Selasa, Desember 16, 2025

Revolusi Bahasa Ngũgĩ wa Thiong’o: Ketika Sastrawan Afrika Meninggalkan Bahasa Kolonial

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Pada 17 Juli 1979, dunia sastra terguncang oleh pidato Ngũgĩ wa Thiong’o di Nairobi. Baru saja keluar dari penjara karena mengkritik korupsi dan ketidakadilan di Kenya, novelis terkemuka ini membuat pernyataan mengejutkan: dia mempertanyakan kenapa sastra Afrika harus ditulis dalam bahasa Eropa.

Ini bukanlah hal sepele, mengingat Ngũgĩ adalah salah satu pendiri tradisi sastra Afrika dalam bahasa Inggris. Karya-karyanya, seperti Weep Not, Child (1964), sangat populer dan dianggap sebagai bukti bahwa bahasa Inggris bisa diubah oleh masyarakat yang pernah dijajah.

Karyanya begitu dikenal karena Ngũgĩ memasukkan unsur penulis-penulis Inggris yang dia pelajari di universitas-universitas ternama. Karena hal inilah, pidatonya menjadi sebuah manuver yang tak terduga dan memicu perdebatan sengit.

Ngũgĩ, yang saat itu sudah menjadi tokoh mapan dalam sastra dunia dan pemikiran pascakolonial, memang pernah mempertanyakan dominasi bahasa Inggris. Dalam manifesto On the Abolition of the English Department (1968), ia dan rekan-rekannya di Universitas Nairobi menantang hegemoni bahasa kolonial. Namun, ia tidak pernah benar-benar menyingkirkannya. Selama bertahun-tahun, Ngũgĩ percaya—seperti banyak elit pascakolonial lainnya—bahwa bahasa penjajah bisa menjadi alat revolusioner.

Semua itu berubah. Tiba-tiba, Ngũgĩ membuat keputusan radikal: ia akan meninggalkan bahasa Inggris dan mulai menulis dalam Gĩkũyũ, bahasa ibunya.

Keputusan ini membuat Decolonizing Language, yang menjadi karya terakhir Ngũgĩ sebelum meninggal di usia 87, terasa sangat pas. Buku yang berisi 20 esai ini menegaskan kembali posisinya, tapi juga menambahkan urgensi baru. Ngũgĩ menyoroti bahaya yang dihadapi bahasa-bahasa ibu di seluruh dunia, dari Irlandia hingga Norwegia. Ia menyebut bahasa ibu sebagai “jantung keberadaan kita” dan benteng terakhir melawan “dominasi spiritual”. Decolonizing Language adalah sebuah manifesto yang menolak anggapan bahwa bahasa-bahasa Eropa itu universal atau lebih unggul. Sebaliknya, buku ini berani menyatakan bahwa bahasa ibu-lah yang menjadi sumber kekuatan dan identitas sejati.

Merasa terbawa suasana saat membaca buku terakhir Ngũgĩ dan mengenang kembali percakapan kami saat ia mengasingkan diri pada tahun 1982, saya teringat betul momen krusial di tahun 1979. Saat itu, saya baru saja menjadi editor magang di Heinemann Educational Books, penerbit sastra Afrika terkemuka.

Tugas pertama saya adalah mengedit novel pertamanya dalam bahasa Gĩkũyũ, Devil on the Cross. Ngũgĩ punya dua permintaan sederhana: ia ingin novelnya diedit dengan standar yang sama seperti karya berbahasa Inggris, dan ia ingin novel itu dibaca oleh rakyat biasa, bukan kaum elit.

Melihat senyum puasnya setelah novel itu selesai, saya sadar bahwa menulis dalam bahasa Gĩkũyũ adalah jalan pulang baginya. Ngũgĩ sering menceritakan bagaimana novel itu disambut hangat oleh masyarakat. Seperti yang ia catat pada tahun 2010, novel itu dibaca di mana-mana—di rumah, di pabrik, bahkan di angkutan umum—dan orang-orang yang melek huruf dengan bangga membacakannya untuk orang lain, seolah-olah menjadi “penulis langsung” dari kisah tersebut.

Keputusan radikal Ngũgĩ untuk meninggalkan bahasa Inggris memicu badai perdebatan. Di satu sisi, ia dipuja sebagai pahlawan oleh para penulis dan aktivis yang selama ini berjuang menggunakan bahasa-bahasa lokal Afrika. Mereka merasa terpinggirkan dalam diskusi pascakolonial yang selalu mengistimewakan bahasa Inggris. Di sisi lain, kritikan tajam datang dari sastrawan besar seperti Chinua Achebe, yang berargumen bahwa bahasa Inggris adalah alat vital untuk mempersatukan bangsa-bangsa multi-etnis yang memiliki beragam bahasa. Namun, Ngũgĩ tak gentar. Ia memulai “perang salib” global untuk membela bahasa-bahasa ibu, menyebutnya sebagai senjata utama dalam dekolonisasi pikiran.

- Advertisement -

Dalam kerangka perdebatan inilah, buku Decolonizing Language muncul sebagai sebuah pernyataan pamungkas, semacam wasiat intelektual Ngũgĩ. Buku ini tidak hanya menawarkan diagnosa yang tajam tentang tantangan bahasa ibu dalam dunia yang didominasi hierarki linguistik, tetapi juga menjadi cerminan dari perjalanan pribadinya. Ia adalah sebuah pengakuan jujur akan beban berat yang harus ditanggung oleh mereka yang terpaksa menggunakan bahasa lain, bahasa yang bukan miliknya. Membaca argumen-argumennya yang begitu hidup dan menggugah, terasa begitu pahit karena disajikan tanpa kehadiran penulisnya. Buku ini bukan sekadar kumpulan esai, melainkan sebuah perpisahan yang mengharukan, di mana Ngũgĩ mewariskan api semangatnya untuk terus memperjuangkan bahasa sebagai jantung identitas dan perlawanan.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.