Dalam tulisan sebelumnya di laman Geotimes (13 Juni 2020), “Sains, Saintis, dan Vaksin Korona”, kami fokus menyoroti polemik antara Goenawan Mohamad (GM) dan AS Laksana (ASL) tentang sains dan apa jalan keluar yang mesti diambil oleh kedua cendekiawan tersebut.
Tapi kali ini fokusnya kami geser. Polemik Hamid Basyaib (HB) dan GM juga penting untuk ditanggapi. Semua yang mengikuti polemik soal sains ini mengetahui bahwa dalam menanggapi GM, HB sampai menelurkan enam seri tulisan. Dari tulisan-tulisannya itu, HB – seperti halnya ASL – memuja sains dengan segala pesonanya.
Bedanya, argumen-argumen HB terlihat jauh lebih mentereng ketimbang ASL. HB dengan komprehensif berhasil mengulas capaian yang sudah diberikan oleh sains. Banyak nama beken yang disebut HB untuk memperkuat argumennya, dan salah satu yang paling penting adalah Raymond “Ray” Kurzweil, yang mendambakan terciptanya manusia hibrid (gabungan fisik biologis dan perangkat-perangkat teknologis).
Manusia hybrid dambaan Kurzweil ini, hemat kami, sudah cukup menunjukkan kekuatan dari sains itu sendiri. Karenanya tak heran HB mengkritik sikap negatif GM atas sains. Kata HB, “Cukup mengherankan bahwa sebagai pemikir yang punya minat dan keprihatinan besar pada begitu banyak bidang, …. ia sangat kurang peduli –jika bukan cenderung merendahkan—perkembangan mutakhir di bidang sains…..”.
Padahal, HB kembali menyindir, “filsafat sudah mati” [misalnya dikatakan oleh Stephen Hawking seperti dikutip Goenawan], tentu itu artinya kekuatan eksplanasi dan intelektual filsafat sudah pudar, semakin jauh tertinggal dari kekuatan sains, yang ditopang oleh metodologi yang terus disempurnakan.
Meski begitu, tanggapan balik GM tak kalah tajam. Seperti saat merespons ASL, GM tetap mengandalkan amunisi filsafatnya untuk menusuk balik HB. Dengan menyitir argumen Karlina Supeli, GM dalam artikelnya, “Scientia? Sapienta? Sains dan Atheisme Baru”, menunjukkan “Kebenaran Ilmiah dalam Teologi dan Filsafat”. Satu bagian dari argumen Karlina yang penting menurut GM adalah pengertian dari apa itu ”“nalar” dan “pikiran” — dan perubahan maknanya dari masa ke masa, dari bahasa ke bahasa.
Nalar, kata Karlina, bersifat diskursif dan analitik, dan bekerja dengan tenang, dingin, berjarak dari emosi dan nafsu, dan “tidak pandang bulu”. Tak kurang penting, GM juga meminjam kata-kata Karlina Supelli, “Nalar dapat menjadi silet yang tajam untuk mencukur irasionalitas.” Tampak, dengan nalar manusia melahirkan hasil pikiran yang “universal”, “objektif”, “tajam” dan “terang-jernih”. Dari sini GM menyimpulkan, dengan prasarana “nalar” manusia melahirkan dan mengembangkan sains. Dengan kata lain, dari dan dengan penalaranlah dasar sains dibangun.
Pukulan GM terhadap HB, dalam pandangan kami, sudah tepat sasaran. Namun sayangnya, GM tidak mengelaborasi lebih jauh penjelasan nalar yang dimaksud, sebab nalar pun dalam filsafat memiliki sifat ganda: objektif dan instrumental. Dalam konteks inilah GM perlu untuk ditanggapi. Setelah selesai menanggapi GM, kami juga akan jadikan persoalan nalar ini untuk memberikan pertanyaan kepada HB.
