Pada waktu diminta berbicara mengenai Kebudayaan dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Komisi Nasional HAM 26 Juli 2019 lalu, pikiran saya masih dihantui dua peristiwa politik yang terjadi di bulan Juli 2019.
Pertama, rekonsiliasi MRT antara Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto (13/07/2019), yang kedua pertemuan meja makan antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto (24/07/2019).
Dari sudut pandang penanganan kasus-kasus HAM, pertemuan itu merupakan kartu mati bagi harapan pada penegakan HAM di Indonesia, mengingat tokoh yang bertemu presiden untuk berekonsiliasi itu memiliki riwayat pelanggaran HAM.
Sementara Presiden sendiri masih memiliki hutang janji yang belum dibayar untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM di Indonesia selama pemerintahannya. Alih-alih menunaikan janji, pertemuan itu malahan menegaskan Presiden tidak punya komitmen terhadap penyelesaian kasus-kasus HAM. Termasuk indikasi adanya pelanggaran HAM pada rusuh 22-23 Mei 2019 lalu yang juga memerlukan ketegasan hukum. Tapi Presiden toh sudah menjawabnya melalui rekonsiliasi MRT itu.
Dengan kata lain, kemungkinan terbesarnya, segi-segi hukum dan HAM bakal diabaikan ke depannya, sebagai konsekwensi dari kompromi politik antara dua kekuatan politik yang selama proses Pemilu 2019 telah bertikai-tikaian.
Apa yang lebih terusik oleh pertemuan itu adalah perasaan publik. Pertemuan itu mungkin, sesuai dengan cara pandang kaum elit oligarki yang kompromistis, tapi jelas tidak bermanfaat bagi masyarakat banyak yang selama ini telah dipaksa terlibat dalam pertikaian elit itu–yang (tak berbeda dengan kaum elit) juga menginginkan ketenangan melalui keadilan penegakan hukum.
Apalagi bila ternyata (menurut opini yang santer beredar) pertemuan itu hanya pintu depan bagi transaksi politik yang diproses sesudahnya. Lalu, apa dampaknya pada kehidupan kebudayaan?
Sudah umum diketahui, pemimpin memiliki peran sentral sebagai simbol sekaligus teladan dalam tiap-tiap kebudayaan. Konsekwensinya,rusak dan baiknya sebuah proses kebudayaan dapat diukur dari perangai pemimpinnya. Itu sudah menjadi Sunatullah dan berlaku sepanjang masa.
Tak heran kalau Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengatakan “Sesungguhnya kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil… “(Ihya’ Ulumuddin II: 38).
Penguasa, ulama, adalah para pemimpin dalam ranah masing-masing. Sementara ambisi cinta harta dan kedudukan adalah batu ujiannya. Tentu saja tidak ada kehidupan yang lepas dari harta dan kedudukan.
Untuk itu tiap-tiap kebudayaan juga mempunyai sarana untuk menangkalnya, yakni dengan mengedepankan kekuatan moral yang diimplementasikan melalui penegakan hukum, etika, menjaga amanah rakyat, dan sejenisnya itu yang tanggungjawab terberatnya dipikul oleh seorang pemimpin. Pada saat seorang pemimpin bermain-main dengan tanggungjawab semacam itu, maka ia tak lain sedang mempermainkan kebudayaan.
Pertemuan MRT, telah membawa kebudayaan ke dalam kerangka permainan kekuasaan dengan menjadikan rekonsiliasi sebagai topengnya. Lebih gamblang lagi, rekonsiliasi dengan moda transaksi bagi-bagi kekuasaan, pada hakikatnya terlahir akibat sifat tamak (cinta harta dan kedudukan) sebagaimana ungkapan Al Ghazali yang kita kutip di atas .
Kalau Al Ghazali memandang sifat tamak sebagai pangkal kerusakan, bukankah ironis jika pemimpin kita menjadikan transaksi kekuasaan sebagai syarat rekonsiliasi untuk mencapai stabilitas politik? Tak lain, hanyalah kerusakan yang akan diperoleh sesudah itu.
Tentu tidak ada kekuasaan yang luput dari kesalahan, baik akibat sistem maupun akibat kelalaian pemimpin. Namun dalam sejarah budaya manusia, kelalaian dan kesalahan dapat dipulihkan dengan komitmen pemimpin untuk memperbaiki keadaan itu. Syaratnya, harus ada rasa bersalah.
Tanpa rasa bersalah, kebudayaan akan berjalan dalam lupa dan pembenaran-pembenaran. Untuk alasan yang sama pula, dalam kebudayaan tradisi kita, rasa bersalah dipelihara sebagai strategi untuk kehidupan yang berkelanjutan, yang diwujudkan melalui sejumlah ritual tradisi yang kita kenal dengan berbagai istilah seperti ruwatan, tolak bala, dan sebagainya. Pada intinya, ritual-ritual semacam itu didorong oleh pengakuan atas kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan.
Kiranya, rasa bersalah itu pula yang lenyap dalam rekonsiliasi MRT dan meja makan para pemimpin kita. Alih-alih memiliki rasa bersalah, para pemimpin kita rupanya lebih suka membiasakan diri dengan kesalahan-kesalahan. Mentalitas seperti ini pada gilirannya membuat budaya politik menjadi anti kebudayaan.
Dan dalam hubungannya dengan penegakan Hak Asasi Manusia, berarti juga anti penegakan HAM. Mengapa demikian? Karena penegakan HAM pada dasarnya adalah tujuan kebudayaan nasional sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar RI.
HAM dan Kebudayaan Nasional
Hubungan antara HAM dan Kebudayaan (dalam konteks negara), selalu berada di jalur aman dan jalur rawannya sekaligus. Di jalur aman, HAM pada hakikatnya merupakan tujuan kebudayaan. Contohnya hak untuk menjadi bangsa merdeka, merupakan tujuan dari sebuah perjuangan pergerakan menentang penindasan.
