Terpilihnya Sandiaga Uno sebagai cawapres yang akan mendampingi Prabowo Subianto pada Pilpres 2019 menimbulkan sejumlah implikasi yang menyulitkan posisi Rizieq Shihab sebagai lokomotif gerakan 212. Kenyataan itu bisa pula dibaca sebagai indikasi memudarnya pengaruh politik dan melemahnya posisi tawar sang Imam Besar vis a vis Prabowo dan partai koalisinya.
Umara cum pengusaha Sandiaga Uno dengan mudah menggusur sederet nama ulama yang direkomendasikan Ijtima Ulama. Seluruh lobi dan tekanan (termasuk ancaman pembatalan dukungan) tokoh-tokoh GNPF-U dan PA-212 terhadap Prabowo, agar menaati amanat Rizieq Shihab, sama sekali tak mujarab.
Dalam kalkulasi politik, sebenarnya sikap realistis Prabowo itu sangat bisa dipahami mengingat hubungan yang dibangun antara dirinya dan Rizieq Shihab selama ini merupakan kongsi strategis .
Meski dalam pidato sambutan (melalui sambungan telepon) saat pembukaan acara Ijtima Ulama, Rizieq Shihab berusaha meyakinkan Prabowo agar tak risau soal elektabilitas, logistik, dan pos pemenangan karena para ulama akan mendukungnya habis-habisan jika ia berpasangan dengan seorang ulama, rupanya Sandiaga Uno terlihat lebih menjanjikan secara finansial dan elektoral di mata Prabowo.
Sandiaga yang pengusaha muda diproyeksikan untuk merebut suara pemilih milenial. Sementara untuk tetap menarik suara kalangan Islam, mantan wakil gubernur DKI itu bisa juga didandani sebagai pribadi yang religius dengan jalan menyematkan predikat santri Post-Islamisme.
Keputusan itu sekaligus menunjukkan bahwa Prabowo percaya diri dengan modal politik yang dimilikinya, dengan atau tanpa dukungan Rizieq Shihab. Capres penantang itu tidak khawatir bahwa pilihannya akan menyebabkan ia kehilangan suara umat. Ia menyadari sepenuhnya bahwa citra dirinya sebagai “capres pilihan ulama” sudah telanjur tak tergoyahkan.
Walaupun Prabowo Subianto merupakan seorang nasionalis sekuler dan sebagian keluarganya bahkan nonmuslim, namun sejak Pilpres 2014 di mana ia berkoalisi dengan PKS, dan didukung oleh para ulama dan ormas yang sehaluan (termasuk Rizieq Shihab dan FPI tentu saja), mantan menantu Soeharto itu telah di-branding sedemikian rupa sebagai seorang pemimpin Islam.
Sejak saat itu, perjalanan politik Prabowo seolah bersenyawa dengan agenda “umat Islam” melawan “rezim pembenci Islam”. Kesan persenyawaan ini kian menghangat saat mencuat kasus “al-Maidah”, dan mencapai titik didih pada Pilkada DKI yang mengantarkan Anies – Sandi ke kursi gubernur dan wakil gubernur.
Relasi semacam itulah yang terus berlanjut dan berujung pada digelarnya Ijtima Ulama. Melalui forum itu Rizieq Shihab merekomendasikan dua poin (satu paket): Prabowo sebagai capres dan Salim Segaf al-Jufri atau Abdul Somad Batubara sebagai cawapres (yang disebut terakhir in kemudian menolak dicalonkan). Rekomendasi soal capres diterima dengan baik oleh Prabowo, tapi tidak untuk cawapresnya.
Prabowo melaju ke KPU dengan menggandeng Sandiaga Uno. Beberapa saat sebelumnya, dalam salah satu pertemuan yang membahas soal cawapres, ketua DPP FPI Sobri Lubis sempat mengungkapkan kepada Prabowo bahwa dipilihnya Sandiaga Uno itu tidak sesuai arahan Rizieq Shihab, dan mengingatkan bahwa ulama akan menarik dukungannya.
