Musim penghujan ini sepertinya juga merupakan musim putus cinta bagi pasangan yang awalnya dijadikan relationship goal. Mungkin cuaca yang menyebabkan tidak enak badan ini cocok dipadukan dengan patah hati. Hujan tak tentu, mendung tak habis, ditambah mie rebus dengan telur setengah matang, sambil menonton tayangan drama sinetron Jessica atau Mario Teguh, atau siapa pun yang akan populer selanjutnya.
Musim penghujan ini adalah musim patah hati lintas generasi. Tengok saja pada pasangan generasi Z, Awkarin-Gaga, Raisa-Keenan di generasi Y, dan Brad Pitt-Angelina Jolie di generasi X.
Yang menarik, pasangan ini diidolakan dengan caranya masing-masing: Awkarin-Gaga menjadi tujuan hubungan generasi Z karena dianggap pasangan yang bebas dan bisa menjadi apa pun yang mereka inginkan, tidak peduli apa pandangan orang lain, dan mereka bisa memamerkan apa pun yang mereka lakukan.
Raisa-Keenan dicintai generasi Y karena keduanya sama-sama menarik dan dibayangkan sebagai citra ideal pasangan yang manis. Sedangkan Brad-Angelina digambarkan sebagai pasangan yang mempunyai karakter yang kuat dan aktif dalam kegiatan sosial di generasi X.
Pasangan-pasangan ini diusung sebagai pasangan ideal dan ditunjuk secara aklamasi sebagai #relationshipgoal.
Karenanya, ketika tagar #relationshipgoal muncul di linimasa Twitter dan Instagram saya, saya bisa membayangkan pasangan yang mulai harap-harap cemas. Bukan hanya cemas karena saya tidak bisa menjadi sekuat Angelina, dan saya belum punya kekasih seganteng Brad Pitt, tapi tagar ini menjadi semacam kode yang harus diterjemahkan menjadi aksi: mulai dari jalan-jalan ke tempat eksotik di dalam dan luar negeri, membanjiri pasangan dengan bunga dan hadiah mahal, makan malam di rooftop hotel mewah lantai 69 yang instagram-able, atau melakukan aksi heroik seperti merelakan kulit ayam KFC demi pasangan yang diunggah ke media sosial termutakhir.
Dengan begitu, ketika pasangan ideal ini memutuskan untuk bubar jalan, kita berkumpul dan dirudung perasaanyang sama: “Kok, bisa?”
Parasocial Relationship
Pertanyaannya, “Mengapa kita turut berduka? Lalu, apa hubungannya mereka dengan kita secara pribadi? Mengapa mereka menjadi bagian penting dari hidup kita?”
Saya pribadi tidak mengenal Awkarin atau Raisa, selain dari akun media sosialnya. Mungkin Angelina Jolie adalah tetangga kakak sepupu jauh temannya teman saya, atau Raisa ternyata adalah kenalan adiknya menantu tetangga yang waktu itu punya teman yang tetangganya pernah berfoto dengan Raisa. Tidak lebih dari itu.
Jika saya serius menjawab pertanyaan di atas, pasti tesis saya sudah selesai. Untungnya, Amanda R. Laken (2009) sudah terlebih dahulu menulis tesis yang menjelaskan bagaimana parasocial relationship yang menjadi kunci bagaimana fenomena ini bekerja.
Parasocial relationship didefinisikan sebagai ikatan emosional kuat yang muncul kepada orang yang belum pernah Anda temui atau tidak berelasi dekat dengan Anda. Perasaan ini tumbuh ketika Anda secara aktif mencari informasi lebih lanjut tentang individu tersebut, misalnya dengan membaca artikel, menonton YouTube, dan mengikuti Instagram atau Twitter mereka.
Paparan stimulus yang amat banyak ini membuat individu tidak dapat membedakan antara realitas dan ilusi. Perkembangan teknologi yang ada semakin membaurkan garis yang memisahkan antara selebriti (termasuk selebriti baru di media sosial) dengan fans yang memungkinkan adanya relasi yang dipersepsikan terjadi. Relasi tersebut dimediasi oleh percakapan dunia maya yang membuat kedekatan hanya a mention away.
Karena perasaan nyata tersebut, individu rela menginvestasikan waktu dan perasaannya pada kebahagiaan orang lain, cinta orang lain, dan perpisahan orang lain dengan sungguh-sungguh seakan itu adalah kebahagiaan, cinta, dan perpisahan dirinya.
Dalam hubungan nyata, ilusi ini kemudian memunculkan ekspektasi baru terhadap diri dan pasangan. Mereka yang ingin punya relationship goal orang lain, akan cenderung memaksakan dan memanipulasi untuk mendapatkan relasi yang sama persis kepada pasangannya. Proyeksi akan relasi ideal, yang ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, akan menunjukkan adanya diskrepansi yang lebar.
Hal inilah yang menimbulkan obsesi terhadap hubungan untuk alasan yang berbeda. Relasi diartikan sebagai kompetisi untuk menjadi pasangan dengan ekspektasi palsu. Seakan-akan menunggu momen they live happily ever after, kita terjebak pada ilusi cinta romantis yang tidak akan pernah berakhir.
Kita melupakan atau menutup mata adanya kekurangan dari diri dan pasangan yang justru amat kita nikmati. Dan ketika semua ekspektasi yang dibangun dan diinginkan tidak lagi sesuai dengan kenyataan, kita hanya menunggu dalam berapa musim lagi hubungan tersebut akan berakhir.
Anda tidak harus hidup dengan relationship goal dengan menjadi orang lain, apalagi memaksakan diri menjadi orang lain karena aspek tersebut jauh lebih superfisial dan tidak masuk akal. Tidak perlu memaksa pergi ke luar kota dan makan di restoran mewah, kalau esok hari Anda harus makan mie rebus selama satu minggu.
Satu-satunya cara untuk memperbaiki hubungan adalah dengan membicarakan hal-hal penting dalam hidup sendiri dan memaknai ulang kebahagiaan dan tujuan berelasi.
Anda tidak perlu menjadi Raisa, atau memaksa pasangan Anda untuk menjadi seganteng Brad Pitt. Kalau perlu, biarkan dan berikan kesempatan Raisa untuk menjadi diri Anda sesekali. Kalau Anda dan pasangan sudah telanjur putus, saya temani Anda makan malam ini.