Rabu, April 24, 2024

Saat Timur Tengah Terancam Sektarianisme

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Ke arah mana negara-negara Arab itu akan berlabuh setelah mengalami pergolakan hampir satu dekade ini? Pergolakan yang tak hanya melibatkan protes rakyat skala masif, tapi juga konflik bersenjata yang disertai korban kemanusiaan dan kehancuran secara luas. 

Penelitian Imad Salamey, “The Double Movement & Post-Arab Spring Consociationalism”, yang dipublikasi di jurnal prestisius Muslim World, mendedahkan kesimpulan meyakinkan. Bahwa masa depan dunia Arab adalah sektarianisme. Menurutnya, sektarianisme itulah yang sedang berlangsung dan akan jadi labuhan awal dari pergolakan panjang di negara-negara Arab ini. 

Sektarianisme menjadi tren untuk penyelesaian konflik-konflik antarkelompok di negara-negara Arab pasca tumbangnya kekuasaan otoritarian. Sistem konsensional (power sharing) antarkelompok suku, agama, atau lainnya menjadi model yang sedang diikuti sejumlah negara Arab untuk menyelesaikan pertikaian internalnya. Meskipun tidak diakui, demokrasi sektarian di Lebanon menjadi contoh bagi pembangunan demokrasi di negara-negara Arab yang mengalami pergolakan.

Tapi, sektarianisasi yang menjalar di kawasan itu bukan sektarianisasi biasa, yang lokal saja, tapi “irredentism sectarianization,” yakni hasrat sektarian yang meluap sampai pada kesediaan berkonflik untuk memecah atau merebut wilayah negara-negara lain atas dasar persamaan sektarian. 

Pendapat itu banyak bersesuaian dengan kenyataan di lapangan di dunia Arab sebelum dua bulan ini. Sudan terbelah karena perpecahan sektarian di awal-awal era yang disebut sebagai musim semi Arab. Negara Sudan Selatan yang beretnis Afrika “asli” lahir sebagai pecahan dari Sudan yang Arab.

Pemerintahan Yaman juga terpecah karena isu sektarian. Yaman Utara dengan pusat di Sana’a adalah pemerintahan Syiah, dan Yaman Selatan yang berpusat di Aden adalah pemerintahan Sunni. Masyarakat di Yaman tengah sering kali menjadi korban dari konflik kedua sekte ini.

De facto Irak juga mengalami perpecahan sektarian yang lebih rumit, Arab versus Kurdi, dan Syiah versus Sunni. Pemerintahan Kurdistan Irak yang berpusat di Arbil tak ubahnya adalah negara yang merdeka, hanya deklarasinya saja yang belum dilaksanakan.

Sektarianisme juga menggenangi fenomena lintas negara di kawasan ini. Iran, pemimpin dunia Syiah, terus menggeber ambisinya untuk bisa “berkuasa” di Suriah, Yaman, Lebanon, Irak, Bahrain, dan seterusnya. Negara itu harus terlibat perang yang intens di mana-mana untuk mempertahankan dan memperkuat jaringan Syiahnya.

Saudi dan Emirat Arab, dua negara yang mengklaim pemimpin Sunni,  juga terlibat atau mendukung perang di mana-mana untuk memburu ambisinya menjadi yang paling berpengaruh di kawasan. Mereka tak hanya menggeber perang di Yaman, tapi juga terlibat dalam konflik di Suriah, Libya, Irak, Bahrain, dan seterusnya. Kedua pemimpin sektarian Sunni ini sering berhadapan dengan pendukung Syiah Iran. 

Aktor sektarian lain yang tak kalah menonjol adalah Qatar dan Turki. Di banyak tempat, mereka berhadapan dengan jaringan Sunni Arab Saudi dan Emirat. Meski di Yaman sempat satu front, mereka berhadapan di Sudan, Libya, dalam kasus isolasi Qatar sendiri, dan lainnya.