Dengan tegas Prabowo menjawab, “Silakan tidak mendukung saya. Tapi saya akan tetap memperjuangkan kepentingan umat” (Majalah Tempo, 11/8). Dalam perspektif komunikasi politik, sesungguhnya Prabowo sedang mengatakan bahwa tanpa dukungan Rizieq Shihab pun, dirinya akan tetap dilirik umat.
Branding Prabowo sebagai “cawapres Islam” dan lawan dari “Jokowi yang anti-Islam” yang sudah begitu kuat bercokol di benak umat Islam 212 itu, tidak akan runtuh hanya oleh pembatalan dukungan seorang Rizieq Shihab. Dan kalkulasi Prabowo terbukti jitu.
Di luar resistensi pemimpin partai gurem PBB Yusril Ihza Mahendra dan perlawanan seporadis Sobri Lubis yang menyatakan akan membatalkan dukungannya terhadap Prabowo, mayoritas unsur ulama di tubuh GNPF-U dan segenap umat Islam 212 tetap mendukung Prabowo, tanpa perlu menungu komando Rizieq Shihab.
Kecenderungan arah dukungan kepada Prabowo – Sandi itu tercermin dari pernyataan sejumlah tokoh agama dan aktivis kubu Keumatan seperti Novel Bamukmin, Muhammad Khathath, Yusuf Martak, Haikal Hassan, Eggi Sudjana, dll.
Jadi, meski secara resmi GNPF-U belum menentukan sikap lantaran masih menunggu Ijtima Ulama II sebagaimana dititahkan Rizieq Shihab, secara tidak langsung sebagian besar tokohnya telah mem-fait accompli sang Imam Besar agar tetap mendukung pasangan itu.
Prabowo tampaknya juga telah memperhitungkan bahwa sangat kecil kemungkinan Rizieq Shihab akan berbalik menyokong Jokowi. Mantan Danjen Kopassus itu sepertinya membaca bahwa sang tokoh utama gerakan 212 tak akan mengambil risiko kehilangan pamor lantaran melawan arus umatnya sendiri.
Keakuratan kalkulasi Prabowo menyangkut kekuatan dan manfaat Rizieq Shihab bagi kepentingan elektoralnya kian terlihat dari hasil survei LSI yang dirilis pada 21 Agustus 2018. Menurut peneliti senior Adjie Alfaraby, seandainya Rizieq Shihab mendukung Jokowi – Ma’ruf Amin, tidak akan terjadi penambahan suara signifikan bagi pasangan itu lantaran faktor pendukung yang sudah sangat berseberangan.
Dari data survei yang sama, terungkap ada sekitar 18 persen undecided voters. Mengingat karakter pendukung kedua capres yang relatif telah terpola, maka sangat mungkin sebagian besar dari mereka yang belum menentukan pilihan itu merupakan para pemilih rasional yang arah suaranya akan ditentukan oleh efektifitas kampanye dan penjabaran program masing-masing kandidat.
Sementara mereka yang belum menentukan pilihan lantaran masih benar-benar menunggu komando Rizieq Shihab hanya terbatas pada anggota dan simpatisan FPI, serta sebagian kelompok habaib. Dan, jumlah loyalis sejati yang tidak akan pernah melengos pada apa pun yang menjadi keputusan politik Rizieq Shihab itu tidak terlampau besar.
Kedigdayaan Rizieq Shihab, yang terlihat dari kemampuannya mengumpulkan massa dalam jumlah fantastis saat aksi-aksi unjuk rasa menuntut penangkapan Ahok, tidak bisa lagi dijadikan ukuran. Terlepas dari kepiawaiannya berorasi, memilih isu, dan membangun jaringan, banyak faktor eksternal dan variabel temporal yang membantu Rizieq Shihab berjaya membangun gerakan massa akbar saat itu.
Rasa ketersinggungan agama, sentimen rasial, kepentingan politik Pilkada DKI, kekuatan ologarki, partai-partai oposisi, kelompok pengusung Khilafah semacam HTI, dll, merupakan elemen-elemen yang berkelindan membentuk simpul besar yang melambungkan Rizieq Shihab ke atas pucuk komando gerakan.
