Sabtu, April 20, 2024

Saatnya Mereformasi Partai Politik

Ari Wirya Dinata
Ari Wirya Dinata
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Ketua Umum Golkar Abu Risyal Bakrie (kedua kiri) bersama Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Akbar Tandjung (kedua kanan) dan Calon Ketua Umum Golkar no urut.1 Ade Komarudin (kanan) serta calon Ketua Umum Golkar no urut. 8 Syahrul Yasin Limpo (kiri) saling berpengangan dan mengangkat tangan usai menyampaikan visi misi sesi I pada kampanye calon ketua umum Golkar zona II di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (11/5). Kampanye Zona II yang merupakan rangkaian Musyawarah Luar Biasa Partai Golkar tersebut diikuti kader partai dari wilayah Jawa dan Kalimantan. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/foc/16.
Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie bersama Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Akbar Tandjung dan calon Ketua Umum Golkar no urut. 1 Ade Komarudin (kanan) serta calon Ketua Umum Golkar no urut. 8 Syahrul Yasin Limpo (kiri) pada kampanye calon ketua umum Golkar zona II di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (11/5). ANTARA FOTO/Zabur Karuru/foc/16.

“Tidak ada demokrasi tanpa politik, dan tidak ada politik tanpa partai”
(Clinton Rossiter)

Urat nadi demokrasi ialah partai politik. Ya, karena partai politik merupakan cikal bakal penyambung lidah untuk memperjuangkan suara dan aspirasi rakyat. Perkembangan demokrasi di suatu negara salah satunya ditentukan dari konfigurasi demokrasi dan kemandirian di dalam tubuh partai politik itu sendiri. Jika demokratisasi di internal partai politik baik, niscaya pemerintahan yang terbentuk akan baik pula.

Marcin Walecki, analis politik Universitas Oxford, mengemukakan beberapa standar partai politik yang ideal dilihat dari perspektif internasional. Dua di antaranya mengenai demokrasi internal partai politik dan keuangan partai politik.

Kedua hal tersebut adalah aspek yang perlu diperbaharui dalam sistem pengelolaan partai politik di Indonesia. Itu jika kita ingin menjadikan partai sebagai mesin yang memproduksi pemimpin berkomitmen kuat untuk membangun bangsa.

Fenomena yang terjadi saat ini berupa rendahnya tingkat kepercayaan publik kepada partai politik (baca: deparpolisasi) dan munculnya tingkat kepercayaan yang lebih kepada calon independen, sebagaimana terjadi dalam kasus pencalonan gubenur Jakarta. Ini akibat kegagalan partai politik mengelola keorganisasian partai itu sendiri.

Sistem manajemen partai yang masih lemah dan rentan disusupi kepentingan elite maupun kelompok opurtunis menjadikan partai hanya sebagai kendaraan politik bagi para pemilik modal untuk mengisi jabatan politik. Karenanya, penerapan konsep meritokrasi dalam pengisian jabatan sukar diwujudkan. Jika ini terus dibiarkan, arsiktektur demokrasi Indonesia akan rentan menjadi demokrasi oligarki dan dimonopoli elite berpengaruh serta kaum modal semata.

Untuk memperbaiki status quo yang terjadi kita butuh merekonstruski dan mereformasi manajemen kepartaian di Indonesia. Caranya ialah dengan purifikasi semangat berdirinya partai politik sebagaimana disebutkan oleh Mirriam Budiardjo (2003: 56). Fungsi partai politik ialah sebagai alat komunikasi politik, sosialiasi politik, rekrutmen politik, dan mengelola konflik.

Jika partai politik berjalan pada arena dan fungsi yang benar dengan melandasi pengelolaan partai kepada prinsip demokrasi, kesetaraan, profesional, independen, dan meritokrasi, maka kepercayaan publik kepada partai secara mutatis mutandis akan membaik.

Proses demokrasi internal partai politik tak bisa lepas dari perbincangan tentang mekanisme sistem rekrutmen dan penetapan anggotanya yang diterapkan dalam suatu partai. Baik untuk menentukan calon anggotanya yang maju dan mengisi struktur kelembagaan partai maupun yang akan maju dalam kontestasi pemilihan umum.

Jamak diketahui model atau sistem demokrasi internal partai politik di Indonesia masih lemah. Sebaliknya, jika partai tidak segera berbenah, degradasi kepercayaan akan terus terjadi. Sebagai alat rekayasa sosial, negara harus memainkan perannya untuk memastikan standar demokrasi di dalam aktivitas partai politik berjalan. Meski begitu, negara tidak boleh terlalu mengekang dengan peraturan yang mengakibatkan partai tak bisa berinovasi dalam membangun demokrasi internalnya.

Kemandirian keuangan partai politik masih menjadi permasalahan endemik yang acapkali berujung tragis kepada kader-kader partai yang duduk di jabatan politik lalu tersangkut kasus korupsi, penyuapan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Kejahatan tersebut terjadi dikarenakan tak mudah bagi partai untuk menjalankan aktivitasnya tanpa kucuran dana. Maka, untuk memenuhi biaya pemilu yang tinggi dan menjalankan aktivitas parpol, mereka terpaksa mencari celah-celah dana haram atau sumber dana yang menyebabkan mereka terjebak dalam lingkaran setan politik balas budi.

Untuk itu, gagasan pendanaan yang transparan dan pendanaan dari negara perlu dikaji lagi untuk membantu partai politik keluar dari ketergantungan pendanaan yang tidak sehat. Pada hakikatnya saat negara ikut serta mendanai partai, hal demikian merupakan investasi jangka panjang bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Dan negara juga mempunyai alasan kuat menindak partai yang tetap nakal dan tidak serius menjalankan fungsinya. Padahal negara telah mengeluarkan sejumlah besar uang untuk mendukung aktivitas partai politik.

Untuk proses berdemokrasi yang sehat di Indonesia, reformasi internal partai politik merupakan conditio sine qua non. Dalam membentuk kadernya, partai harus mengamalkan filosofi yang terkandung dalam profesi guru. Yakni, guru yang dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa tidak pernah mengenal kata pamrih dan mengharapkan suatu pemberian materi (baca: uang) dalam mengajar dan menuntun muridnya. Ia dengan ikhlas mendidik para muridnya hanya untuk satu tujuan, yaitu mencerdaskan para murid dan membiarkan mereka maju dan berkembang.

Pesan yang sama juga tersirat dari pemikiran Manuel Luis Quezon yang menasbihkan, “My loyality to my party ends when my loyality to my country begins”. Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa partai politik harus berhenti merongrong dan mendikte kadernya yang telah duduk di jabatan politik. Sebab, pada hakikatnya partai politik hanyalah kendaraan politik yang mengantarkan kadernya untuk jihad memperjuangan kepentingan rakyat yang diwakilinya, bukan kepentingan elite partai semata.

Dalam penalaran yang wajar, namanya kendaraan fungsinya memang sebatas mengantarkan saja. Ia tidak harus ikut masuk ke dalam rumah dan mencampuri serta menyandera kader untuk mengikuti titah kepentingan partai, lalu mengabaikan amanah kepada rakyat yang memilihnya.

Ari Wirya Dinata
Ari Wirya Dinata
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.