Saat rupiah tengah terkapar seperti saat ini, kita dapat dengan mudah menilai 2 kubu yang sama kebangetannya. Pertama, kubu yang mengatakan ekonomi kita baik-baik saja. Kedua, kelompok yang berseberangan dengan pemerintah yang terus berharap rupiah kita merosot. Motifnya kurang lebih sama: yang pertama melanggenggan kekuasaan, sementara yang kedua menghendaki penguasa jatuh.
Tahun 2018, sepertinya akan menjadi tahun emas bagi tim ekonomi di pemerintahan Jokowi. Prestasi mentereng mulai dari pertumbuhan tinggi, inflasi rendah, utang luar negeri aman, gencarnya pembangunan infrastruktur, pengangguran rendah dan tingkat kemiskinan terendah sepanjang sejarah terus dikabarkan.
Selanjutnya penobatan Menkeu Indonesia, Sri Mulyani, menjadi menteri keuangan terbaik dunia pada Februari 2018 di ajang World Government Summit seperti menjadi momentum pembenar bahwa kebijakan yang diambil tim ekonomi pemerintah sudah benar tanpa cela.
Kalau ada sementara pihak yang mempertanyakan kualitas pertumbuhan, penurunan daya beli, bahaya utang luar negeri yang tidak terkendali, sisi lain pembangunan infrastruktur dan bagaimana cara hitung kemiskinan, itu akan ditengarai sebagai orang yang tidak saja kurang paham ekonomi makro tetapi juga tengah terjangkiti histeria yang berlebihan. Kalau meminjam istilah ekonom UGM, Tony Prasentiantono, kritik atas terpuruknya ekonomi Indonesia hanya dapat datang dari sopir truk.
Bahkan pada Mei 2018, saat rupiah perlahan merosot mendekati angka 14.000, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan menyatakan, sistem keuangan Indonesia berada dalam kondisi stabil dan terkendali. Indikatornya, tingkat inflasi yang terjaga di kisaran 3,5 persen. Defisit transaksi berjalan tetap terjaga di bawah batas aman 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Untuk mendukung betapa kuatnya fundamental ekonomi negeri ini, bahkan Otoritas Jasa Keuangan merasa perlu untuk memaparkan simulasi uji ketahanan nilai rupiah atau stress test atas pelemahan rupiah yang terus terjadi. Kesimpulan waktu itu, sektor perbankan masih aman walau rupiah terus dihajar dolar hingga angka 20.000. Kita tidak tahu apakah ini satu pembelaan yang bersifat untuk sekadar menenangkan masyarakat, atau memang berangkat dari pemahaman yang cukup bahwa mata uang kita salah satu yang terkuat di dunia.
Serius, kalau uji ketahanan nilai rupiah tersebut kita terima sebagai kebenaran, kurs 15.000 seperti saat ini memang tidak perlu membuat pemerintah panik. Sri Mulyani bahkan menyebut pelemahan tersebut positif bagi APBN. Setiap pelemahan sebesar 100 rupiah per USD akan memberikan tambahan pendapatan 900 miliar sampai 1,5 triliun.
Menteri Keuangan tidak salah. Tetapi itu pernyataan yang sangat tricky dan tidak dapat diterima sebagai penjelasan yang komprehensif. Dari sisi penerimaan memang benar, ekspor kita dalam rupiah nilainya akan menggelembung. Tetapi jangan lupa. Neraca perdagangan kita defisit, impor lebih besar dari ekspor.
Situasi tersebut seharusnya membangunkan kesadaran kita bahwa kita memang menghendaki Menteri Keuangan yang profesional, tenang, dan paham psikologi pasar. Sri Mulyani jelas tenang saat menjelaskan itu, tetapi kepandainya dan profesionalismenya selama ini tertutup oleh pernyataan yang lebih tepat jika diucapkan oleh seorang politisi. Seperti saat menjelaskan betapa amannya posisi utang kita hanya dengan bekal rasio utang terhadap Pendapatan Domestik Bruto, lalu menyandingkannya dengan utang US dan Jepang yang lebih dari 100%. Sementara kita pernah mengalami krisis yang begitu dalam hanya dengan rasio utang 89%.
Kalau (lagi-lagi) pelemahan rupiah tersebut harus kita maknai positif, alasan apa lagi yang dapat diberikan untuk membenarkan kebijakan impor yang diobral oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito? Di satu sisi ingin membatasi 900 komoditas impor, di sisi lain membuka lebar keran impor tekstil dan komoditas berbasis sektor pertanian: gula, garam, dan tentu saja beras.
Kalau kebijakan tersebut dimaksudkan untuk membuat neraca perdagangan kita surplus, kebijakan membatasi impor dalam jangka pendek sudah benar. Tetapi permasalahan yang dihadapi negeri ini lebih timpang di sisi permintaan, ketergantungan akan produk impor sangat tinggi. Jadi kalau itu diberlakukan, hal pertama yang perlu disiapkan ialah jika terjadi sengketa dengan WTO. Kedua, inflasi akan naik sebagai konsekuensi jika kebutuhan masyarakat akan satu produk tidak didukung kecukupan barang substitusi. Ketiga, berapa nilai yang dapat dihemat dari pembatasan impor tersebut, bagaimana kalau mengganggu proses produksi?