Itulah saat di mana Rizieq Shihab berdiri tegak di puncak piramida massa raksasa, mengenakan jubah Imam Besar, dan beberapa kali dengan lantang meneriakkan ancaman revolusi. Namun ruang dan waktu tidak selalu mampu mempertahankan keajekan momentum yang membuat ia bisa terus menerus bersinar seperti itu.
Dan meredupnya bintang politik Rizieq Shihab dimulai saat ia berangkat umrah bersama seluruh keluarganya pada akhir April 2017, di tengah-tengah meruyaknya kasus chat porno yang diduga melibatkan dirinya dan Ketua Yayasan Solidaritas Sahabat Cendana Firza Husein. Sejak saat itu Rizieq Shihab dan keluarga menetap di Arab Saudi.
Tentu saja kepergian itu ramai dikaitkan sebagai upaya Rizieq Shihab menghindari kasus-kasus hukum (termasuk antara lain kasus penghinaan Pancasila) yang sedang merundung. Sementara Rizieq Shihab sendiri menegaskan bahwa kasus dugaan chat mesum itu fitnah belaka, dan kepergiannya ke Mekah merupakan hijrah demi menghindari ancaman teror terhadap diri dan keluarganya, juga ancaman kriminalisasi ulama oleh rezim.
Ia memang tetap merawat komunikasi dengan pengikutnya melalui pesan-pesan berbentuk teks, meme, video, rekaman suara, dan sambungan telepon, tetapi persoalan jarak yang merentang panjang tak bisa merawat intensitas kepemimpinan pada level seperti saat ia masih berada di tengah-tengah umatnya.
Meski partai-partai oposisi mengapitalisasi “hijrahnya” Rizieq Shihab sebagai amunisi menyerang pemerintah dengan menabalkan stigma rezim “yang suka memenjarakan ulama” kepada Jokowi, dan sejumlah politisi (termasuk Prabowo, dan juga Sudirman Said yang kemudian kalah dalam Pilkada Jateng ) menemui Rizieq Shihab di Mekah meminta dukungan, namun semakin lama sang Imam Besar berada di pengasingan semakin banyak ia harus merelakan terbaginya porsi kepemimpinan umat dengan para mitra aliansi politiknya di tanah air.
Slogan “satu komando” memang terus-menerus dilaungkan, namun semua kerugian yang ditimbulkan oleh persoalan jarak itu, membuat Rizieq Shihab kian kehilangan momentum emas sebagai figur sentral komando.
Keadaan ini diperparah dengan rencana-rencana kepulangannya ke tanah air yang tak pernah kesampaian. Paling tidak ada dua penjelasan mengapa kenyataan itu ikut menggerogoti modal simboliknya sebagai seorang pemimpin infomal dengan gelar sementereng Imam Besar Muslimin Indonesia.
Pertama, rencana kepulangan itu sendiri pada dasarnya bisa dianggap menggugurkan dalih atas kepergiannya ke Mekah, yaitu menghindari kriminalisasi dan ancaman atas keselamatan diri serta keluarganya sebagaimana yang pernah ia sampaikan dalam sebuah rekaman video. Artinya, banyak orang bertanya-tanya, jika alasan kepergiannya benar seperti itu, mengapa ia dan keluarganya beberapa kali berencana pulang?
Kedua, kejadian-kejadian gagal pulang itu sesungguhnya menandakan bahwa kekuatan politik Rizieq Shihab, dengan klaim memiliki jutaan pengikut, belum mampu melahirkan tekanan kepada pemerintah untuk membatalkan “kriminalisasi” atas dirinya dan membiarkan ia pulang dengan aman.
Meski sempat dilangsungkan dua kali pertemuan antara sejumlah ulama 212 dan Jokowi serta kunjungan Kapolri Tito Karnavian kepada Rizieq Shihab di Mekah untuk meniti kemungkinan rekonsiliasi, kenyataan ia belum pulang hingga sekarang (bahkan ketika polisi sudah menerbitkan SP3 atas kasus penghinaan Pancasila dan kasus dugaan chat porno) menunjukkan bahwa posisi tawar sang Imam Besar terlampau lemah berhadapan dengan pemerintah.