Tanggapan Terhadap GM
Bicara soal persinggungan nalar dan sains berarti bicara soal pemikiran Barat di abad ke-20. Sebab, di saat orang-orang seakan tak henti “mendewakan” sains di abad itu, dan siap mempertaruhkan segalanya demi kemajuan iptek, tak jarang kita jumpai usaha-usaha “mengebiri” peran nalar (Mohammed ‘Abed al-Jabiri, 1997).
Kecenderungan saintisme yang sesungguhnya mulai menjamur di penghujung abad ke-19 ini, menurut al-Jabiri, seakan menandai awal dimaklumkannya perang melawan nalar. Para filsuf berlomba menciptakan senjata ampuh untuk menghabisi musuh yang diyakini sebagai dalang kemunduran bangsa Eropa itu.
Nietzsche, misalnya, mengumbar kritik-kritik pedas terhadap moralitas dan metafisika yang berujung pada “penghancuran nalar”. Begitu pula Henry Bergson, filsuf “spiritual” Prancis itu. Dengan konsep intuisinya, Bergson seakan hendak menonaktifkan fungsi akal dari tugas epistemologinya (Mohammed ‘Abed al-Jabiri, 1997).
Tapi pukulan paling telak, kata al-Jabiri, datang dari kubu “positivisme logis”. Prinsip verifikasi inderawi telah digunakan kubu itu untuk melucuti nalar dari status epistemologinya. Hanya saja – al-Jabiri meneruskan – yang masih menjadi tanda tanya besar, nalar manakah yang disepakati untuk “diberangus” itu?
Di sini sayangnya GM tidak sampai pada apa yang dipertanyakan oleh al-Jabiri. Padahal pertanyaan itu penting diajukan untuk menunjukkan batasan sains. GM sebaliknya malah menunjukkan peran nalar dalam melahirkan dan mengembangkan sains. Itu artinya GM hanya menyinggung sifat nalar yang objektif, dan ini justru memperkuat peran penting sains dan kebenaran dari argumen HB.
Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan itu, al-Jabiri lalu mengajak kita untuk memencet tombol mesin waktu demi menengok kembali ke belakang, menuju ke Jerman di warsa 1940-an. Di era ini kita akan dipertemukan dengan aliran filsafat yang banyak diminati oleh mereka yang tertarik dengan pemikiran teori kritis, yakni Frankfurt School (FS). Pendirinya adalah Marx Horkheimer dan Theodor Adorno. Titik tolak ajaran FS adalah kritik terhadap apa yang mereka sebut sebagai “nalar instrumental”.
Istilah ini memang ditelaah secara rinci oleh para pemikir FS di dalam karya-karyanya, beberapa di antaranya yang paling penting: Dialectic of Enlightenment dari Theodore Adorno dan Max Horkheimer, Eclipse of Reason dari Max Horkheimer, dan One Dimensional Man dari Herbert Marcuse.
Horkheimer, misalnya, mengatakan bahwa nalar instrumental adalah potensi berpikir abstrak yang ada pada setiap manusia. Nalar ini sangat subyektif dan hanya mengabdi pada metode kerjanya tanpa pernah sedikit pun menaruh perhatian terhadap baik-buruknya obyek pengetahuan. Karena itulah ia disebut “instrumental”. Statusnya hanya sebagai alat. Merujuk pada status ini, penemuan-penemuan besar, hampir dipastikan, tidak pernah dihadirkan oleh nalar instrumental. Edward de Bono meyakini itu. Katanya, tidak mungkin roda itu diciptakan melalui jalur logika.
Jadi nalar instrumental hanya tertarik dengan maksud-maksud praktis, ia memisahkan fakta dan nilai. Ia tertarik dengan menemukan bagaimana mengerjakan sesuatu, bukan dengan apa yang seharusnya dikerjakan. Ilmu pengetahuan bisa memberikan kita pengetahuan untuk menghasilkan pesawat tanpa awak (Drone). Tapi jika nalar instrumental yang dikedepankan, ilmu pengetahuan jadinya tidak mempersoalkan apakah Drone itu digunakan untuk fotografi atau untuk membunuh manusia demi kepentingan militer.
