Yaman, negara termiskin di Timur Tengah itu, kembali memanas. Koalisi yang dipimpin Arab Saudi meluncurkan serangan udara di ibu kota Sana’a yang mengakibatkan 100 lebih nyawa warga sipil melayang. Beberapa pejabat tinggi, termasuk di antaranya wali kota, tewas dalam serangan maut tersebut (7/10/2016).
Meski awalnya menyangkal, Arab Saudi akhirnya mengakui bahwa itu sebuah kejadian tak disengaja. Arab Saudi menyalahkan sekutunya di Yaman yang telah salah memberikan informasi kepadanya, yang menggambarkan lokasi sasaran adalah sebuah pertemuan pemimpin bersenjata Houthi, yang ditegaskan sebagai sasaran militer yang sah.
Memanasnya Yaman tak hanya di darat. Di laut, sebuah kapal perang milik Amerika Serikat (AS) di Laut Merah menjadi sasaran rudal yang ditembakkan dari wilayah yang dikontrol pemberontak Houthi sebanyak tiga kali dalam satu pekan di bulan ini, seperti dilansir Al- Arabiyya (16/10).
AS membalas menembakkan rudal jelajah tomahawk dan menghancurkan tiga situs radar milik pemberontak Houthi. Kejadian ini untuk pertama kalinya AS terlibat langsung dalam konflik bersenjata Yaman.
Serangan udara Saudi di ibu kota Yaman dan insiden penembakan rudal kapal-kapal AS di Laut Merah telah menggetarkan masyarakat internasional dan khawatir memicu konfrontasi lebih parah. Sebab, krisis Yaman yang terjadi selama ini telah mengakibatkan banyak bencana kemanusiaan, namun kurang mendapat perhatian masyarakat internasional.
Konflik bersenjata Yaman sebenarnya berakar dari kegagalan transisi politik pada tahun 2011 yang semestinya membawa stabilitas negara. Pada saat itu Yaman diguncang badai Revolusi Arab yang melanda negara-negara Timur Tengah. Gelombang protes rakyat itu akhirnya berhasil memaksa Presiden Ali Abdullah Saleh lengser yang telah berkuasa 33 tahun. Dan, Ali kemudian menyerahkan kekuasaan kepada wakilnya Abdu Rabbu Mansur Hadi pada Februari 2012.
Saat ditinggalkan Ali, kondisi Yaman mengalami banyak masalah, khususnya pertahanan dan keamanan, bercokolnya kelompok teroris al-Qaidah cabang Semenanjung Arab (AQAP) di selatan, dan pemberontakan gerakan Houthi di utara sejak dekade sebelumnya.
Nama gerakan Houthi dinisbatkan pada tokoh kelompok ini yang bernama Hussein Badruddin al-Houthi yang tewas dibunuh aparat keamanan di era pemerintahan Ali tahun 2004.
Kelompok perlawanan Houthi digerakkan oleh kalangan Muslim Zaidiyah (salah satu cabang Islam Syiah), namun tidak semua penganut Zaidiyah di Yaman adalah anggota Houthi.
Houthi mengambil keuntungan lemahnya pemerintahan Yaman di bawah presiden baru ini. Kecewa dengan transisi politik dan keadaan yang tak kunjung membaik, banyak warga Yaman biasa (termasuk Sunni) mendukung gerakan Houthi pada September 2014 memasuki ibu kota Yaman, Sana’a. Kemudian pada awal tahun 2015 mereka menekan Presiden Hadi meletakkan jabatan sampai menjadikan dia tahanan rumah beserta menteri kabinetnya.
Faktor keberhasilan Houthi menguasai ibu kota Yaman ini tidak lepas dari dukungan militer loyalis eks-Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh. Selain itu, Hadi tidak memiliki basis dukungan tradisional yang kuat di Yaman.
Presiden Hadi sempat melarikan diri ke kota pelabuhan Aden. Namun, ketika aliansi Houthi dan militer loyalis Ali Abdullah Saleh mencoba untuk mengambil kendali seluruh negeri pada Maret 2015, Presiden Hadi melarikan diri dan berlindung ke Arab Saudi.
Khawatir dengan munculnya kelompok yang mereka yakini didukung Iran, Arab Saudi memobilisasi negara-negara Arab dan memulai serangan udara atas nama memulihkan pemerintahan Hadi. Koalisi ini menerima dukungan logistik dan intelijen AS, Inggris, dan Prancis.
Pada Mei 2015, mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh secara terbuka mendeklarasikan aliansinya dengan musuh lamanya, kelompok Houthi, dan mengecam agresi militer Saudi terhadap negeri Yaman.
Secara diplomatik Arab Saudi sebenarnya telah menyatakan mengakhiri operasi militer tersebut pada April dan berhasil mengembalikan Presiden Hadi ke kota Aden, Yaman bagian utara. Namun, fakta di lapangan, serangan udara Saudi masih berlanjut. Begitu juga di wilayah perbatasan Yaman-Saudi, di mana pertempuran masih berkobar.
Keterlibatan militer Saudi dalam krisis Yaman sudah setahun lebih berlalu. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menaksir sedikitnya 10 ribu (kebanyakan warga sipil) orang dilaporkan tewas, 3 juta orang mengungsi dari rumah. Konflik juga memaksa 200 ribu orang mencari suaka politik.
Beberapa kali gencatan senjata hingga upaya perundingan damai yang digagas selalu ambruk di tengah jalan, sementara krisis pangan makin meluas. PBB memperkirakan 100 ribu anak-anak di bawah usia 5 tahun menderita gizi buruk (Associate Press, 16/9).
Dan yang tak kalah disesalkan atas terjadinya perang Yaman ini ialah, geliat kelompok ekstremis seperti al-Qaidah dan ISIS semakin menjadi-jadi.
Kini, secara de-facto Yaman retak menjadi dua ibu kota, di Sana’a dan Aden. Meskipun Yaman memiliki sejarah sebagai negara yang selalu berhasil dalam mediasi konflik, bagian yang tragis adalah terlalu banyak kerusakan di sana-sini.