Perjuangan mencapai hak merdeka itu menghasilkan budaya yang disebut budaya pergerakan. Di dalamnya ada proses belajar, tokoh-tokoh, dokumen, ilmu, penggunaan tekhnologi, ekonomi, agama, dan banyak unsur yang saling berinteraksi untuk dapat didefinisikan sebagai budaya.
Hak untuk mendapat pendidikan yang layak, juga merupakan tujuan kebudayaan, karena semua upaya untuk menciptakan sistem pendidikan dilakukan supaya semua orang dalam satu negara dapat memperoleh hak pendidikannya itu.
Tetapi HAM dalam satu negara juga mempunyai titik rawannya, terutama bila terjadi pelanggaran HAM oleh kekuasaan. Muncul pertanyaan, pada saat negara tidak siap memberdayakan HAM, mampukan kebudayaan menjadi alternatif untuk menegakan HAM?
Secara umum, titik rawan hubungan HAM dan Kebudayaan, muncul karena ada yang disebut Pelanggaran HAM. Sejauh sejarah budaya kita dalam periode bernegara RI, Pelanggaran HAM belum menjadi fokus dalam dinamika budaya kita.
Wacana HAM dan Kebudayaan, umumnya muncul dalam kerangka yang politis. Seperti misalnya, proses penegakan HAM dipertentangkan dengan aspek Kearifan Lokal, bahkan seringkali, kebudayaan menjadi alat legitimasi untuk menghindari dosa pelanggaran HAM yang dilakukan negara.
Contoh terpahit adalah peristiwa pelanggaran HAM atas korban pembantaian 65, yang sebenarnya dipicu oleh politik dan institusi negara. Tetapi kebudayaan (dalam hal ini adalah agama) menjadi sarana untuk membenarkan peristiwa itu. Agama, bahkan diposisikan sebagai ‘ideologi pembenar’ untuk melakukan tindakan keji pelanggaran HAM. Tak heran, kalau proses kekacauan 65 itu, melibatkan unsur-unsur dari lembaga-lembaga berbendera keagamaan.
Pada sisi lain, negara (Orde Soeharto) juga melakukan “pembersihan memori” masyarakat atas tragedi itu dengan cara mendorong kebudayaan menciptakan ideologi “harmoni” dan anti konflik, yang membuat masyarakat cenderung lupa pada sisi-sisi hitam dari sejarah budayanya. Bali, mungkin satu contoh yang relevan dan masih aktif untuk rekayasa budaya orde baru itu. Sebagaimana dijelaskan dalam banyak studi tentang “Bali dan Kekerasan 65”, kuasa negara menjelma menjadi kuasa budaya melalui politik manipulasi dan sterilisasi.
Tidak banyak yang berubah, ketika Orde Baru berakhir. Pelanggaran HAM masa Orde Baru, dibiarkan berlalu sedemikian rupa. Proses rekonsiliasi, yang sempat mengemuka pada level wacana, hilang diterpa angin.
Pada masa kini, tanpa kita sadari, ujian untuk menegakan HAM dalam kebudayaan, bisa jadi makin mencapai taraf tersulitnya. Antara lain, karena kebudayaan telah berubah menjadi representasi dari perkembangan tekhnologi informasi. Pelanggaran HAM tidak lagi dilakukan oleh institusi-institusi militer. Tetapi oleh laku bertekhnologi yang schizoprenia. Kegilaan pengguna medsos adalah contoh yang nyata, yang membuat pemerintah harus mengeluarkan undang-undang anti hoax segala.
Sementara pada tataran realitas sehari-hari, kebudayaan juga dengan mudah melanggar privasi dan ketenangan. Sebagai contoh, hak untuk tidur tenang di waktu dinihari, kerap terganggu oleh volume toa masjid yang aktif pada saat orang mau tidur.
Hal-hal semacam itu, tampaknya ringan, tapi kenyataannya suatu pelanggaran yang tidak pernah anggap pelanggaran. Beberapa kasus akibat toa masjid ini bahkan telah menjadi bentrok antar masyarakat berbeda agama seperti yang terjadi di Papua beberapa tahun lalu dan juga di Sumatra Utara. Hal-hal semacam itu, membuktikan, kesadaran berHAM dalam kebudayaan kita, masih layak dipertanyakan.
Tanpa menafikan keunggulan-keunggulan budaya yang relevan dengan penegakan HAM, perlulah kita mencari akar dari kurangnya kesadaran berHAM itu. Dalam pandangan saya, tidak adanya “Rasa Bersalah Kebudayaan” merupakan akar dari mudahnya orang melanggar HAM dan dalam kontek bernegara, merupakan akar dari sulitnya penegakan hukum atas pelanggar HAM. Dalam kebudayaan yang tidak memiliki Rasa Bersalah, segala sesuatu yang tidak baik berlangsung sebagai kebenaran.
Patut kita pertanyakan misalnya, bagaimana budaya beriklan di android kita bisa berlangsung begitu semena-mena menghancurkan hak kita untuk terlindung dari informasi yang tidak kita inginkan?
Kemajuan teknologi informasi, nyatanya tidak mendorong kualitas wawasan kemanusiaan kita. Sangat menyedihkan, dan bahkan patut dipandang tragis, karena ternyata negara juga berperan di belakang dinamika sehari-hari yang semacam itu.
Jakarta, Juli 2019
Paper ini dipresentasi dalam diskusi bertaju HAM dan Kebudayaan, Mencari Ruang Bertemu di Komnas HAM, Jakarta, 26 Juli 2019.