Kamis, Maret 28, 2024

Risma dan Kota Cerdas Surabaya

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Foto udara pemukiman padat penduduk di kota Surabaya, Jawa Timur. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Foto udara pemukiman padat penduduk di kota Surabaya, Jawa Timur. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Salah satu gagasan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mewujudkan kota yang makin maju dan pintar adalah memanfaatkan teknologi internet untuk membangun Surabaya menjadi Kota Cerdas (Smart City). Dengan mengembangkan dan memanfaatkan teknologi internet dan pelayanan sistem online, anggaran pemerintah daerah untuk birokrasi bisa dihemat, sekaligus meningkatkan transparansi dan kecepatan dalam pelayanan publik.

Menurut Florida (2002), Smart City adalah sebuah kota yang didukung oleh manusia-manusia yang kreatif dalam bekerja, jejaring pengetahuan dan lingkungan yang nyaman, dan berbasis pada teknologi komunikasi dan informasi–termasuk dalam proses pengambilan keputusan publik. Sudahkah pemerintah dan masyarakat Surabaya melakukannya?

Hingga tahun 2015, banyak kemajuan di Surabaya. Dalam dua-tiga tahun terakhir, Surabaya tumbuh menjadi kota hijau dengan taman-taman yang cantik dan deretan bunga-bunga yang menarik di berbagai jalan protokol. Pelaksanaan program e-procurement dalam pengadaan dan lelang proyek juga menjadi salah satu ikon keberhasilan pembangunan Kota Surabaya menuju transparansi dan akuntabel.

Ketika Surabaya mengklaim dan diakui sebagai kota yang “green and clean” dan transparan, apakah dalam indikator-indikator kota cerdas yang lain Surabaya juga berhasil mewujudkannya? Sejauhmana ekonomi kreatif telah berkembang? Benarkah Surabaya layak dan nyaman sebagai tempat tinggal yang relatif bebas dari ancaman kriminalitas? Sejauhmana masyarakat kota memiliki tingkat literasi dan akses memadai serta mampu memanfaatkan teknologi informasi untuk kelangsungan hidupnya?

Di balik berbagai kemajuan tadi, ada indikasi kuat itu tercapai karena peran aktif lembaga birokrasi dan figur kepala daerah yang kuat. Berbagai inisiatif dalam membangun kemajuan Kota Surabaya sering masih bersifat top down, yang implikasinya bukan tidak mungkin malah kontraproduktif.

Secara teoritis, kegiatan pembangunan yang dikembangkan dan diinisiasi oleh dominasi aparatur birokrasi, bukan mustahil berisiko mematikan potensi swakarsa masyarakat.

Walikota Surabaya Tri Rismaharini membatik jumputan bersama pada acara Seribu Perempuan Membuat Kain Jumputan Bersama di Surabaya, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Didik Suhartono

Keberhasilan Surabaya mewujudkan kawasan green and clean, misalnya, apakah itu akan tetap berkelanjutan jika kota ini tak lagi dipimpin Wali Kota seperti Risma? Yang mengkhawatirkan dari ketergantungan pada figur pemimpin militan dan tak kenal lelah seperti Risma adalah, inisiatif dan partisipasi masyarakat lebih berkembang karena mobilisasi daripada kesadaran mereka sendiri.

Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi sebuah kota yang mengklaim sebagai Smart City agar perkembangan kota itu benar-benar berbasis teknologi komunikasi dan informasi.

Pertama, berkaitan dengan kemampuan kota memanfaatkan teknologi komunikasi dan infomasi untuk menangani berbagai masalah yang dihadapi warga, seperti kemacetan lalu lintas, penyediaan air bersih, banjir, dan peningkatan kualitas layanan publik. Kota Seoul, di Korea Selatan, misalnya, adalah salah satu kota cerdas percontohan dunia karena terbukti mampu memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Warga di sana bukan hanya memperoleh akses untuk mengetahui seluruh rencana pengembangan kota, tapi juga bisa memanfaatkan informasi yang ada untuk kelangsungan hidup dan usaha mereka.

Kedua, berkaitan dengan kemampuan warga kota mengembangkan kegiatan ekonomi kreatif berbasis dukungan teknologi informasi. Sebuah kota yang mayoritas penduduknya masih didominasi kaum migran miskin dan pekerja di sektor informal kota, serta usaha di level mikro dan kecil yang belum berdaya, maka label kota cerdas sebetulnya tak sepenuhnya tepat disematkan.

Artinya, meski Kota Surabaya meraih kota terbaik pada penghargaan Anugerah Kota Cerdas Indonesia 2015 , faktanya masih banyak warga yang tingkat literasinya rendah dan belum akrab memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung usaha yang ditekuni. Maka, sebutan dan klaim sebagai Kota Cerdas sepertinya ada yang janggal.

Seperti diketahui, Smart City didefinisikan sebagai  kota yang mampu menggunakan sumber daya manusia, modal sosial, dan infrastruktur telekomunikasi modern untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan kualitas kehidupan yang tinggi, dengan manajemen sumber daya yang bijaksana melalui pemerintahan berbasis partisipasi masyarakat (Caragliu, 2010).

Sepanjang penggunaan teknologi informasi dan internet masih banyak dipergunakan warga kota untuk pleasure dan belum dimanfaatkan untuk mendukung usaha kreatif masyarakat, maka sepanjang itu pula tahap menuju Smart City yang sesungguhnya masih jauh dari harapan. Masih banyak agenda yang harus dikerjakan.

 

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.