Ibarat kenaikan kelas, ponten rapot rezim Joko Widodo dalam hal kebebasan beragama selama periode pertama rata-rata merah.
Pada Nawacita 2014-2019, Jokowi menjanjikan akan menaruh perhatian pada isu diskriminasi. Nyatanya, di bawah kepemimpinannya diskriminasi berdasarkan agama dan keyakinan tidak berkurang. Alih-alih meningkat.
Para pegiat kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) berkampanye untuk Jokowi pada 2014. Rekam jejaknya memang menjanjikan semasa menjabat sebagai wali kota Surakarta dan gubernur DKI Jakarta. Jokowi dipercaya dapat mengatasi KBB yang pada masa rezim Susilo Bambang Yudhoyono kedodoran.
Selama di Surakarta, Jokowi menandatangani Peraturan Walikota tentang pendirian rumah ibadah, turunan Peraturan Bersama Menteri (PBM) 8/9 tahun 2016. Regulasi tersebut terbukti mempermudah pendirian rumah ibadah di kota tersebut.
Semasa menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, Jokowi dengan tegas mempertahankan Susan Jasmine Zulkifli sebagai lurah Lenteng Agung di tengah penolakan warga karena beda keyakinan. Jejak ini cukup meyakinkan bahwa harapan pemenuhan KBB di Indonesia ada di tangannya.
Harapan tinggal harapan. Alih-alih jejak baik, pemerintahan Jokowi periode pertama malah cenderung menurun.
Freedom House, lembaga pemeringkat demokrasi di dunia, menempatkan Indonesia sebagai partly free pada 2014. Kala itu, kita semua berharap Jokowi akan mengembalikan menjadi negara free. Kepemimpinan di Solo dan DKI Jakarta dipercaya sebagai modal untuk bisa melakukannya.
Faktanya, Indonesia sampai sekarang masih menempati peringkat partly free atau setengah bebas. Nilai paling jeblok pada aspek kebebasan sipil.
Kebebasan sipil di antaranya disandera UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Sejak 2008, SAFEnet mencatat 245 kasus yang dilaporkan menggunakan UU tersebut.
Terkait kebebasan beragama, UU ITE menjerat mereka yang dituding melakukan pernyataan yang dinilai penodaan agama di media sosial. Sepanjang 2018-2019, ada 11 kasus yang dilaporkan menggunakan UU ITE terkait pasal penodaan agama.
Skor kebebasan beragama pada rezim Jokowi secara spesifik juga jeblok. Lembaga pemeringkat kebebasan beragama di dunia seperti Pew Research Center (2016) mencatat Indonesia di antara negara di mana tingkat pembatasan negara terhadap kebebasan beragama dan kekerasan sosial keagamaan tinggi.
Dari sisi pembatasan negara terhadap kebebasan beragama, Indonesia masuk jajaran negara dengan kategori very high. Sementara dari sisi kekerasan sosial, Indonesia masuk negara dengan kategori high, yang artinya serangan fisik dari masyarakat kepada kelompok minoritas masih tinggi. Baik pada aspek regulasi negara dan sosial, sama jebloknya.
Penilaian di atas valid. Pada segi regulasi negara, Indonesia menjadi negara yang semakin membatasi ruang gerak kebebasan. Pasal Penodaan Agama pada KUHP telah terbukti menjerat mereka yang tidak bersalah. Dua kasus sebagai ilustrasi adalah kriminalisasi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mantan gubernur DKI jakarta, dan Meiliana, di Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Meiliana dijerat pasal penodaan agama karena memprotes pengeras suara masjid. Studi PUSAD Paramadina pada kasus ini menunjukkan bahwa Meiliana keberatan dengan suara pengeras masjid, dan tidak bermaksud menentang azan, panggilan jelang ibadah umat Islam. Pasal ini jelas pasal karet.
Serupa Meiliana, Ahok dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena dianggap melanggar pasal penodaan agama 2017. Basuki dituding menodai Islam setelah mengeluarkan pernyataan “… dibohongi pakai surat al-Maidah 51.” Hakim menilai pernyataan Ahok telah merendahkan Islam.
Pengalaman Ahok dan Meiliana memperlihatkan bahwa siapa saja, pada posisi apa pun, dapat menjadi korban pasal karet tersebut.
Alih-alih menghapus pasal karet itu, Indonesia di bawah rezim Jokowi malah menerbitkan regulasi baru yang membatasi kebebasan. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-undangan (Perppu) 2013 pada tahun 2017 menjadi dasar pembubaran organisasi kemasyarakatan berbasis agama seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Pembubaran HTI menjadi preseden buruk bagi kebebasan berkumpul dan berserikat. Siapa saja yang bertentangan dengan rezim akan senasib. Kali ini HTI, mungkin besok organisasi Anda!