Kerapuhan posisi tawar pendiri FPI itu, baik vis a vis pemerintah maupun Prabowo, kian menjadi-jadi dengan terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres yang akan mendampingi Jokowi. Narasi Jokowi antiulama yang selama ini dibangun pihak oposisi dengan sendirinya relatif terbungkam.
Rencana menjadikan kesuksesan Pilkada DKI yang mengusung isu agama sebagai skema pemenangan pada Pilpres 2019, menjadi mentah dan mesti diubah. Sejumlah elite partai koalisi pengusung Prabowo – Sandi sudah mengisyaratkan bahwa persoalan ekonomi sekarang menjadi titik lemah pihak lawan yang akan diincar untuk dihajar, terutama masalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
Lalu beberapa hari lalu terdengar ajakan jihad dan revolusi dari Rizieq Shihab melalui meme yang diposting di akun resmi twitternya, merespons kasus pengadangan acara deklarasi #2019GantiPresiden di beberapa kota belum lama ini.
Jauh sebelumnya, pada Juni 2017, dari Arab Saudi Ketua Dewan Pembina GNPF-U itu juga melantamkan ultimatum: revolusi akan menjadi satu-satunya jalan jika rekonsiliasi yang mensyaratkan penghentian kriminalisasi ulama, penistaan agama, dan penyebaran paham komunisme, liberal, serta paham sesat lainnya, tidak tercapai.
Namun sejauh ini semua seruan jihad dan revolusi itu tidak terealisasi di tanah air. Maka dengan mengendurnya pengaruh politik dan melorotnya posisi tawar pada titik seperti itu, pilihan yang tersedia di atas meja Rizieq Shihab sekarang ini tidak banyak.
Rasanya pilihan yang paling masuk akal adalah memaafkan Prabowo dan tetap mendukungnya dengan mengajukan kontrak politik dengan klausul-klausul yang lunak dan elastis, semisal penghentian “kriminalisasi” ulama dan pembasmian “kebangkitan” PKI.
Opsi seperti itu selain bisa menyelamatkan muka Ijtima Ulama di mata publik, juga akan menjaga keharmonisan irama politik antara Rizieq Shihab dan umat Islam 212. Hal itu sedikit banyak juga akan mendatangkan tambahan suara bagi Prabowo.
Namun risiko yang dihadapi adalah penundaan kepulangan Rizieq Shihab bisa jadi hingga 5 tahun lagi apabila Prabowo ternyata tak berhasil memenangkan pemilu. Dan jika itu yang terjadi, selain akan menimbulkan perkara pendanaan dan keimigrasian selama masa tinggal di luar negeri, kemungkinan juga bakal semakin memelorotkan karisma politiknya.
Opsi berikutnya adalah bersikap netral. Pilihan ini relatif lebih aman meski bukan tanpa risiko. Lagi-lagi kehilangan kewibawaan akan menjadi taruhannya. Sebab, bersikap abstain dalam situasi kontestansi yang diperkirakan akan berlansung sengit, bisa kian menggerus peran Rizieq Shihab di dunia perpolitikan Indonesia.
Jika tidak ada perubahan radikal (akibat kejadian luar biasa) pada peta politik di Indonesia dalam rentang waktu sekitar 7 bulan ke depan sebelum Pilpres, pilihan yang tersedia bagi Rizieq Shihab hanya itu-itu saja dan semuanya mengandung risiko.
Maka kita hanya bisa berharap dan berdoa, apa pun keputusan yang bakal dihasilkan Ijtima Ulama II yang kabarnya akan digelar pada pertengahan bulan ini, mampu membawa hikmah dan kebaikan bagi Rizieq Shihab sendiri, bagi pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin dan Prabowo – Sandi, dan bagi seluruh bangsa Indonesia.