Nathaniel Hawthorne dalam The Scarlet Letter, menyampaikan pikirannya tentang individu ideal bagi masyarakat Amerika. Menurutnya individu yang ideal adalah individu yang mandiri, bebas, percaya diri, berani, dan optimis seperti yang ditampilkan oleh Hester Pryne dalam The Scarlet Letter.
Hester Pryne adalah seorang perempuan yang diasingkan oleh masyarakat puritan karena dia telah berselingkuh dengan pendeta yang seharusnya menjadi pelindung dan pembimbing umatnya. Hester tidak mau mengatakan ayah dari anak yang dikandungnya. Hal ini menimbulkan konflik tidak hanya dalam dirinya, tetapi juga untuk Dimmesdale.
Sebagai bagian dari sastra era romantisisme, novel itu memperlihatkan bagaimana perasaan lebih dominan dari pada akal. Dari awal buku sampai akhir Hawthorne secara intens melukiskan jiwa tokoh-tokohnya, dan mengamati perubahan-perubahannya dengan cermat. Dengan teliti dia memperlihatkan bagaimana perasaan dapat terungkap lewat tingkah laku, walaupun tidak secara jelas Hawthorne memberikan definisi perasaan, tingkah laku tokoh-tokohnya menunjukkan yang dimaksud dengan perasaan. Dia berpendapat bahwa manusia memiliki perasaan yang memang telah ada secara alami. Perasaan itu sendiri terdiri atas tiga bagian yaitu naluri, hati nurani, dan emosi.
Naluri merupakan perwujudan dunia kejiwaan dari pengalaman subyektif dan terlepas sama sekali dari realita. Naluri terdiri dari dua proses yaitu tindakan refleks dan tindakan imajinasi. Tindakan refleks adalah reaksi spontan seperti diperlihatkan oleh Hester Prynne ketika “the eyes of the wrinkled scholar glowed so intensely upon her, that Hester Prynne clasped her hands over her heart, dreading lest he should read the secret there at once.” (Tatapan mata ilmuwan tua itu bersinar lekat kepadanya hingga Hester merapatkan kedua tangannya dan menutup dadanya, takut dia dapat membaca rahasia yang ada di dalamnya). Dia kembali melakukan hal yang sama ketika para tetua bermaksud untuk mengambil Pearl, anaknya. Secara spontan “Hester caught hold of Pearl, and drew forcibly into her arms, confronting the old Puritan magistrate with almost a fierce expression” (hlm.112). (“Hester memegang Pearl dan memeluknya erat-erat, menentang para tetua Puritan dengan tatapan sengit”).
Dimmesdale juga bertindak secara naluriah ketika bertemu dengan anaknya, Pearl. The minister looked round, laid his hand on the child’s head, hesitated an instant, and then kissed her brow (hlm.115). (Pendeta melihat sekeliling, meletakkan tangannya ke kepala sang anak, sejenak merasa ragu-ragu, namun kemudian mencium dahi sang anak).
Sedangkan involuntary action tampak digambarkan di “The Market Place”, Hester Prynne yang berdiri tegak di panggung penghukuman secara tidak sadar terbayang masa lalunya di Inggris. Terbayang juga wajah kedua orang tuanya, juga wajahnya sendiri pada waktu itu. Hawthorne mengatakan bahwa “possibly, it was an instinct device of her spirit to relieve itself, by the exhibition of these phantasmagoric forms, from the cruel weight and hardness of the reality (hlm.65)”. (“Mungkin, hal ini merupakan insting untuk menyembuhkan diri sendiri dari beban yang kejam dan kerasnya kenyataan dengan cara bentuk fantasmagoric phantasmagoric ”). Dengan demikian involuntary actions adalah tindakan yang dilakukan secara naluriah untuk mengurangi tegangan dengan cara mengangan-angan seperti yang dilakukan Hester.
Hati nurani merupakan kesadaran dalam diri seseorang untuk mengambil pilihan antara yang baik dan buruk. Hati nurani yang menyiksa Dimmesdale dan kemudian membawanya untuk membeberkan rahasianya. Dia dikejar-kejar perasaan bersalah karena dia telah melakukan tindakan yang melanggar norma-norma yang berlaku pada waktu itu.
Bagaimanakah nilai-nilai moral dapat mempengaruhi seseorang? Orangtua mengajarkan kepada anak-anaknya nilai-nilai yang harus diketahui dan ditaati sesuai dengan tempat di mana mereka hidup. Mereka akan memuji bahkan memberinya hadiah apabila telah melakukan seperti yang telah mereka ajarkan, sebaliknya mereka akan menghukum apabila melanggar nilai-nilai itu.
Dengan demikian sejak kecil mereka berusaha menyesuaikan tindakan mereka dengan ajaran-ajaran orang tua dan lama kelamaan menjadi kontrol dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian dikenal dengan hati nurani. Dengan kata lain hati nurani dapat dikatakan sebagai bawaan alam yang ada pada setiap manusia yang kemudian dibentuk oleh lingkungan tertentu tempat seseorang dibesarkan. Jadi hati nurani merupakan perasaan khusus yang mampu mengontrol manusia dalam bertindak.
Oleh karena itu, penderitaan Dimmesdale dapat dipahami karena dia telah melanggar nilai-nilai yang ada. Apalagi dia adalah seorang pendeta yang semua perbuatan dan kata-katanya menjadi contoh umatnya. Hawthorne dalam karyanya juga menggambarkan Chillingworth sebagai hati nurani yang tampak. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan olehnya kepada Dimmesdale, secara tidak langsung membuat Dimmesdale semakin merasa bersalah.
