat, tapi saya benar-benar sedang tidak bergairah untuk membahasnya. Lagi pula, saya percaya itu bukanlah satu tugas yang terlalu sulit.
Terlepas dari persoalan itu, keterlibatan Habib Rizieq Shihab dalam hiruk-pikuk politik di Indonesia, khususnya pada Pilkada DKI 2017 yang panas akibat bercampurnya bara rasial dan agama, serta Pilpres 2019 yang tak terlepas dari isu-isu yang sama, akhirnya menyeret etnisitasnya ke dalam kobaran api kontestasi politik itu. Ujaran-ujaran rasial berseliweran di media sosial.
Serangan bernada rasis terhadap pendiri FPI itu sebenarnya sudah terjadi jauh sebelumnya. Kalimat-kalimat pelecehan terhadap etnis Arab, sering menyertai kecaman yang dilontarkan oleh para penentangnya.
Tapi saat itu Habib Rizieq Shihab boleh dibilang beraksi seorang diri. Keadaan berubah sejak Anies Baswedan datang ke markas FPI di Petamburan menjelang pemilihan gubernur. Di sana ia membanggakan keturunan Arab sebagai satu-satunya etnis yang sudah menyatakan kesetiaannya kepada Republik Indonesia bahkan sebelum negara ini terwujud.
Di luar benar atau tidak benarnya sejarah itu, yang mengherankan adalah bagaimana seorang Anies Baswedan yang fasih berbicara tentang “Tenun Kebangsaan”, tiba-tiba menonjol-nonjolkan heroisme golongannya sendiri.
Dan pernyataan yang terkesan berupaya mengglorifikasi proses integrasi etnis keturunan Arab ke dalam negara bangsa Indonesia itu, ia nyatakan di tengah-tengah memanasnya situasi politik Pilkada DKI. Anies Baswedan sedang bertarung melawan Ahok, seorang etnis Tionghoa yang tengah dirundung “kasus al-Maidah”.
Akibatnya, rivalitas antara etnis keturunan Arab dan Tionghoa seperti ikut mengiringi kontestasi kekuasaan itu. Kelak, serangan terhadap Anies Baswedan yang dilancarkan oleh para penentangnya, sering kali diekspresikan dengan panggilan yang bersifat mengolok-olok etnis sang gubernur terpilih. Rasisme semacam itu bahkan dilancarkan oleh orang-orang yang pernah secara keras mengecam serangan bernada rasis terhadap Ahok.
Baru-baru ini seorang kawan menulis status di Facebook bahwa sikap anti-Arab yang ditunjukkan oleh sebagian masyarakat, tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Kelakuan ulama etnis keturunan Arab di Indonesia yang selalu membuat onar dan bertutur kata kasar, merupakan penyebabnya. Ini serupa dengan orang yang mengatakan bahwa wajar sebagian masyarakat menjadi anti-Cina, sebab mereka terlampau menguasai ekonomi dan menyuburkan suap di Indonesia.
Atau seperti yang diceritakan Edgar Keret melalui salah satu tulisannya dalam buku The Seven Good Years. Penulis Israel itu mengisahkan pengalamannya bertemu dengan orang yang masih menyisakan pembenaran atas rasisme. Dalam obrolan santai seusai acara festival sastra di Jerman, seorang aktor setempat yang sebelumnya membacakan karya-karya Keret mengatakan bahwa anti-Semit adalah hal buruk, “Tetapi, Anda tidak bisa mengelak bahwa kelakuan orang Yahudi, yang tidak bisa ditoleransi sepanjang sejarah, juga ikut membantu mengipasi api tersebut.”
Saya kira pemikiran-pemikiran seperti itu bukanlah sesuatu yang pantas untuk dirayakan. Rasisme, tak semestinya diberi pembenaran, baik penuh maupun setengahnya.
Yang bisa disalahkan dan dibenarkan adalah perbuatan, bukan ras. Begitu pula dalam kasus Habib Bahar bin Smith dan Habib Hanif al-Athos. Kedua habib yang dianggap sebagai penerus Habib Rizieq Shihab dan sedang dielu-elukan oleh banyak orang dari komunitas keturunan Arab itu, diblokir IG bukan karena wajah etnis mereka, melainkan lantaran ceramah-ceramah mereka.
Dan sekarang sedang ramai kasus ceramah Habib Bahar bin Smith yang dinilai menghina presiden Jokowi dengan kata-kata di luar kepatutan. Maka saya berharap Sakdiyah Ma’ruf akan lebih sering tampil di depan publik, menyampaikan humor-humor cerdasnya.