Menarik bahwa dalam kajiannya yang berjudul “Early Thoughts on the Violence of May 13 and 14, 1998, in Jakarta” (Indonesia 66, October 1998), James T. Siegel pernah menyatakan bahwa kekerasan Mei 1998, khususnya di Jakarta, bukanlah semata-mata sebuah agenda politik, tetapi hasil dari proyek politik kebudayaan. Itu artinya, kekerasan yang terjadi dalam bentuk perusakan, penjarahan, pembakaran, bahkan perkosaan, pada 23 tahun silam memang merupakan buah dari rekayasa perbedaan kelas sosial.
Rekayasa yang di masa kolonial Belanda dikenal dengan sebutan “pribumi dan non pribumi” dan diwariskan dalam sejumlah prasangka rasial seperti “Cina atau bukan Cina”, telah menciptakan kesenjangan sosial yang tak mudah lagi untuk dijembatani. Masih diperparah dengan ketimpangan ekonomi yang semakin mempertebal dan memperdalam perbedaan yang tanpa dasarterhadap liyan.
Perbedaan yang hanya diformulakan dalam peringatan SARA dan didupai dengan slogan Bhineka Tunggal Ika justru tampak rawan dan rapuh untuk dimanfaatkan demi kepentingan sepihak belaka. Masuk akal jika kekerasan yang kerap dialami sebagian besar warga Tionghoa di Indonesia mendapatkan saat dan tempat yang tepat di bulan Mei 1998. Bulan yang merupakan puncak dari krisis ekonomi dan politik dari kekuasaan rezim Orde Baru lantaran terlalu lama dibuai dan dikeroposkan oleh beragam praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Itulah mengapa agenda aksi dari Reformasi 1998 tampak berikhtiar untuk membersihkan segala praktik yang telah menjerumuskan negara bangsa ini ke dalam jurang kesenjangan dan ketimpangan, termasuk kekerasan berbau rasial. Muluskah agenda itu dikerjakan? Apa saja yang sudah dikerjakan? Menjadi beku atau justru bergerakkah agenda itu hingga saat ini?
Tentu, pantas diakui bahwa Reformasi 1998 telah membawa beragam perubahan. Di antaranya, kebebasan berpikir dan berpendapat semakin dijamin oleh undang-undang. Maka tak heran jika keberadaan media massa, terutama media sosial (medsos), cukup memberi sumbangan yang besar dan menentukan. Dengan kata lain, saat ini siapapun dapat mengabarkan pesan dan, dengan demikian, menjadi media bagi sesama yang lain.
Namun, masalahnya adalah kebebasan itu sama sekali belum mampu memuluskan jalan pengungkapan, apalagi penyingkapan, berbagai kekerasan yang terjadi menjelang Reformasi 1998. Buktinya, Tragedi Trisakti dan Semanggi, serta kekerasan terhadap warga masyarakat Tionghoa dan rakyat miskin kota selama Mei 1998 masih tetap misteri. Bahkan prasangka rasial yang bernada “anti Cina” belum juga sirna dari cara pandang masyarakat pada umumnya.
Prasangka yang sudah bersemi sejak koloni Hindia Belanda dibangun dan tetap bertahan hingga kini adalah bukti tak terbantahkan bahwa Reformasi 1998 hanya menjadi tetenger atau monumen politik belaka yang layak untuk dikenang. Monumen yang mirip dengan album foto sebagai kumpulan kenang-kenangan, memori, atau souvernir tentang masa lalu tanpa daya dan kuasa memoar yang mampu mengingatkan untuk membongkar dan membangun kembali apa yang sudah hilang, bahkan mangkir dari kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks ini, memoar yang oleh Nancy Florida dalam bukunya yang berjudul Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang: Sejarah sebagai Nubuat di Jawa masa Kolonial (Mata Bangsa, 2003) berperan untuk menggaungkan, justru hanya dihadirkan sebagai memori yang seakan-akan membanggakan dan tak terlupakan. Padahal, anugerah Pahlawan Reformasi yang disematkan pada para mahasiswa yang tertembak dan terbunuh sama sekali tidak menjanjikan apapun juga, selain nama yang dikenang sebagai penanda pada sebuah nisan di pemakaman. Jadi, tiada satupun yang bergerak, apalagi menggerakkan, dari Reformasi 1998 lantaran segalanya telah mangkir dari masa ke masa.