Pesawat tanpa awak merupakan inovasi yang lahir dari kemajuan sains, produk nalar. Tapi melalui Drone itu pula kita akan mengetahui mengapa fungsi nalar juga bisa menjadi sangat problematis. Laporan The Bureau of Investigative Journalism (TBIJ) pada 2015 menunjukkannya dengan sangat baik. Laporan itu memaparkan tentang implikasi kemanusiaan yang ditimbulkan oleh penggunaan Drone secara instrumental bagi kepentingan militer Amerika Serikat (AS).
Menurut paparan organisasi non profit yang berbasis di London itu, tak kurang dari 3.989 orang tewas akibat 421serangan pesawat tanpa awak AS. Celakanya di antara 3000an lebih korban tersebut, terdapat 965 warga sipil dan 207 anak yang terbunuh. Yang terluka mencapai angka 1.783 orang. Sementara yang menjadi target utamanya (anggota Al Qaeda), yang terbunuh justru jumlahnya lebih sedikit: 84 orang. Jumlah korban tersebut didasari pada 51 kali serangan pesawat tanpa awak pada era pemerintahan Bush dan 370 kali serangan pesawat tanpa awak pada pemerintahan Obama.
Data yang dilaporkan oleh TBIJ ini sesungguhnya mengonfirmasi pernyataan mendiang sosiolog kenamaan asal Jerman, Ulrich Beck tentang bahaya penggunaan teknologi canggih untuk kepentingan militer.
Dalam bukunya yang paling berpengaruh, Risk Society: Towards a New Modernity (1986), Beck mengatakan bahwa “teknologi” yang merupakan salah satu capaian manusia yang paling membanggakan telah menciptakan risiko baru, seperti perang nuklir, perubahan iklim, dll.. Teknologi, tegas Beck, meski menciptakan bentuk baru dari modernitas, ikut membawa serta risiko di dalamnya. Tak terkecuali dalam hal ini adalah risiko penggunaan Drone untuk kepentingan militer.
Memang, tak lama setelah Beck memperingatkan bahaya teknologi di dalam bukunya itu, kecelakaan nuklir terburuk di dunia terjadi pada 26 April 1986, di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobyl yang terletak di Uni Soviet di dekat Pripyat, Ukraina. Akibat insiden ini, partikel radioaktif dalam jumlah besar tersebar ke atmosfer di seluruh kawasan Uni Soviet bagian barat dan Eropa. Bencana nuklir ini merupakan kecelakaan yang digolongkan dalam level 7 pada Skala Kejadian Nuklir Internasional.
Namun peringatan Beck ini hanya menyinggung dampak dari penggunaan teknologinya saja tanpa sama sekali memperhatikan bagaimana hal itu bisa memengaruhi agen-agen kekuasaan atau para pembuat kebijakan negara yang berdaulat bertindak. Di era teknologi yang mulai merobotik ini, tindakan para agen kekuasaan itu bisa menciptakan apa yang diistilahkan oleh Francois Debrix dan Alexander Barder dalam bukunya Beyond Biopolitics: Theory, Violence, and Horror in World Politics (2011) sebagai agonal sovereignty (kedaulatan pembawa nestapa) bagi umat manusia atau kebencian terhadap kemanusiaan.
Kebencian terhadap kemanusiaan yang menjadi ciri utama kedaulatan pembawa nestapa ini bisa dijelaskan lebih jauh dengan meningkatnya ketertarikan para agen-agen kekuasaan yang berperang dewasa ini pada teknologi-teknologi kematian. Dan pesawat tanpa awak menjadi contoh terbaiknya. Kita tahu bahwa pesawat-pesawat intai pemangsa tanpa awak ini bisa melacak sekaligus membunuh dengan sedikit atau sama sekali tanpa campur tangan moral atau politis dari pikiran dan emosi manusia.