Dalam The Scarlet Letter Hawthorne sering menggunakan kata-kata yang berkaitan erat dengan perasaan yaitu kata love (cinta), hate (benci), grief (sedih), anguish (marah), dan joy (gembira). Emosi dalam karya ini sering berganti-ganti maknanya. Emosi dapat berubah menjadi tinggi, rendah atau tajam tergantung pada situasi dan keadaan tertentu. Sering sekali perasaan ini dipengaruhi oleh pikiran. Tindakan yang dihasilkan dari gabungan antara perasaan dan pikiran tidak lagi dikatakan sebagai tindakan secara insting tetapi tindakan yang sudah diperhitungkan terlebih dahulu.
Pada Bab XV, Hawthorne memperlihatkan bagaimana perasaan Hester pada Chillingworth, suaminya. Dia menikah dengan Chillingworth pada waktu dia masih polos (hlm.169) Dia tidak mencintai juga tidak membencinya. Akan tetapi, sekarang dia sangat membenci Chillingworth karena dia telah menyiksa perasaannya dan perasaan Dimmesdale, laki-laki yang dia cintai. Hester berpikir bahwa Chillingworth yang membuat Dimmesdale dan dirinya menderita. Semakin dia memikirkan Chillingworth semakin dia membencinya. Di “Another View of Hester” Hawthorne lebih lanjut menunjukkan bahwa perasaan dapat dimodifikasi atau disalurkan dalam bentuk lain. Hester Prynne telah mengalihkan cintanya pada Dimmesdale ke orang-orang miskin dan menderita.
Dengan mengalihkan cintanya pada orang-orang yang menderita, tidak berarti Hester tidak mencintai Dimmesdale lagi. Ini terbukti pada waktu mereka bertemu di hutan. Cinta mereka mekar kembali. Hawthorne menggambarkan bahwa emosi yang ditekan secara berlebihan akan muncul dalam sikap atau tindakan yang tidak pada biasanya. Reaksi ini ditunjukkan oleh Dimmesdale setelah dia bertemu dan berbicara di hutan. Dimmesdale yang merasa bebas dari beban yang menghimpit selama ini dengan penuh kegembiraan berlari-lari kecil sepanjang perjalanan pulang, tanpa terlihat sama sekali bahwa dia sedang menderita.
Pengertian “perasaan” sering pula diekspresikan dengan kata “heart” dalam The Scarlet Letter. Dalam percakapan dengan Hester, Dimmesdale mengatakan kalau saja ada teman atau musuh sekalipun yang dapat diajak berbicara untuk melepaskan rahasia yang disimpannya selama ini mungkin dia akan merasa bebannya lebih ringan . Hester menjawab bahwa sebenarnya Dimmesdale sudah mempunyai teman atau musuh seperti yang diinginkannya, bahkan telah hidup satu atap selama ini. Mengetahui bahwa orang-orang yang dimaksud adalah suami Hester, seseorang yang sangat ia benci, Dimmesdale menangis karena tidak mampu menahan perasaannya (hlm.185).
Dengan menggunakan kata-kata recoil of my heart Hawthorne menunjukkan bahwa secara naluriah Dimmesdale mengetahui siapa Chillingworth itu. Akan tetapi, sebagai seorang intelektual, dia menyingkirkan perasaan seperti itu. dia berpikir bahwa apa yang dilakukan Chillingworth sebenarnya tidak salah karena dia hanya memberi nasehat yang menjadi salah satu kewajibannya sebagai seorang ahli medis, dan kata-kata Chillingworth banyak yang mengena. Secara nalar dia berusaha keras untuk menerima Chillingworth, tetapi perasaannya sangat bertolak belakang. Dia telah gagal untuk mengatasi bahkan untuk mengurangi sedikit kebenciannya pada Chillingworth.
Uraian di ats menunjukkan bahwa perasaan atau hati (heart) dikontraskan oleh Hawthorne dengan akal (head). Hawthorne memperlihatkan bahwa perasaan lebih kuat dari pada akal. Manusia sebenarnya menempatkan akal lebih tinggi dari pada perasaan. Perkembangan akal telah membedakan manusia dari mahluk lain di dunia. karena memiliki akal manusia mampu mengembangkan dirinya, menyampaikan pikiran-pikiran, pandangan hidup, keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaannya. Pada dasarnya kekuatan akal telah mengubah manusia dari keadaan yang serba tidak menentu dan liar menjadi lebih teratur dan terarah. Akal telah membawa manusia pada kehidupan yang berbudaya.
Oleh karena itu, peradaban sering dihubungkan dengan akal daripada rasa, tetapi karena perasaan merupakan dorongan alamiah yang dimiliki setiap manusia maka perasaan tidak dapat diabaikan perannya. Bahkan kadang-kadang perasaan lebih kuat dorongannya dari pada akal seperti yang dialami oleh Dimmesdale. Apa yang dirasakannya tidak keliru.
Namun demikian, dalam peradaban manusia yang hanya menuruti perasaannya saja dianggap tidak berbudaya seperti Hester yang “roamed as freely as the wild Indian in his woods.” (hlm. 90), ”Berkeliaran bebas seperti orang Indian di dalam hutan.”