Syukurlah, masih ada para sastrawan seperti Seno Gumira Ajidarma, Ayu Utami, atau Leila Chudori, yang dengan bersusah-payah menyambung lidah rakyat yang selalu dibuang dari pikiran. Melalui beragam karyanya, mereka berupaya menyuarakan kepentingan dari sebagian besar orang yang dianggap langka dalam peristiwa kekerasan Mei 1998.
Contohnya, dalam cerpennya yang berjudul “Clara Atawa Wanita yang Diperkosa” (Republika, 26 Juli 1998), dengan cukup cerdas Seno mengisahkan bagaimana dan mengapa kekerasan Mei 1998 menjadi semacam teror yang mampu menimbulkan trauma yang cukup mendalam dan bertahan agak lama. Bahkan tanpa menunjuk siapa yang sesungguhnya berada di balik layar teror, cerpen itu telah menyibak tabir yang digunakan untuk menutupi kekuasaan yang selalu gemar tampil berseragam.
Hanya sayangnya, meski sastra sudah bicara, elite penguasa tetap bungkam seribu bahasa. Singkatnya, tiada lagi rasa malu untuk mengakui bahwa kekerasan Mei 1998 adalah tragedi kemanusiaan yang diakibatkan oleh kepentingan sepihak dari mereka yang saat itu sedang berkuasa.
Sejalan dengan ini, semakin merajalelanya praktik korupsi misalnya, pasca Reformasi 1998 pun sesungguhnya bersumber pada hal dan masalah serupa. Itu artinya, korupsi yang semakin kerap dilakukan oleh para pejabat negara, khususnya kepala daerah, memperlihatkan bahwa kerelaan untuk berkorban demi sesama sudah semakin menghilang.
Maka bukan kebetulan jika Benedict Anderson dalam salah satu kajiannya yang berjudul “Indonesian Nationalism Today and in the Future” (Indonesia 67, April 1999) mengungkapkan bahwa korupsi yang lebih samar dan berbahaya terjadi di Indonesia adalah justru terkait dengan nasionalisme. Dengan kata lain, korupsi itu dikerjakan bukan hanya untuk menghabisi uang atau harta negara, tetapi juga mengorbankan hajat hidup orang banyak. Inilah yang dinamakan sebagai “korupsi nasionalisme”.
Korupsi jenis ini mendasarkan pada asumsi bahwa segala kekayaan yang mengatasnamakan negara adalah warisan dari nenek moyang. Dengan demikian, setiap kekayaan itu dapat digunakan untuk kepentingan bersama meski dengan cara mengorbankan nasib sesama. Inilah korupsi yang menghalalkan segala cara dan tanpa malu-malu dikerjakan hanya demi memperkaya diri sendiri, termasuk kaki tangannya.
Karena itu, korupsi macam ini tidak hanya merugikan negara, namun juga mengorbankan hidup sesamanya demi kesenangan dan kenikmatan sepihak belaka. Namun ironisnya, korupsi itu hanya diungkap untuk mengembalikan kekayaan dari warisan nenek moyang yang telah dirampas. Sementara, hidup bersama yang telah direnggut, bahkan dirusak, oleh korupsi itu hanya dianggap setara dengan risiko atau pengorbanan yang masih tertanggungkan.
Pada titik ini, agenda “anti KKN” yang digaungkan dalam Reformasi 1998 sebenarnya tak lebih hanya slogan yang nyaring bunyinya. Dengan kata lain, slogan itu sekadar bahasa kosong yang membuat cita-cita untuk berubah menjadi beku, apalagi untuk bergerak merangkai cerita tentang perubahan. Halo, halo, para aktivis Reformasi 1998, sudah bangun belum?