Pada rezim Jokowi juga Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pembatalan peraturan daerah hanya bisa dilakukan melalui pengadilan, bukan kewenangan Kementerian Dalam Negeri. Keputusan ini membuat peraturan daerah yang bernuansa agama dan diskriminatif langgeng.
Satu-satunya kemajuan dalam hal regulasi terkait agama di rezim ini adalah regulasi penganut agama leluhur. Mahkamah Konstitusi menerima gugatan uji materi terhadap UU Adminduk tahun 2013, revisi tahun 2006. Keputusan ini membuka ruang kepada penganut agama leluhur tercatat sebagai warga negara.
Rezim Jokowi juga menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 2019 tentang pelaksanaan UU Adminduk 2013. Bagian keenam PP tersebut mengatur “Tata Cara Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Aturan ini memberi keleluasaan penganut agama leluhur bernafas, walau sedikit.
Mereka sayangnya tidak dapat menuliskan nama agamanya, melainkan direduksi menjadi aliran kepercayaan. Hal ini problematis karena tidak semua agama leluhur adalah aliran kepercayaan. Demikian sebaliknya.
Selain regulasi negara, rapot merah rezim Jokowi disumbang oleh aksi kekerasan dan diskriminasi di level masyarakat sipil. Setiap tahun, sejak Jokowi memimpin negeri ini, kekerasan besar terjadi. Setahun memimpin, 2015, dua kasus meledak di ujung timur dan barat Indonesia: kekerasan di Tolikara dan Aceh Singkil.
Pada 2016, kekerasan terkait protes terhadap suara adzan terjadi di Tanjung Balai. Massa merusak sejumlah vihara dan fasilitas umum lainnya dalam semalam. Setahun berselang, 2017, protes terhadap pernyataan Ahok memicu aksi massa 212, yang sebagiannya melibatkan aksi kekerasan.
Jemaah Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat, diserang di hari ketiga Ramadhan 2018. Enam rumah dan beberapa kendaraan roda dua rusak akibat serangan tersebut.
Kasus-kasus kekerasan tersebut terbukti tidak bisa diantisipasi, betapapun informasi pada setiap insiden telah beredar sebelumnya.
Lain kekerasan, lain cerita diskriminasi rezim Jokowi. Jika pada periode SBY, diskriminasi berupa pencekalan diskusi banyak menimpa mereka yang dituduh liberal. Di bawah rezim Jokowi, kalangan konservatif atau mereka yang dilabeli radikal menjadi sasaran pencekalan.
Tokoh HTI, Felix Siauw, mengalami apa yang dulu dialami Ulil Abshar Abdalla, tokoh liberal progresif Muslim Indonesia, dicekal berceramah. Keduanya merasakan diskriminasi di rezim berbeda.
Lebih jauh, Menteri Agama mengeluarkan edaran tentang dai moderat. Edaran ini menimbulkan kontroversi karena ada tuduhan mereka yang tidak masuk list moderat berarti radikal.
Pada aspek infrastruktur, Jokowi berhasil menyelesaikan proyek mangkrak. Kasus diskriminasi mangkrak, ia tak berkutik. Warga Ahmadiyah mengungsi ke Transito 13 tahun silam pasca penyerangan warga. Mereka mangkrak di pengungsian.
Demikian juga dengan pengungsi di Sidoarjo, para penganut Syiah. Mereka belum dapat kembali ke kampung halaman di Nangkernang, Sampang. Rezim Jokowi pada dua kasus tersebut tidak mampu menyelesaikan masalah ini.
Catatan baik pada masa rezim ini adalah Jemaah Ahmadiyah di Kuningan dapat mengantongi Kartu Tanda Penduduk (KTP) setelah dua tahun tidak jelas. Pada kasus tersebut, politik lokal berperan sangat besar daripada keputusan politik penguasa tertinggi di ibu kota.
Singkatnya, ponten rapor rezim Jokowi merah. Akankah rezim Jokowi hanya akan dikenang sebagai bapak pembangunan tanpa mampu memberi rasa keadilan kepada warga negara? Mampukah Jokowi membuktikannya di periode kedua dengan pendamping baru, KH Ma’ruf Amin? Kita lihat.
Kolom terkait
Kenapa Kaum Minoritas Sulit Membangun Rumah Ibadah?
Rusuh Tanjung Balai: Perlukah Mendefinisikan Agama?
Darurat Kebebasan Pendirian Rumah Ibadah