Mengapa pemerintah tidak memilih implikasi kebijakan berupa perluasan pasar ekspor dengan secara agresif membuka pasar baru? Atau kalau perlu mengganti Menteri Perdagangan yang gemar impor walau produksi nasional mencukupi. Itu hal minimal yang seharusnya dapat dilakukan oleh pemerintah.
Kekurangkritisan atau melempemnya para akademisi dari lingkungan perguruan tinggi semakin hari semakin menjadi pemandangan lumrah. Dari sekolah-sekolah ekonomi terkemuka seperti UI dan UGM semakin sedikit saja yang sudi melakukan kritik. Alih-alih menjalankan fungsinya sebagai guru yang harus selalu memberikan catatan kritis, mereka justru memperlihatkan ketidakcakapan dalam memberikan implikasi kebijakan atas serangkaian masalah yang kita hadapi.
Itu dapat kita lihat saat mantan Deputi Senior Bank Indonesia, sekaligus pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia memberikan pernyataan yang memperlihatkan potret keberhasilan kebijakan ekonomi di negeri ini dari sisi naiknya kelas menengah saja. Dia membandingkan merosotnya rupiah dari waktu ke waktu dan menyandingkannya dengan “sudah benarnya” kebijakan pemerintah dalam memberikan upah UMR dan menetapkan harga beras.
Miranda mengilustrasikannya dengan cara membandingkan kebijakan pemerintah dengan meletakkan pada tiga titik waktu, 1998, 2014 dan 2018. Saat krisis moneter di masa orde baru, berakhirnya rezim Susilo Bambang Yudhoyono, dan masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pada 1998, besaran UMR DKI Jakarta sebesar Rp 172.500 hanya setara dengan 11,9 USD. Uang senilai itu kalau dibelanjakan seluruhnya untuk beras dengan kualitas medium (2.800/kg), mereka hanya dapat membawa pulang beras seberat 69kg.
Di akhir masa pemerintahan SBY, Upah minimum Regional (UMR) DKI Jakarta ada di angka Rp 2,4 juta. Jika dikonversi ke dalam US dollar akan setara dengan dengan 200 USD ($1=Rp12.205). Uang sejumlah tersebut dapat digunakan untuk membeli beras kualitas medium (8.450) sebanyak 288kg.
Di masa pemerintahan Joko Widodo, UMR DKI Jakarta sebesar Rp 3,65 juta. Dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar hari ini, nilai tersebut setara dengan 253 USD. Jika menggunakan harga beras kualitas medium dengan HET terendah (9.500), maka pemilik UMR tersebut dapat membelanjakan uangnya sebanyak 384 kg.
Pernyataan tersebut dibuat saat rupiah masih berada di kisaran 14.400 per USD. Jika menggunakan kurs 15.000 per USD maka UMR DKI senilai dengan 243, turun 10 USD.
Dari paparan Miranda kita justru menjadi paham, pemerintah tidak pernah menempatkan petani sebagai prioritas kebijakan. Padahal kalau kita mau belajar pada sejarah perekonomian kita, sektor pertanian dan sektor informal lah yang membuat bangsa ini dapat melewati krisis moneter 1998 dengan tertatih. Ini yang tidak diungkap Miranda.
Simak saja angka-angka yang tersaji di atas. Upah Minimum Regional DKI Jakarta naik sebanyak 21 kali lipat, atau 2.015% dalam kurun waktu 20 tahun. Sedangkan beras hanya naik sebanyak 3,4 kali lipat atau setinggi 239%. Lihat dan bandingkan ketimpangan yang diakibatkan kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu selama 20 tahun!
Kebutuhan 20 tahun lalu dengan saat ini sudah berbeda. Makan memang masih nasi, gaji dan upah di perkotaan naik mengikuti inflasi. Sementara petani kita nilai tukarnya terus merosot dan orang kota masih pongah mengatakan, “Belajarlah pada orang di desa yang begitu arif dan bijaksana saat menjual makanan dalam bentuk apa pun dengan harga murah. Tidak perlu protes mengala rupiah kita lembek”.
Itu tidak berbeda saat kita teriak harga cabai mendekati 100 ribu, tetapi diam-diam menikmati saat hargai cabai di tingkat petani kurang dari 10 ribu. Jauh di bawah biaya produksinya. Apa Miranda mau menghitung dan menyandingkan kemampuan beli beras, petani cabai? Kemudian memberikan kesimpulan bahwa petani padi dan cabai sama sejahteranya?
Pintar menurut ukuran hari ini itu memang saat orang kota memuji kearifan orang desa sambil menginjak kepalanya. Apa kebijakan ekonomi yang berorientasi pada uang didesain untuk memadamkan keinginan orang desa dalam memenuhi kebutuhan di luar makan?
“Yang rajin ya, Pak dan Bu Tani. Etos kita harus kuat seperti bangsa maju lainnya.”, kurang lebih begitu yang harus kita ucapkan kalau memang meniatkan diri membantu kerja pemerintah.
Pupuklah padi-padi kita dengan dosis rekomendasi dari pemerintah agar tumbuh subur, juga upayakan intensifikasi secara optimal. Kami akan beli hasilnya dengan harga yang membuat kita semua tertawa. Kami tertawa girang Karena dapat memberikan pangan kepada rakyat dengan harga murah. Sementara kalian tertawa dalam tangisan.