Terkait itu, maka dapat dikatakan bahwa pesawat-pesawat militer tanpa awak (di udara, barangkali tidak lama lagi di darat atau di lautan) ini sama sekali tidak memiliki kapasitas manusiawi untuk menilai kapan kekerasan dapat dianggap membahayakan atau tidak. Meskipun pesawat-pesawat pengintai tersebut dikendalikan oleh seorang “awak” di markas besar militer yang tempatnya berada jauh dari tempat sasaran, namun tetap saja pesawat tanpa awak memiliki keterbatasan-keterbatasan (Debrix & Barder, 2011).
Dengan kemampuannya yang terbatas, pesawat-pesawat tanpa awak tersebut tentu saja tidak memiliki kapasitas untuk bereaksi, merespons, atau berimprovisasi (termasuk mengubah arah serangan atau menahan diri untuk tidak menyerang). Tetapi karena pesawat tanpa awak ini dianggap bisa membawa sebuah misi untuk melakukan penghancuran dan pembunuhan terhadap target yang disasar, ia dijadikan senjata untuk kepentingan militer AS.
Menurut Peter Warren Singer dalam bukunya Wired for War: The Robotic Revolutions and Conflict in the 21st Century (2009), “misi itu dimulai tidak lama setelah serangan ke Menara Kembar World Trade Center di New York City (11/9/2001), ketika angkatan militer AS mulai secara aktif memburu Osama Bin Laden di Afganistan. Dari situ, muncul ide untuk mempersenjatai pesawat tanpa awak dengan memasang rudal dipandu-laser di sayap pesawat.”
Sejak saat itulah pesawat tanpa awak berubah menjadi mesin dehumanisasi. Menurunkan nilai-nilai kemanusiaan yang timbul akibat dampak negatif pesawat tanpa awak yang dipersenjatai. Contohnya adalah insiden yang terjadi di daerah perbatasan antara Afganistan dan Pakistan pada 21 Februari 2010. Pada waktu itu, pesawat tanpa awak AS yang berniat mengejar dan menangkap “para pemberontak” ternyata menyerang warga sipil, membantai sebagian besar perempuan dan anak-anak di Afganistan.
Dalam insiden lain, 13 September 2015, AS juga pernah menggunakan pesawat tanpa awak dalam operasi militer di Provinsi Nangahar, Afganistan Timur. Serangan tersebut menargetkan militan Taliban yang sedang mengendarai mobil. Namun, dua warga sipil yang justru terluka akibat serangan udara tersebut. Pada insiden berikutnya di waktu yang hampir bersamaan, otoritas Afganistan juga mengungkapkan setidaknya 32 orang kehilangan nyawa dan tiga orang lainnya mengalami luka-luka setelah pesawat tanpa awak AS menyerang area Gharak di Ahmedabad.
Pada April 2019 – Amerika juga mengakui bahwa pihaknya telah menewaskan korban sipil dalam operasi pesawat tanpa awak di Somalia. Laporan Amnesty International, kelompok hak asasi manusia internasional itu, menunjukkan 14 warga sipil tewas dalam lima serangan terpisah di Somalia.
Itu artinya, penggunaan teknologi oleh agen-agen politik (kekuasaan) bernalar instrumental hanya akan membuat teknologi kehilangan nilainya. Dus, sebagai akibatnya menciptakan horor kemanusiaan. Manusia tidak lebih berharga ketimbang tujuan perang itu sendiri. Tujuan dari mesin perang berdaulat pembawa nestapa (drone) ini pada prinsipnya digunakan hanya sebagai “alat” untuk mengesahkan kekerasan destruktif.
Demikianlah nalar instrumental bekerja. Seandainya saja GM menggunakan perspektif nalar instrumental ini saat memukul argumen HB, maka kami tidak akan perlu repot-repot menuliskan tanggapan terhadapnya di dalam artikel ini.
Pertanyaan untuk HB
Setelah mengupas persoalan nalar dalam menanggapi GM di atas, kami juga ingin melemparkan persoalan ini kepada HB dalam bentuk pertanyaan. Kita tahu bahwa HB begitu mendambakan manusia hybrid karena keyakinannya pada proyeksi Raymond Kurzweil.