Qatar dan Turki di bawah Erdoğan  adalah pemimpin jaringan Islam politik Ikhwani. Turki sendiri berupaya merangsek ke wilayah Suriah sejauh mungkin dengan alasan keamanan, meski banyak pengamat juga menyebut itu sebagai langkah sektarian bangsa Turk. Singkatnya, sadar atau tidak sadar, masyarakat Timur Tengah sudah dan sedang menuju sektarianisme. 

Namun, demonstrasi besar dan masif di Lebanon dan Irak sekitar sebulan terakhir melawan arah ini. Kesimpulan di atas mesti dikoreksi. Jika kawasan pada umumnya sedang bergerak menuju sektarianisme, maka rakyat Lebanon dan Irak bersatu untuk melawan sektarianisasi masif itu.

Mereka sudah jengah dengan sistem sektarian yang, menurut mereka, telah menyebabkan kesengsaraan luas masyarakat. Mereka menolak sistem sektarian yang hanya menguntungkan pihak-pihak elite sekte atau suku. Mereka menganggap sektarianisme adalah sumber praktik korupsi, kolusi, dan penyimpangan lain yang ujungnya melalaikan kepentingan rakyat banyak. 

Ini adalah tren baru dari perlawanan rakyat yang mungkin akan menjalar ke negara-negara Arab lain. Ketika tren elite sekte, partai, atau suku mengarah ke power sharing sectarian, maka rakyat menginginkan arah sebaliknya.

Rakyat Lebanon dan Irak menginginkan negara dan pemerintahan terbebas dari sistem sektarian itu. Faktanya, masyarakat yang terpecah secara sosial itu bersatu padu untuk menyuarakan perlawanannya terhadap sistem sektarian. Gaung dari arah perlawanan rakyat di Lebanon dan Irak tentu akan mengoreksi sektarianisasi kawasan yang sedang berlangsung saat ini.

Pelajaran untuk Kita

Dinamika yang terjadi di kawasan Timur Tengah merupakan pelajaran yang berharga bagi tanah air kita, khususnya dalam menata kehidupan bersama secara lebih baik. Kesepakatan antar-elite sering mampu menyelesaikan ketegangan dan konflik. Namun, kesepakatan elite ternyata tidak cukup. Sebab, kesepakatan elite ada kecenderungan untuk menguntungkan kelompok elite semata dan merugikan kepentingan besar rakyat banyak.

Karena itu, kesepakatan apa pun antar-elite di negeri ini sudah seharusnya tidak mengabaikan kepentingan besar rakyat banyak. Rakyat akan menilai buruk praktik silaturahmi, deal politik, rangkulan politik, atau apa pun namanya jika itu diarahkan hanya untuk kepentingan para kekuasaan para elite. Rakyat suatu saat akan melawan terhadap deal-deal egois elite politik semacam ini. 

Apatisme opini publik terhadap partai politik dan politisi di Tanah Air bukan perkara enteng. Opini itu bisa terus berkembang menjadi keyakinan umum (general belief) di kalangan rakyat. Keyakinan umum terhadap realitas adalah tahapan krusial bagi pecahnya gerakan rakyat. Karena itu, sejak awal para elite mesti menyadari situasi ini. Rakyat banyak suatu saat akan sadar bahwa suara mereka kemudian dibajak oleh para elte, bukan disalurkan.

Apalagi ini adalah era media sosial. Kekecewaan sering sangat mudah menjalar menjadi aksi kolektif secara spontan dan masif. Kita sudah berhasil membangun demokrasi yang kokoh dan tahan guncangan selama dua dekade ini. Maka, tentu sangat disesalkan jika elitisme, baik itu sekte maupun partai, merusak semuanya.

Bacaan terkait

Hasrat Kurdistan di Tengah Agresi Militer Turki dan Taktik Baru AS

Dari Buthaina untuk yang Menutup Mata pada Yaman

Ketika Yaman Kembali Bergejolak

Politik Identitas: Antara Angan dan Realitas

Menakar Senjakala Kejayaan Erdogan dan AKP

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.