Respons pertama saya ketika mengetahui RUU Permusikan sedang dibahas di DPR adalah kaget. Saya bertanya-tanya dari mana ide pembuatan RUU ini muncul? Siapa yang menginisiasi? Siapa yang terlibat dalam penyusunan drafnya? Apa urgensinya? Bagi saya semua terkesan mendadak. Tahu-tahu sudah masuk ke dalam prioritas legislasi nasional (prolegnas) yang akan segera disahkan DPR periode ini.
Rupanya respons sama juga muncul dari teman-teman musisi lain. Sampai akhirnya kami mendengar penjelasan dari Anang Hermansyah yang sekarang menjadi anggota Komisi X DPR, bahwa RUU Permusikan dibuat setelah melalui perbincangan dengan musisi Konferensi Musik Indonesia (KAMI) dan dimaksudkan untuk melindungi hak cipta karya musik serta menyejahterakan musisi.
Dari penjelasan itu, ada dua hal yang kami kritisi. Pertama, KAMI tidak mewakili keseluruhan musisi Indonesia. Mereka adalah orang-orang lama di dunia musik dan mayoritas dari industri besar. Kedua, sudah ada Undang-Undang Hak Cipta yang menjamin perlindungan hak cipta atas karya, termasuk musik. Juga sudah ada undang-undang Serah Simpan dan Karya Cetak dan Karya Rekam dan UU Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang mengatur permusikan.
Maka, penjelasan Anang tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan saya di awal.
Namun, saya dan teman-teman musisi lainnya tidak mau terburu-buru bersuara menolak RUU Permusikan. Kami berdiskusi, membahas serta menelaah pasal per pasal dalam draf RUU ini lebih dulu. Tujuannya jika ada satu atau dua pasal yang perlu dikritisi tapi secara keseluruhan baik, maka cukup yang bermasalah saja direvisi.
Bau Orba dan Kepentingan Kapitalis
Ternyata hasil telaah kami mendapati cukup banyak pasal yang berpeluang merugikan musisi dan musik Indonesia secara keseluruhan.
Pertama, berisi pasal yang hanya berpihak kepada industi besar, yaitu Pasal 4 draf RUU Permusikan menyatakan, proses kreasi harus melibatkan pelaku musik, yakni penulis lagu, penyanyi, penata musik, dan produser. Artinya, setiap karya musik yang dihasilkan harus melalui sistematika tersebut. Harus melalui banyak orang dengan profesi berbeda sebelum bisa dijual ke pasar.
Lalu, Pasal 10 ayat (2) yang menyatakan, distribusi karya musik dilakukan label rekaman atau penyedia jasa distribusi untuk produk musik dalam bentuk fisik dan penyedia konten untuk produk musik dalam bentuk digital.
Kemudian Pasal 18 yang menyatakan pertunjukan musik harus melibatkan promotor musik/penyelenggara acara musik yang memiliki lisensi usaha penyelenggaraan pertunjukkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Hanya industri besar yang memiliki modal untuk memenuhi sistematika tersebut. Mereka sudah punya semua perangkat dan SDM-nya. Sedangkan, saya dan musisi indie lainnya lakukan selama ini adalah melawan kerumitan proses ala industri besar tersebut.
Kami berkreasi dengan mengekespresikan ide menjadi materi musik secara bebas. Bekerja secara mandiri untuk memangkas bujet—yang memang teknologi saat ini sudah memungkinkan setiap orang untuk rekaman. Begitu juga memasarkan produk musik dan membuat pertunjukan secara mandiri.
Akibatnya, jika pasal-pasal tersebut disahkan menjadi undang-undang, yang terjadi adalah eksklusivitas dalam bermusik. Cuma orang-orang bermodal dan punya akses ke lingkaran industri besar yang bisa melakukannya. Sangat mungkin kembali memunculkan dikotomi antara musisi top ibukota beserta segala aksesnya dan musisi nonibukota yang terbatas aksesnya karena tidak rekaman di label besar.
Padahal sekarang industri musik independen sedang tumbuh dengan semarak. Menyuguhkan lebih banyak pilihan jenis musik kepada masyarakat untuk dapat dinikmati, alih-alih cuma jenis yang disepakati industri besar. Masyarakat pun bisa menikmati musik dengan lebih murah, seperti penyelenggaraan pensi-pensi di sekolah.
Kedua, RUU Permusikan berisi pasal yang membatasi tumbuhnya musisi baru, membatasi proses berkreasi, dan rawan kriminalisasi terhadap musisi. Misalnya, Pasal 5 tentang larangan konten-konten tertentu dalam karya musik, seperti menistakan, melecehkan, dan menodai nilai agama, serta membawa pengaruh negatif budaya asing.
Sangat jelas itu membatasi musisi dalam menggali dan mengekspresikan idenya dalam pembuatan karya pada materi yang boleh dan tidak boleh sesuai pasal tersebut. Hal ini ertentangan dengan Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan mengeluarkan pendapat.
Pasal tersebut juga rentan mengkriminalisasi musisi. Karena sampai saat ini harus diakui kita masih mempunyai masalah soal interpretasi maksud dari penodaan agama dan budaya asing yang negatif. Sehingga membuka peluang bagi individu atau kelompok tertentu menggunakan pasal tersebut mengkriminalisasi musisi karena karyanya dianggap bertentangan dengan pemahaman mereka soal agama dan budaya asing.
Sementara, menurut saya, bermusik bukan hanya soal memainkan nada-nada tapi juga menyuarakan ide-ide sosial, budaya dan sendi kehidupan lainnya yang kadang berbentuk kritik serta beririsan dengan materi-materi terlarang di pasal tersebut.
Hal itu pula yang membuat musisi tak bisa sekadar dipandang dari kepiawaiannya memainkan instrumen musik saja dan mengharuskan uji kompetensi seperti tertulis di Pasal 32-35 RUU Permusikan. Sudah sejak lama kita menyaksikan banyak penulis lagu yang idenya fresh dan brilian, bisa mencerahkan dan memberikan karakter berbeda, tidak berangkat dari satu skil tertentu. Nirvana bisa menjadi contoh untuk itu. Secara skil mereka dicemooh, tapi justru berhasil membawa kebaruan dalam musik.
Oleh karena itu, menurut saya, uji kompetensi justu membatasi pertumbuhan dan perkembangan penulis lagu dengan ide-ide brilian yang berpeluang semakin memperkaya skena musik Indonesia. Akan banyak karya-karya segar dan membawa kebaruan yang gagal dipasarkan karena dianggap dimainkan oleh orang tak kompeten. Bertentangan dengan Pasal 28 A-J yang menjamin hak setiap warga negara untuk hidup serta bertahan hidup dan kehidupannya.
Selain pasal-pasal tersebut di atas, masih banyak lagi yang bermasalah. Yang dibuat semata untuk menguntungkan pihak tertentu dan membatasi musisi mengekspresikan gagasannya dalam karyanya. Bukan untuk melindungi hak cipta dan menyejahterakan musisi seperti yang selama ini digembar-gemborkan para pembuatnya. Saya menilainya sangat bau Orba dan kepentingan kapitalis. Dua hal yang saya dan musisi lain ketika menelaah RUU Permusikan sepakat untuk melawannya.
Kami sepakat untuk menolak seluruh isi RUU Permusikan dan meminta pembahasannya dihentikan.