Kamis, Maret 28, 2024

Reshuffle, Jawaban Sense of Crisis Presiden Jokowi

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia

Empat bulan berlalu sejak kasus COVID-19 mulai masuk ke Indonesia, hingga berkembang menjadi krisis kesehatan. Semi-lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diberlakukan tak ayal berdampak pada kehidupan sosial-ekonomi, mengarah pada krisis ekonomi berskala global.

Untuk mencegah mendalamnya krisis, pemerintah memutuskan melakukan pembukaan kegiatan ekonomi (reopening) secara bertahap. Pelan-pelan ekonomi mulai bergerak, tetapi pertumbuhan masih terancam jeblok hingga angka negatif.

Presiden Jokowi menyoroti hal tersebut dalam sidang kabinet tanggal 18 Juni 2020 lalu, dengan merujuk pada data Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang menyatakan kontraksi pertumbuhan ekonomi dunia bisa mencapai minus 6 hingga 7,6 persen.

Dengan nada kesal, Presiden berulang-ulang menyebut situasi krisis hingga 7 kali dalam pidatonya. Presiden menuding tidak adanya sense of crisis dalam jajaran pemerintahan, diulang dua kali dengan meminta tolong agar perasaan terhadap situasi krisis itu disamakan di antara menteri-menterinya.

Selama tiga bulan belakangan Presiden menilai pemerintahan bekerja biasa-biasa saja, menganggap situasinya berlangsung normal. Hal tersebut sangat berbahaya, dan Presiden mengingatkan sampai 6 kali untuk bekerja extra-ordinary dengan menerapkan manajemen krisis yang berbeda total.

Secara khusus Presiden mencontohkan tiga bidang yang paling berkaitan dengan pandemi, yaitu kesehatan, bantuan sosial, dan perekonomian. Dari anggaran kesehatan yang mencapai Rp 75 triliun baru terserap 1,35 persen, di antaranya untuk membayar tunjangan tenaga medis dan peralatan.

Terhadap masyarakat kecil yang paling terdampak pandemi, Presiden mengkritik turunnya bansos yang belum mencapai 100 persen. Padahal bansos sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat, karena itu perlu segera diambil tindakan di lapangan jika terjadi masalah dalam distribusi.

Dalam bidang ekonomi situasinya lebih kompleks, dari sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) hingga perbankan dan industri manufaktur menunggu stimulus ekonomi agar tidak keburu mati. Presiden menekankan kebijakan padat karya untuk mencegah terjadinya PHK besar-besaran.

Presiden mengulangi sebanyak 3 kali bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap 267 juta rakyat. Presiden siap untuk mempertaruhkan reputasi politiknya, dengan membuka kemungkinan mengambil langkah di bidang kebijakan pemerintahan maupun langkah politik.

Hambatan di tingkat regulasi dan kelembagaan akan diselesaikan, dari menerbitkan peraturan menteri, Peraturan Presiden (Perpres), hingga Perppu, atau bahkan membubarkan lembaga dan melakukan reshuffle kabinet bisa saja diambil.

Kemarahan Presiden memang sudah seharusnya dan patut untuk dilakukan. Para menteri adalah pembantu Presiden yang harus melakukan segala instruksi dan target Presiden. Jika para menteri berjalan dengan agendanya sendiri, sudah sepantasnya dan wajib dilakukan pergantian.

Beberapa waktu yang lalu penulis memberikan pandangan dan saran kepada Presiden untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja kabinet perioide kedua selama masa pandemi COVID-19. Pasalnya, Presiden perlu didukung tim yang kompeten bekerja untuk memulihkan perekonomian.

Jauh sebelumnya, ketika sedang proses penyusunan kabinet, penulis juga menulis surat terbuka, bahwa Presiden harus memilih para pembantu yang ahli dan mengerti kehendak Presiden, bekerja sesuai visi Presiden, memiliki keberanian, pekerja keras dan praktis, serta cepat menangkap peluang.

Ekonomi Indonesia menjadi pertaruhan serius jika para menteri tidak melakukan langkah cepat dan tepat. Kepemimpinan mereka diuji, mampukah menghadapi situasi krisis dan sulit. Harus ada terobosan, alih-alih berlindung di balik pandemi sebagai alasan untuk tidak bisa melakukan apa-apa.

Sektor ekonomi menjadi kunci, dengan prioritas penyelamatan UMKM yang menyangkut langsung hidup rakyat banyak. Benar kata Presiden, “jangan tunggu UMKM mati baru kita bantu, tidak ada artinya”. Jangan hanya menghitung kerugian akibat virus, tetapi harus menjadi juru selamat.

Komitmen politik Jokowi sangat jelas dengan menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Supaya komitmen ini sejalan dengan program-program nyata kerakyatan, sebaiknya memang harus segera dilakukan evaluasi serius terhadap para menteri yang dianggap tidak memiliki sense of crisis.

Rendahnya serapan anggaran oleh kementerian dengan alasan berlindung di balik ketakutan atas aturan yang membatasi tidak bisa menjadi pembenaran. Pesan Presiden jelas dan tegas, bahkan jika perlu dikeluarkan lagi Perppu asal menyangkut penyelamatan rakyat.

Pertimbangan kepentingan dan representasi partai politik jangan lagi menjadi indikator utama. Tetapi kepemimpinan, keahlian, kapasitas, kemauan mengabdi, dan melayani rakyat seperti yang ditunjukkan Presiden serta loyalitas kepada visi-misi Presiden, menjadi pertimbangan utama.

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.