Kurzweil sendiri memang memprediksi bahwa di masa depan, manusia akan menjadi cerdas secara artifisial. Katanya lagi, manusia akan menjadi hibrid di tahun 2030an atau 2040an. Ketika itu terjadi, otak kita akan terhubung langsung ke “cloud computing”, di mana akan ada ribuan komputer, dan komputer-komputer itu akan meningkatkan kecerdasan pada otak kita. Kurzweil mengatakan otak manusia akan terhubung melalui nanobot – robot kecil yang terbuat dari untaian DNA.
Semakin besar dan kompleks “cloud computing”, semakin maju pemikiran kita. Pada saat kita mencapai akhir 2030an atau awal 2040an, Kurzweil percaya bahwa pemikiran kita tidak lagi berciri biologis, tapi hibrid.
Kurzweil, yang dikenal sebagai salah seorang penemu terkemuka di dunia, telah meramalkan seperti apa masa depan nantinya. Di tahun 1990an, misalnya, ia telah membuat 147 prediksi untuk tahun 2009. Pada 2010, ia lalu meninjau kembali prediksinya, dan 86% di antaranya benar. Dia memberi nilai “B” untuk dirinya sendiri. Prediksi yang benar itu termasuk prediksi tentang orang-orang yang akan menggunakan komputer portabel di tahun 2009. Kurzweil juga memprediksi bahwa kita akan memiliki mobil swakemudi (self-driving cars) pada 2009. Menurutnya, prediksi itu tidak sepenuhnya salah, hanya saja teknologi tersebut belum digunakan secara umum.
Dari gambaran ringkas itu, menjadi wajar jika HB terlihat begitu bersemangat mengimani Kurzweil. Melalui Kurzweil, kemajuan sains menjadi terlihat begitu revolusioner. Sulit bagi siapa saja untuk bisa menyangkal capaian-capaian sains. Tapi soalnya adalah Kurzweil juga menegaskan bahwa teknologi itu bisa seperti pedang bermata dua: ia memiliki janji sekaligus bahaya.
Dari sini Kurzweil secara implisit mengakui bahwa teknologi bisa menjadi bermasalah karena adanya persoalan nalar. Analogi yang digunakan Kurzweil, “api bisa membuat kita hangat dan memasak makanan kita, tetapi ia juga bisa digunakan untuk membakar rumah kita.” Kurzweil pun kemudian mengingatkan bahwa kita memiliki kewajiban moral untuk terus mengembangkan teknologi sambil mengendalikan potensi bahayanya.
Dalam konteks itu, HB dalam tulisannya “Romantisisme dan Falasi Memedi Goenawan Mohamad (bagian 4)” sebetulnya sudah menampilkan sikap kritis para saintis seperti Stephen Hawking bersama tiga rekannya — pemenang Nobel Fisika Frank Wilczek, Fisikawan MIT Max Tegmark dan penulis buku teks utama tentang AI Stuart Russel – saat menulis surat terbuka di koran Huffington Post [2014], untuk menanggapi film Transendence.
Menurut Hawking dkk., apa yang diceritakan dalam film Transendence memang bisa terjadi sungguhan, bukan sekadar cerita fiksi. Mereka cemas akan bahayanya bagi kemanusiaan. Dalam surat terbuka itu Hawking dkk. meminta agar masalah ini –misalnya prospek kemunculan sistem persenjataan otonom yang mampu memilih sendiri targetnya, dan sanggup meningkatkan sendiri kemampuannya– benar-benar dipikirkan oleh PBB. Mereka risau pula menyaksikan sedikitnya lembaga yang peduli pada upaya pembatasan dan kontrol terhadap kecerdasan buatan.
Dengan alasan itu, HB kemudian menegaskan bahwa sumbangan sains tidak perlu direcoki dengan tuduhan-tuduhan palsu yang dangkal, distortif dan hanya merupakan pameran desperasi. Sudah jelas ilmuwan-ilmuwan terpenting dalam sejarah mutakhir pun kritis terhadap dunia sains, seperti yang ditunjukkan oleh Stephen Hawking dan beribu-ribu ilmuwan dan teknolog lain dengan petisi mereka kepada PBB agar mengatur pengembangan teknologi AI agar tidak membahayakan manusia.
Namun HB tampaknya naif dan melupakan bahwa PBB yang dijadikan harapan dan sandaran para saintis itu merupakan bagian dari produk nalar instrumental para pembuat kebijakan luar negeri negara-negara pemenang Perang Dunia II: Amerika Serikat, Uni Soviet, Cina, Prancis, dan Inggris.
Kelima negara itu kita ketahui merupakan negara terkuat dan pemegang sah hak veto. Jadi sangat sulit mengandalkan PBB untuk bisa membuat aturan pengembangan teknologi AI, apalagi jika aturan itu sampai berbenturan langsung dengan kepentingan kelima negara pemegang hak veto – hak yang dibangun di mana setiap pencuri bisa mengajukan veto untuk melawan hukum pencurian.
Jika PBB sudah tidak lagi bisa diharapkan untuk membuat aturan yang bisa mengedalikan jalannya pengembangan teknologi AI – yang kata sejumlah saintis mungkin bisa membahayakan kemanusiaan – lalu apa solusi politik internasional yang bisa diberikan? Ini akan menjadi pertanyaan besar yang mesti dijawab oleh HB pada era di mana nalar instrumental agen-agen kekuasan (politik) negara–negara kuat akan lebih mengambil peran dalam mengatur jalannya tatanan internasional.
Jalan Keluar
Persoalan utama mengapa sains bisa menjadi bermasalah adalah karena nalar instrumental manusia. Nalar instrumental telah menjadikan sains sebagai iman pagan baru. Itulah sebab mengapa Hidayat Nataatmadja pernah mengingatkan bahaya ini jauh-jauh hari, “sebagai hamba rasio memang dapat diandalkan, sebagai tuan ia hanya akan menjadi berhala. Dalam bahasa kaum sufi, nalar instrumental hanya menciptakan ilmu yang rahman. Ia berguna bagi banyak orang, tapi dampak destruksinya tidak terkendali. Sedangkan ilmu rahman itu harus dibarengi dengan ilmu rahim, supaya kehadirannya menjadi manfaat bagi seluruh umat.
Maka jalan keluar yang mesti dilakukan adalah membalikkan fokus nalar. Kini kita mesti mengarahkan fokus nalar bukan sebagai alat (instrumental), melainkan tujuan (objektif). Dengan begitu kita akan mampu mencapai nalar objektif.
Tapi, menerima nalar obyektif, kata al-Jabiri, tak berarti menolak keberadaan nalar instrumental. Nalar instrumental harus dilihat sebagai cerminan keterbatasan sistem nalar holistik yang darinya lahir nilai dan aturan manusia. Karena itulah Horkheimer, sebagaimana dikutip oleh al-Jabiri (1997), mengajukan dua pengertian objektivitas nalar. Pertama, sebuah nalar dianggap objektif, karena ia merupakan bagian nalar kosmik yang telah mewujudkan rasionalitas di jagat raya berupa keteraturan, kausalitas, dan lain-lain. Kedua, ia dianggap objektif karena tugas pokoknya menciptakan keselarasan antara ide dan tindakan manusia.
Jika nalar objektif ini yang lebih mengambil peranan, produk sains tak lagi menjadi masalah bagi seluruh umat. Sebab sains dirancang saintis semata untuk kemajuan peradaban manusia per se. Agen-agen kekuasaam (politik) pun demikian, mereka tidak akan lagi memanfaatkan produk saintis (sains) untuk kepentingan militer yang sifatnya destruktif: membunuh manusia tanpa ampun.
Penulis: Asrudin Azwar (Peneliti, Pendiri The Asrudian Center) dan Mirza Jaka Suryana (Penerjemah, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta)